KEADILAN
KEADILAN
“Tidak dapatkah keadilan mengakui adanya
kelemahan pada diri penjahat sebagaimana diakui adanya kondisi-kondisi yang
meringankan dalam diri masyarakat sendiri?”
-Albert
Camus-
Sejarah
menyajikan kisah untuk merentangkan jalan panjang menuju apa yang disebut
dengan keadilan. Keadilan yang ditafsirkan sebagai wujud kedamaian,
keseimbangan, dan segala sesuatu yang dipenuhi oleh segala yang “baik-baik”.
Oleh karenanya, segala yang tidak “baik-baik” harus dihilangkan, dihancurkan,
dimusnahkan dari kedirian umat manusia. Di atas nama keadilan, setiap mahluk,
terutama manusia menjadi memiliki otoritas ‘masuk’ ke dalam relung privasi
manusia lainnya. Namun apa yang terjadi? Manusia hanya bisa mereduksinya, tidak
bisa secara keseluruhan.
Keadilan
tidak jarang berangkat dari teror yang mau tidak mau memaksa diri manusia
untuk, dengan alasan “jangan melakukan kesalahan di masa lalu atau seperti ini”,
patuh dan tidak melakukan sebuah kesalahan apapun sekaligus suruhan untuk
“jangan berani macam-macam”. Teror yang terkesan “dipersenjatai” oleh Guillotine
di Perancis, Pedang di Jepang, Pistol di Amerika merupakan contohnya bagusnya.
Belakangan adalah Rudal dan Roket yang digunakan Israel untuk membombardir
Gaza, Palestina. Alih-alih memperjuangkan keadilan, ujung-ujungnya adalah
kekerasan.
Pada
akhirnya, Keadilan, bangkit dari sebuah kubangan darah, dari rasa kekalahan,
dari rasa pilu, merana dan kesedihan yang luar biasa. Juga tak lupa, ketegaran!
Yang juga merupakan pengorbanan atas pergulatan psikologis yang luar biasa
dahsyat dalam diri manusia. Keadilan hampir pasti selalu mengorbankan sesuatu
yang mana –bagi mereka yang dikorbankan- setelahnya tidak bisa merasakan
keadilan itu sendiri.
Pertanyaannya
adalah bila keadilan merupakan penciptaan suatu ruang kemanusiaan yang
“baik-baik”, maka sesungguhnya kapankah hal itu dapat terwujud? Bila Raison d’etre keadilan selalu berangkat
dari segala sesuatu yang “jahat-jahat”, maka setelah keadilan telah ditegakkan,
lenyapkah yang “jahat-jahat” itu? Dimanakah keberadaan mereka setelahnya?
Asumsi
saya, selama sejarah manusia terus berjalan, maka kemungkinan-kemungkinan akan
yang “jahat”, akan terus ada. Namun yang juga tidak kalah pentingnya bahwa
kebaikan-kebaikan lain juga akan terus ada. Mematikan salah satu diantaranya adalah
suatu kemustahilan. Kejahatan dan kebaikan merupakan potensi aktualisasi hasrat
manusia yang tidak akan pernah bisa diterka kapan kedatangannya.
Hukum
dibuat secara preventif dan represif yang berupaya untuk menekan segala bentuk
tindakan subversif, menjaga agar diri manusia tidak sampai mengartikulasikan
hasrat “jahat”-nya terhadap orang lain. Sayangnya, hukum telat. Selalu telat.
Hukum selalu berhasil menindak suatu tindakan setelah suatu tindakan dilakukan. Pada akhirnya hukum pun tak bisa
mencegah hasrat manusia yang susah payah ditekan. Kengerian sanksi yang
dijatuhi pun tidak pernah serta merta membuat manusia lainnya untuk tidak
melakukan tindakan yang demikian di lain waktu. Sekalipun gambaran keadilan
telah berhasil dicapai: yang salah dihukum, yang dirugikan dibela diatas ketuk
palu.
Seorang
ahli psikologi yang dirasa mampu mendeteksi hasrat-hasrat manusia yang
tercermin dalam pola perilaku manusia sedetail-detailnya pun pada akhirnya juga
bekerja setelah seseorang
mengartikulasikan hasratnya dalam wujud tindakan. Pancaran dan pandangan mata,
detak jantung, gerak-gerik tingkah laku individu sebagai cerminan emosi manusia
yang ‘sesungguhnya’ mungkin saja dapat dibaca ‘sempurna’, namun kata-kata
‘sesungguhnya’ pada dasarnya tidak akan sanggup melihat kedalaman emosi
manusia.
Dua hal
diatas membuktikan bahwa ada batas otoritas pada manusia yang tidak bisa
ditembus dengan tingkat kerahasiaan yang sangat tinggi dan berlapis-lapis dan
tanpa dasar oleh manusia lainnya: lubuk hati manusia. Iblis, Setan dan
sejenisnya yang sering dijadikan suatu simbol kejahatan yang mampu mempengaruhi
manusia juga tidak mampu melihat keaslian dari lubuk hati manusia. Ia hanya
sanggup menerka dan menggoda, bukan menentukan. Hanya Tuhan yang mampu
melihatnya.
Dengan
demikian, keadilan tidak akan pernah sampai juga pada suatu definisi
ketotalitasan akan yang “baik-baik” itu. Bahwa sesungguhnya kebaikan dan
kejahatan berada dalam satu paket lubuk hati manusia yang tidak bisa diterka.
Maka, keadilan boleh jadi merupakan suatu harapan. Harapan bahwa manusia akan menyelam
ke lubuk hatinya sendiri, mencari dan memilih segala yang terbaik, untuk
menjaga yang terbaik pula bagi kemanusiaan.
Komentar
Posting Komentar