Review Buku: Kangen Indonesia: Indonesia di Mata Orang Jepang


Review Buku
Kangen Indonesia: Indonesia di Mata Orang Jepang

Buku ini merupakan buku yang terbit pada bulan Oktober tahun 2012 silam dan saya baru membacanya pada bulan Agustus tahun 2013. Terlambat memang. Tapi saya cukup senang dan berbahagia pada akhirnya berkesempatan membaca buku ini. Pada awal melihat buku ini saya tertarik untuk membeli. Mengapa? Sederhana, saya suka cover bukunya. Covernya menggambarkan seorang lelaki yang tengah menyendiri duduk sambil melihat gambaran pemandangan kota metropolitan yang penuh dengan gedung-gedung tinggi dan transportasinya di sebuah dinding yang entah jendela atau sebuah lukisan. Ini dia cover buku yang dimaksud:
Sumber: Google.com

Buku ini merupakan karangan Hisanori Kato, seorang Profesor, Peneliti dan juga seorang Pengelana yang jika dilihat dari namanya merupakan orang Jepang tulen. Ia biasa dipanggil Kato-san. Entah bagaimana mendeskripsikan buku ini. Bukan buku teks perkuliahan meskipun ada beberapa muatan gambaran kehidupan yang justru bernalar sosiologis. Bukan pula sebuah novel meski tetap ada alur yang diceritakan didalamnya. Namun bisa dikatakan buku ini sebagai Diary yang menceritakan pengalaman pribadi Kato-san saat berada di Indonesia. Memandang Indonesia dari kaca mata orang Jepang yang pernah tinggal di Indonesia. Cukup mengasyikan!

Gaya Penulisan dan Dilema Penulis
Buku dengan tebal 143 halaman ini dibagi atas lima bagian. Bagian pertama mendiskusikan tentang Orang Indonesia. Bab ini menceritakan tentang pengalaman juga kesan awal Kato-san saat bertemu dengan orang Indonesia. Pada bagian kedua, cukup menarik karena menyinggung tentang Makanan Indonesia. Agak jenaka pun kritis gaya Kato-san menceritakan kenikmatan menjelajah kuliner di berbagai daerah di Indonesia. Bagian ini menyadarkan kita bahwa terdapat keberagaman budaya dan renungan filosofis atas sebuah kelezatan makanan nusantara. 

Ada pun pada bagian ketiga yang membicarakan persoalan Kota Metropolitan dengan Jakarta sebagai pusat pengalamannya. Pada bagian inilah, Kato-san menggambarkan proses dialektis di dalam dirinya tentang sebuah kota yang bernama Jakarta. Jakarta menjadi kota yang cukup membuatnya di satu sisi, harus menahan kesabaran ekstra dan di sisi lainnya membuatnya, Rindu akan kembali ke Indonesia. Gaya bertutur Kato-san dalam bagian ketiga ini mampu -dalam konteks keilmuan Sosiologi- menggambarkan secara jeli&gamblang proses terjadinya Perubahan Sosial dari berbagai segi yang terjadi di Jakarta dalam kurun waktu 20 tahun ini.

Pada bagian berikutnya, Kato-san membicarakan tentang soal Keyakinan. Khususnya dalam bagian ini, Ia menceritakan pengalaman selama penelitian untuk keperluan akademisnya tentang Agama Islam di Indonesia. Diceritakan bagaimana pengalamannya bertemu dengan para tokoh Islam Liberal dan Islam Fundamentalis. Tak lupa, dalam Bab ini ada kata-kata ‘sakti’ yang menyentuh dirinya (baca dan temukanlah sendiri, hehe). Lalu, kesan-kesan bertemu dengan berbagai fenomena sosial di Bulan Ramadhan. 

Bagian terakhir, Kato-san membicarakan soal Kehidupan. Pada bagian ini, Kato-san menceritakan berbagai pengalamannya yang lebih luas menyangkut soal perbedaan kehidupan di Jepang dengan di Indonesia. Di bagian ini ada sebuah kata-kata sakti yang membuatnya terheran-heran, yakni….. (lagi-lagi, baca dan temukanlah sendiri). Dari penjelasannya tersebut, tergambarkan bahwa kata-kata sakti itu memiliki janusitas makna: Boomerang dan Permata. Membuat Kato-san berkata,”Bagaimana orang-orang ini bisa menjalani kehidupan seperti ini?”(Hal 135).

Ada rasa suka, ada pula rasa kesal. Itulah yang mungkin dapat menggambarkan dilema penulis di buku. Unsur subjektifnya kadangkala tercermin pada saat berkaitan dengan sikap-sikap orang Indonesia dan diceritakan di beberapa kondisi. Salah satu contohnya saat menunggu Bus Transjakarta yang terlampau lama dan tentang lemahnya penanganan sambungan internet. Unsur subjektif yang dimaksud mungkin ada satu waktu ketika ‘nilai-nilai’ kebaratan dan kejepangannya muncul. Namun, ada hal yang unik disini bahwa ketika ‘menggerutunya’ Kato-san justru menjadi ‘rem’ atas rasa kesal nya terhadap orang Indonesia.

Refleksi sosiologis dan filosofis
Sudah dikatakan sebelumnya, bahwa meski ini buku diary ditulis oleh orang Jepang, namun ada muatan sosiologis didalamnya. Maklum, Kato-san juga merupakan ahli di bidang sosiologi, terbukti dari program Magister dan Doktoralnya yang mengambil tentang kajian tentang sosiologi (baca biografi di Kato-san di belakang buku). Kato-san ketika membicarakan pengalamannya tentang Kota Metropolitan sebenarnya bercerita tentang keluh-kesahnya dan kerinduannya pada Jakarta. Keluh-kesah nya lah yang justru memberikan gambaran tentang terjadinya Perubahan Sosial di Ibu Kota.

Perubahan sosial yang dimaksud meliputi: efisiensi Mass Transportation yang tidak stabil, lalu bergesernya pola komunikasi masyarakat Ibu Kota yang semakin Mobile, perubahan alih fungsi lahan di Jakarta, perubahan sikap-sikap Masyarakat Ibu Kota yang semakin materialis dan tidak lupa, pola makan orang di Perkotaan. Sebagai contoh dalam sub-bab yang berjudul “Wartel yang Dirindukan”. Ketika Kato-san menceritakan tentang bagaimana pola komunikasi di era 90-an hingga tahun 2000-an yang masih menggunakan wartel. Wartel tersebut kini diganti menjadi Warnet hingga lambat laun digeser oleh Smartphone yang semakin memudahkan akses komunikasi penggunanya hanya dalam genggaman tangan.

Selain dapat menggambarkan perubahan sosial yang merupakan refleksi sosiologis atas pengalamannya, Kato-san juga memberikan refleksi filosofis didalamnya. Satu hal yang bahkan tidak terpikirkan oleh saya adalah filosofi hubungan manusia dengan alam. Kato-san secara apik menggambarkan filosofis tersebut dengan membandingkan cara makan orang barat dengan orang Indonesia. berikut penggalan kalimatnya:

“Pemikiran Barat juga membedakan manusia dengan alam., yang pada akhirnya memiliki tujuan besar, menguasai alam. Manusia menggunakan sendok dan garpu memotong daging, lalu menusuk dan memakannya. Itu terlihat jelas sebagai simbol kemenangan manusia terhadap alam. Namun di sisi lain, dalam peradaban Asia Tenggara yang diawali oleh Indonesia, saat makan mereka secara langsung menyentuh makanan dengan menggunakan tangan. Dengan makan secara alami menggunakan tangan kita juga akan dapat merasakan serta memahami hubungan alami antara manusia dengan alam…”(Hal 24).

Menyuarakan Optimisme, Memberi Inspirasi
Pertentangan nilai-nilai Barat-Timur memang tidak akan ada habisnya. Bahkan selalu ada pertentangan nilai-nilai Negara yang meski sama-sama mengadopsi nilai ketimuran. Jepang dan Indonesia contohnya. Sudah menjadi labeling umum bahwa Indonesia pastilah tertinggal dari Jepang secara kemajuan perekonomian dan teknologi. Kato-san pun menjabarkannya labeling tersebut ketika sedang makan roti bakar di kaki lima. Kato-pun merefleksikan perbandingan nilai-nilai Jepang dengan nilai-nilai Indonesia. yang boleh dikatakan, berkebalikan.

Di satu sisi, memang Indonesia jauh lebih tertinggal dengan Jepang. Namun, ternyata ada yang tidak berubah dari Indonesia, yakni nilai-nilai tradisional yang ke-Indonesia-an. Kato-san tersentuh dengan nilai “Sa’cukupe”, ”Menolong meskipun sama sekali tidak kenal”, kata-kata ‘sakti’ yang dapat meredam suatu rasa bersalah jika tak dapat mendapat/mencapai sesuatu, selain itu ada sikap “Rendah hati” ketika menerima pujian. Itu sangat berbeda dengan apa yang dirasakan Kato-san di Jepang beberapa tahun belakangan ini. Nilai-nilai budaya keIndonesiaan yang sulit ditemui di Jepang.

Hisanori Kato-san
Kato-san pun menebar Inspirasi pada dua hal: kajian penelitian dan mengenalkan Indonesia kepada Jepang. Refleksi sosiologis nya tenyata memberikan inspirasi bagi para peneliti muda tentang gejala perubahan sosial yang sederhana namun tampak nyata. Sebagai contoh, Melalui pertanyaan sederhana, “Apa dan bagaimana implikasi dari warung-warung pinggir jalan yang semakin berkurang mempengaruhi kehidupan sosial bermasyarakaat di Perkotaan?”. Selain itu, bisa digali pula tentang makanan, yakni “Apakah watak suatu daerah mempengaruhi rasa makanan daerah atau justru sebaliknya”.

Penutup
Kurang lebih itulah yang bisa saya gambarkan sebelum dan sesudah membaca buku ini. Sebagai refleksi paling mendasar, buku ini menyadarkan dan membantu menggambarkan tentang kondisi Indonesia dan Ibu Kota kepada kita. Kita yang orang ‘Asli’ Indonesia. Karena terkadang, kita sendiri pun tidak menyadari apa yang terjadi atau berubah disekitar lingkungan kita sendiri. Sehingga, buku ini pun mengajak orang ‘Asli’ Indonesia untuk menilik kembali ke dalam… Kembali Mengenal Indonesia.

Semoga Bermanfaat…




Komentar

  1. Kalo ngomongin Indonesia mah, nggak ada habisnya :))

    BalasHapus
  2. Halo Mas Firman, Terima kasih telah berkunjung ke blog saya dan membaca resensi buku ini.

    Benar, Indonesia memang tak akan ada habisnya dibicarakan, buku ini salah satunya. Bahkan dalam buku ini, cerita tentang Indonesia tak datang dari orang Indonesia, tapi dari orang Jepang. Saya kira ini menarik.

    Oh ya, Hisanori Kato-san juga telah membuat buku keduanya dan saya akan buat resensinya dalam blog ini. Silahkan berkunjung lagi dipostingan berikutnya.

    Salam..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer