Review Film: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Review Film:
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Haloo
pembaca yang arif&budiman..
Gimana
kabar kalian?
Kali
ini saya mau mengulas film yang baru saja saya tonton kemarin. Sebuah film yang
diadaptasi dari Novel Buya Hamka. Sebuah
film yang akan memorable, menyajikan cerita yang kompleks, apik, bermakna dan
mengesankan. Sebuah film Indonesia yang membanggakan dan sangat baik ditonton
di penghujung akhir tahun 2013 ini. Film yang akan membuat Mbrebes mili atau maksudnya berlinang air mata kalo kata orang jawa.
Ulasan
tulisan ini akan SANGAT SPOILER ALERT!! Bagi yang belum menonton. Keputusan di
tangan pembaca dan calon penonton, berbijaklah! :)
TENGGELAMNYA KAPAL
VAN DER WIJCK
Para Pemeran Utama:
Zainuddin
diperankan oleh Herjunot Ali
Hayati
diperankan oleh Pevita Pearce
Azis
diperankan oleh Reza Rahardian
Muluk
diperankan oleh Randi ‘Nidji’
Alur Cerita
Babak I: Awal perkenalan dengan Hayati
Setting
dimulai dari Makassar, seorang anak muda bernama Zainuddin pamit kepada Ma’Base
di Makassar untuk pergi ke Batipuh, Padang pada tahun 1930. Maksud kedatangan
Zainuddin ke Padang adalah untuk mengunjungi tanah kelahiran mendiang ayah nya
yang sudah wafat bernama Sutan Muntari. Salah satu tokoh yang dihormati di
wilayah tersebut. Selain itu, Zainuddin ingin melihat keelokan, keindahan tanah
Minang. Disamping ingin menimba ilmu agama disana sebagai tujuan utamanya.
Namun percik konflik mulai terlihat, kala Zainuddin menyadari bahwa
identitasnya etnis nya yang “tidak jelas” membuat khawatir akan keberadaan dirinya
dan meminta perlindungan di rumah saudara di Batipuh.
Lambat
laun, Zainuddin muda ini mulai mengenal, belajar dan bergaul dengan teman
sebaya disana. Setelah beberapa bulan disana, ia melihat seorang gadis muda
cantik yang sedang naik semacam delman (sebagai alat transportasi desa pada
zaman dahulu). Setelah ditelusuri, diketahuilah bahwa nama gadis tersebut
adalah Hayati. Singkat cerita, mereka berkenalan dengan cara yang cukup
romantis bagi saya secara pribadi. Lalu, bertukar surat. Benih-benih cinta pun
tumbuh. Adegan yang menceritakan jalinan kasih dirasa cukup cepat, sejak awal
mula Zainuddin melihat Hayati untuk pertama kalinya.
Namun,
ketika cinta sudah saling bertautan, konflik pun muncul. Menyoal identitas
etnis yang setengah-setengah, Zainuddin menjadi omongan warga, bahkan setelah
satu/dua bulan ia dijauhi oleh teman-teman sebayanya, tidak dianggap karena
secara adat Zainuddin adalah orang
“luar”. Zainuddin adalah keturunan Minang (ayah) dan Bugis (ibu). Pada saat itu
lah, Zainuddin pindah ke Padang Panjang. Sebelum itu, Hayati yang mendengar kabar
tersebut langsung meminta bertemu di Danau, tempat dimana Zainuddin suka
menulis surat untuk Hayati. Disitu mereka membuat janji, untuk bertemu kembali,
merajut cinta agar jadi satu, nanti. Adegan ini cukup lama dan dialog yang
dibangun sangat indah, backsound lagu Nidji yang berjudul "Sumpah&Cinta Mati ku" juga bagus melatari
adegan ini.
Setelah
pergi ke Padang Panjang, ia tinggal di rumah seorang guru agama. Mulai dari
sini, cerita mulai “hidup”. Setelah ada scene yang cukup serius, kita disuguhkan
oleh dibuat terpingkal oleh banyolan Muluk, sebagai anak yang bisa dikatakan
Badung, nganggur. Lucu deh adegan yang melibatkan dirinya. Dirinya lah yang
mengantar dan memperkenalkan Zainuddin menyusuri kota Padang Panjang. Berita
gembira pun muncul, ada kabar dari Hayati bahwa dirinya pun ingin pergi
berkunjung ke Padang Panjang. Hingga akhirnya kabar gembira tersebut berputar
360 derajat, bagi Zainuddin, bagi Hayati.
Hayati saat menonton Pacuan Kuda dengan Azis |
Scene
mulai difokuskan kepada pertemuan Hayati dengan Azis. Azis seorang pekerja
sukses yang bekerja di kota Padang. Sering berhura-hura dengan teman
Belandanya. Gayanya bisa dibilang cukup Necis
untuk seorang dari kalangan atas. Azis terpukau dengan kecantikan Hayati dan
menaruh hati padanya. Disini, konflik mulai menjadi petaka, khususnya bagi
Hayati. Rencana hati ingin mengunjungi Zainuddin untuk bertemu, melihat pacuan
kuda yang ‘bergengsi’ bersama. Justru malah diajak oleh Azis dan kolega-kolega
nya nonton bersama. Terlihat sekali stratifikasi pakaian yang digunakan. Azis
yang dengan modal pas-pasan karena ia miskin pada saat itu, hanya bergaya
seadanya (justru terkesan alim sekali). Berbeda dengan Azis yang datang
menggunakan mobil dan berpakaian bagus, begitu pula Hayati yang telah didandani
menjadi sedikit modern. Pada akhirnya, mereka hanya bertatap muka. Scene disini
cukup membuat sedih penonton.
Konflik
yang menjadi malapetaka, khususnya bagi Hayati tidak hanya sekedar tidak dapat
betemu dengan Zainuddin saja. Masalah yang kemudian muncul adalah ada upaya
Azis yang bergelimang harta, keturunan Minang asli dan Zainuddin sebagai pemuda
rantau yang miskin, tidak punya uang sepeser pun, identitas etnis Minang-Bugis
yang dipermasalahkan kaum adat Minang untuk melamar nikah Hayati. Alhasil,
dilakukan musyawarah para pemuka adat yang dipimpin Datuk dan para Ninik-Mamak
lainnya. Scene ini memperlihatkan kuatnya Adat mempengaruhi proses sendi
kehidupan sosial individu di Minang. Tentu sudah bisa tertebak, Azis lah yang
menang. Pernikahan tersebut menghancurkan kondisi psikologis Hayati yang tidak
bisa berbuat apa-apa, tunduk pada adat. Begitupun Zainuddin yang kemudian jatuh
sakit oleh kabar tersebut.
Kemesraan Azis dan Hayati setelah menikah |
Kedatangan
Hayati yang menjenguk Zainuddin setelah menikah dengan Azis makin memperparah
situasi. Saat Hayati datang, Zainuddin seperti orang yang mengigau sambil
memegang tangan Hayati, mengajak Hayati menikah, hingga ditengah-tengah
kekacauannya menginggau, Zainuddin sadar bahwa tangan perempuan yang sedang
dipegangnya adalah tangan yang sudah menikah. Adegan ini membuat para penonton
sulit untuk tidak menitikan air mata, bersimpati pada guncangan jiwa Zainuddin.
Saat Zainuddin masih melarat dan membaca surat penolakan lamaran |
Dua
bulan lamanya, Zainuddin terbaring di kasur, sakit dan terguncang jiwanya akan
kesepian dan kemelaratan. Guncangan jiwanya bukan tanpa sebab dan berlebihan.
Sejak kecil, Zainuddin sudah menjadi anak yatim piatu, sendiri,
miskin&melarat pula, ditambah kisah cintanya dikhianati oleh perempuan yang
justru memberinya janji untuk bertemu kembali, janji untuk mencinta sehidup
semati, perempuan yang memberinya harapan untuk menjadi lelaki yang kuat. Namun
pada akhirnya, sosok Bang Muluk muncul memberinya harapan, mengisi kekosongan
hatinya, menjadi sahabatnya. Bang Muluk memberinya pencerahan untuk Move On.
Babak II: Awal Perantauan Zainuddin ke
Batavia hingga Soerabaja
Ditengah-tengah
kesedihan yang berkepanjangan, Bang Muluk menjadi sahabat yang mendorong dan
menyemangati Zainuddin untuk bisa Move On. Menata kembali hidup yang lebih
baik, dan mungkin makna terselubungnya “Take
A Revenge” bagi si Hayati yang sudah hidup mewah dengan Azis. Bang Muluk
memberi motivasi dengan memuji Zainuddin bahwa dirinya adalah pemuda hebat yang
berwawasan luas dan memiliki karya sastra, hikayat yang indah, bahkan layak
untuk dikirim ke penerbit. Akhirnya, Zainuddin memutuskan untuk merantau ke
Batavia, kebetulan Bang Muluk memiliki kenalan orang penerbit di Batavia.
Disini pula, scene yang menunjukan kisah persahabatan seperti dialog
Zainuddin-Bang Muluk “sahabat sejati sampai mati!” Mulai dari sini, nasib
mereka berdua berubah. Begitupun nasib Azis dan Hayati.
Setibanya
mereka (Zainuddin&Muluk) di Batavia, mulai diperkenalkan lah kata-kata
Kapal Van Der Wijck. Yang disebut-sebut kapal pesiar yang mewah buatan
Feyenoord. Saat itu pula lah, ada orang dari bagian penerbit yang suka dengan
kisah hikayat yang dikarang oleh Zainuddin dan layak diterbitkan di koran
sebagai cerita bersambung. Nasib baik pun berpihak pada si anak rantau dan
sahabatnya ini, ia ditawari untuk menjadi seorang penulis yang kemudian diberi
fasilitas mesin tik, kertas dan ruang. Bang Muluk menjadi sahabat setia yang
mengurusi segala hal yang berkaitan dengan Zainuddin.
Lambat
laun, tulisannya di koran ternyata mempengaruhi banyak orang, hingga cerita
hikayatnya dibuat menjadi sebuah buku yang berjudul “Teroesir”. Cerita hikayat
tersebut sontak digandrungi&membuat “galau” khalayak luas. Di Batavia,
akhirnya terjadi mobilitas sosial pada diri Zainuddin. Kini, ia menjadi penulis
terkenal . Bukunya laku keras, habis terjual. Dibukunya menggunakan nama
samaran, “Tuan Zhabir” namanya. Sekarang ia mulai membenahi tampilannya (tentu
atas dorongan dan arahan Bang Muluk) dan bisa membeli mobil. Dua tahun
kemudian, nasib baik untuk kedua kalinya datang menhampiri si anak rantau yang
alim dan baik hatinya itu. Ia ditawari untuk mengurus kantor penerbitan yang
terbengkalai di Soerabaja. Maka, kesempatan itu tidak ditolak oleh Zainuddin
dan Bang Muluk. Pada tahun 1932, Zainuddin mengelola kantor penerbitan
“Poestaka Rakjat” di Soerabaja. Di Soerabaja, Zainuddin membeli ‘Rumah” yang
mungkin lebih tepat dikatakan sebagai Istana, karena memang berbentuk seperti
istana.
Bagaimana
dengan kehidupan Hayati-Azis di Padang Panjang? Suram. Kehidupan mereka kian
tak ada kebahagiaan. Hayati yang mula menjalani hidup mewah meski kesepian
karena ditinggal “ngantor” oleh Azis ke Padang. Padahal, yang dilakukan oleh
Azis hanyalah main perempuan dan berjudi tanpa sepengetahuan Hayati. Setiap
kali pulang ke rumah dan hayati tidak Stand
By menyambut kepulangannya, Azis jadi sering bertindak dan berbicara kasar
dengan Hayati. Disinilah sosok Azis yang sebenarnya mulai diperkenalkan. Watak
kesombongan&kekasarannya mulai menguat. Hal ini ditandai oleh seringnya ia
berbicara kepada Hayati,”Dasar Kampungan!”, “Kamu cuma seorang gadis kampung!”.
Puncaknya, Azis marah besar karena Hayati sering baca buku “Teroesir” meski
keduanya belum tahu bahwa buku tersebut karangan Zainuddin.
Tentu
hal tersebut sering membuat sedih di hati Hayati. Sangat sedih dan langsung
diutarakan kepada Azis. Meski dalam beberapa scene, perecokan rumah tangga
mereka sering terjadi setelah itu. Singkat cerita, Azis mengajak Hayati untuk
pindah ke Soerabaja karena kabarnya ada kenaikan pangkat jabatan Azis dan
disuruh mengurus kantor pula di Soerabaj. Berangkat lah mereka dan setiba disana,
ada undangan menonton pertunjukan Opera “Teroesir”. Pada momen ini, setelah
sekian lama tak bertemu, mereka bertiga (Azis-Hayati dan Zainuddin) akhirnya
saling bertemu kembali. Dengan nasib yang berbeda.
Yang
membuat terpingkal adalah ketika dialog Zainuddin menyapa mereka, khususnya
Hayati,”Halo Zainuddin, sahabatku, lama kita tak jumpa dan Halo pula “Orang
Kayo ni”(bernada menyindir), Hayati “. Hayati hanya bisa tertunduk malu, merasa
tidak enak akan semua yang terjadi diantara mereka. Momen tersebut ternyata
digunakan oleh Azis untuk mendekati Zainuddin untuk meminjam uang untuk
membayar semua hutang-hutang judi selama ini. Hal ini kemudian menguak satu
hal, bahwa kondisi keuangan rumah tangga Azis-Hayati sedang kacau balau.
Ditunjukan oleh scene ada sekelompok penagih hutang berlogat jawa datang dan
menyita habis barang di rumah mereka. Ternyata uang yang dipinjam dari Zainuddin
hanya dibayar sepertiganya saja. Collapse seketika.
Saat Zainuddin bertemu dengan Azis dan Hayati di Opera "Teroesir" |
Pada akhirnya, Azis mengajak Hayati untuk
tinggal ke rumah “Istana” nya Zainuddin. Tentu dengan senang hati Zainuddin
menerima, meski sikapnya menjadi dingin kepada Hayati karena masih menyimpan
benci dan luka cintanya. Oh iya, Zainuddin melarang siapapun masuk ke ruang
kerjanya kecuali Bang Muluk”. Hampir sebulan lamanya menumpang dan tiba-tiba
Azis jatuh sakit akibat depresi dan merasa tidak enak kepada Zainuddin. Ketika
sudah pulih, Azis meminta maaf kepada Zainuddin bahwa selama ini sudah bersikap
semena-mena dan memandang rendah Zainuddin. Sejak saat itu, Azis berupaya insyaf
dan berupaya merantau lagi, meski sempat dicegah oleh Zainuddin. Namun
keputusan sudah bulat, Azis lebih memilih ingin merantau dan kembali mencai
pekerjaan dan memohon kepada Zainuddin agar Hayati bisa tetap tinggal selama ia
mencari kerja.
Saat berada di kediaman Zainuddin |
Zainuddin
pun akhirnya setuju. Namun ia berpesan kepada Azis,”Aku hanya berpesan, Ubahlah
Haluan Hidup”. Pesan tersebut sangat bijak dan menyentuh dalam film ini.
Babak III: Akhir kisah cinta segitiga
Azis, Hayati, Zainuddin
Hari-hari
berlalu setelah Azis pergi mencari pekerjaan, Hayati merasa makin tidak enak
dengan Zainuddin, karena sejak kedatangannya saat itu Zainuddin tetap bersikap
dingin dan seperti menjauhi Hayati. Curhatan itu diutarakan Hayati kepada Bang
Muluk. Hayati pun mempertanyakan kenapa ia tak boleh masuk ke ruang kerja
Zainuddin. Bang Muluk pun menceritakan keseluruhannya kepada Hayati,
sampai-sampai Hayati pun miris mendengarnya. Hingga pada akhirnya, Bang Muluk
memperbolehkan Hayati masuk ke dalam ruang kerja Zainuddin dan Hayati merasa
terpukau oleh keindahan di dalamnya. Sampai pada akhirnya Bang Muluk menarik
suatu kain yang menutupi sebuah lukisan sangat besar. Lukisan tersebut adalah
Hayati. Scene ini cukup membuat merinding.
Esok
hari, Surat dari Azis pun tiba. Bukannya Kabar baik yang dikirim dengan surat
dari Azis setelah lama mencari kerja, ternyata justru kabar buruk yang datang.
Surat yang dikirimkan berisi talak perceraian Azis kepada Hayati, Azis meminta
agar Zainuddin kembali mencintai dan menerima Hayati. Kabar paling buruknya
adalah kabar kematian dari Azis, ia meninggal di sebuah kamar, seperti hotel.
Meninggal akibat Overdosis obat. Entah obat seperti apa.
Saat Zainuddin dan Hayati menerima surat dari Azis |
Pada
akhirnya, setelah didera berbagai peristiwa pilu, Hayati memberanikan diri
untuk menanyakan langsung kepada Zainuddin tentang sikapnya yang berubah
drastis kepadanya dan menanyakan apakah cinta bisa terajut kembali setelah
semua ini terjadi?. Pada saat ini lah scene dimana Zainuddin meluapkan segala
curahan emosinya di depan Hayati. Ada kalimat menarik yang diutarakan oleh Zainuddin
kepada Hayati meski saya sedikit lupa akuratnya gimana tapi kurang lebih
seperti ini,
”Seperti
itulah perempuan, lebih bisa mengingat kekejaman yang diakibatkan oleh orang
lain kepadanya meskipun sangat kecil, sedangkan kekejamannya sendiri kepada orang
lain tidak pernah ia ingat!”
Scene
curhatan akumulasi emosinya selama ini sangat menguras emosi penonton, bahkan
banyak penonton yang kemudian kembali terisak tangis. Dialog yang dibangun
sangat lugas oleh Zainuddin untuk menyampaikan dan menyimpulkan, “Sekarang,
siapa yang sebenarnya kejam? Bukan aku! Bukan!”. Lantas, itu tandanya Zainuddin
telah menutup pintu hatinya kepada Hayati secara terang-terangan. Zainuddin pun
menyarankan Hayati pulang ke kampung halaman, ke Batipuh dengan menggunakan
Kapal Van der Wijck.
Hayati
yang secara kilas peristiwa memang bersalah, tak bisa berbuat banyak untuk
meyakinkan hati Zainuddin bahwa hatinya masih mencintai Zainuddin, tidak pernah
berubah, gagal. Sia-sia. Lantas, keesokan harinya dengan diantar oleh Bang
Muluk ke pelabuhan, tibalah mereka di samping kapal yang megah itu, Kapal Van
Der Wijck. Namun, entah kenapa Hayati memiliki firasat buruk, ia berucap ke
Bang Muluk,”Bang, apa gerangan ini, serasa kaki tak mau menaiki kapal yang
karamnya seperti akan tenggelam. Serasa kaki ini diam, lebih nyaman menapak di
pijak bumi”. Namun, pada akhirnya tak ada pilihan lain, naik lah ia ke kapal. Sebelum
benar-benar pergi, Hayati memberikan secarik kertas kepada Bang Muluk yang
isinya kesungguhan , keteguhan dan konsistensi hatinya selama ini kepada
Zainuddin. Hidupnya dicurahkan, mati pun ingin bersama Zainuddin.
Namun,
takdir berkata lain. Firasat buruk Hayati terjadi. Kapal mengalami kendala di
tengah-tengah perjalanan. Kapal pun karam, korban berjatuhan ke laut. Begitupun
Hayati, harapannya, impiannya, cita-citanya, cintanya, kenangannya.. tenggelam
bersama Kapal Van Der Wijck. Takdir akhir memberi menit-menit terakhir,
mempertemukan kembali ‘janji’ kepada sang kekasih. Ia selamat. Namun sekarat.
Zainuddin dan Bang Muluk yang mengetahui kabar itu, bergegas naik mobil
seharian untuk melihat keadaan Hayati.
Saat Hayati tenggelam ke laut |
Setibanya
di rumah sakit, dokter tidak bisa menolong banyak kepada Hayati karena
peralatan yang tidak memadai. Adegan Scene terakhir ini akan membuat klimaks
film ini menjadi kembali sangat menguras emosi. Di ambang kematiannya, Hayati
lega, senang bisa bertemu untuk terakhir kalinya dengan Zainuddin. Orang yang
sangat dicintainya, hidup dan matinya pun ingin terus bersamanya. Hayati minta
dibacakan dua kalimat syahadat oleh Zainuddin. Sambil menangis, Zainuddin
menuruti permintaan Hayati. Dituntunnya berkali-kali Hayati untuk membaca dua
kalimat syahadat. Hingga pada akhirnya, Hayati menutup mata untuk selamanya.
Di
akhir cerita, Scene diganti menjadi kepedihan yang mendalam dengan membacakan
ayat suci Al-Quran di kuburan Hayati pada beberapa waktu. Menuju akhir film,
Zainuddin kemudian terlihat sangat sibuk mengetik di mesin tik, menulis
seharian, lembar per lembar. Hingga menjadi satu naskah tulisan. Selain itu,
kabar baiknya, Bang Muluk yang tadinya bermental preman pasar, sekarang sudah
menjadi lelaki sejati dengan melamar seorang wanita bernama… Lupa sih, kalo ga
salah sih Ida deh. Dan kembali menyatakan bahwa mereka adalah sahabat sejati,
sampai mati. Oh iya, Rumah ‘istana’ di Soerabaja itu dijadikan Panti Yatim
Piatu bernama “Panti Yatim Piatu Hayati”.
Scene
yang mengakhiri film ini adalah ketika dialog Bang Muluk menyuruh Zainuddin
menyudahi kesedihan dan menerima kenyataan bahwa Hayati sudah meninggal. Namun,
ternyata kata-kata Zainuddin membuat Bang Muluk tercengang,
”Tidak.
Hayati tidak mati. Ia tetap hidup… Hidup dalam buku ini, buku baru ku…
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”.
SELESAI
Analisis
Film
-
Kelebihan
Latar
suasana petang menuju malam di tanah Minang, kelamnya suasana yang ditawarkan
di ‘istana’ Zainuddin, warna-warna gelap jsutru cukup memanjakan mata. Sangat
enak untuk dilihat. Pengambilan gambar yang apik juga menambah nyaman
menontonnya. Lalu, yang saya acungi jempol adalah kompleksitas ceritanya. Bisa dikatakan
“padat”. Sehingga kita benar-benar harus fokus menontonnya. Ini memang dramatis
sekali, namun ceritanya tidak sederhana. Hukum Adat daerah, kemiskinan,
harapan&cita-cita menjadi substansi yang reflektif bagi kehidupan sosial
pada zamannya. Dimana Adat masih menjadi fakta sosial yang mempengaruhi
sendi-sendi kehidupan sosial masyarakatnya. Bahkan hingga cinta sekalipun.
Saya
acungi juga kepada ketiga aktor dan aktris yang sangat apik memerankan orang
Minang asli. Khususnya kepada Herjunot Ali yang sangat apik membawakan tokoh
Zainuddin. Dari perwatakan, konsistesi logat, dan mimik mukanya kala senang,
sedih, benci. Cukup sempurna. Reza Rahardian pun demikian, membawakan tokoh Azis
yang arogan dengan apik. Begitupun Pevita, menjadi gadis desa yang patuh adat
saya rasa sulit untuk bisa memerankannya. Namun, lirihan-lirihan, lemah-lembut,
keindahan dialog yang dibawakan bagai syair. Meski ada kekurangannya juga,
dibahas dibawah ini. Muluk pun dengan baiknya diperankan oleh Randi 'Nidji'. Kekonyolannya, kesetiakawanannya yang 'jujur' dan tulus menambah film menjadi sangat menarik, menjadi lengkap.
-
Kekurangan
Tentu
karya sebagus apapun tetaplah memiliki kekurangan, tiada sesuatu yang sempurna
kan? Hanya ada dua poin yang menurut saya sebagai penonton yang kiranya ada beberapa hal yang agak mengganggu.
Pertama adalah penokohan Hayati oleh Pevita, mungkin kurang bisa menggambarkan
gadis desa yang utuh. Terlalu cantik mungkin ya, he he. Selain itu logat minang
yang mulai berkurang menjelang akhir film ketimbang di awal film. Atau mungkin
sengaja dibuat demikian karena memang pengaruh lingkungan selama menikah dengan
Azis ya..
Poin
kedua adalah sangat disayangkan justru Kapal Van Der Wijck tidak terekspose
dengan berlebih. Penyebab kejatuhannya pun saya rasa cukup Absurd dan kurang
menjelaskan mengapa tragedi tenggelamnya kapal itu terjadi, tiba-tiba sudah ada
korban berjatuhan saja. Meskipun dramatisasi jatuhnya korban ke laut cukup
membuat miris dan merinding. Sedikit kurangnya teringat adegan di Titanic.
Hanya sedikit disayangkan saja, alasan tenggelamnya kurang dijelaskan, semisal
menabrak karang atau badai atau apapun itu.
Kesimpulan
Well,
itulah yang bisa saya jabarkan dalam tulisan saya ini. Mohon maaf apabila
terlalu panjang resensinya. Dibalik kelebihan dan kekurangannya, filmyang berdurasi sekitar 2 jam 45 menit ini secara overall sangat baik untuk ditonton, di akhir tahun 2013 pula.
Jujur saya belum pernah membaca sama sekali Novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck sehingga saya belum maksimal untuk bisa membandingkannya dengan cerita
aslinya. Tapi saya yakin, film ini sudah mengadaptasi ceritanya sebaik mungkin.
Saya akan cari secepatnya novel karangan Buya Hamka yang sangat bagus ini. Mungkin
sudah saatnya pula, kita mencintai karya sastra Indonesia klasik yang ternyata
memiliki kemahsyuran dan keantikan juga keberagaman cerita yang bagus untuk
diambil pesan moralnya. Tidak jadi soal mau nonton sendiri, berdua dengan
teman/kekasih, dengan keluarga. Intinya, film ini sangat layak untuk ditonton.
Pesan yang dapat dipetik
-
Setiap masyarakat Indonesia kiranya perlu
mulai kembali membaca sastra klasik, tidak hanya karya Buya Hamka, namun banyak
tokoh lain, seperti Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Marah Rusli, dll.
Keindahan dan Kemahsyuran sastra tidak perlu diragukan lagi. Tidak seperti
penulis kekinian (bisa dimaklumi karena tantangan permasalahan yang dihadapi
berbeda, bukan berarti tidak ada yang bagus).
-
Motivasi Eksternal dalam bentuk apapun
tidak akan pernah menjanjikan mendorong seseorang keluar dari masalah nya.
Kecuali Motivasi Intrinsik, yakni Motivasi dari dalam diri sendiri. Kita bisa
belajar dari karakter tokoh Zainuddin yang mencoba Move On dari kegalauan akan cinta, kemiskinan, segala bentuk
esklusi sosial, dan kesepiannya.
-
Cinta selalu datang dari hati. Cinta tak bisa
tersekat adat. Sekalipun terlihat gagal, salah jalan, dan di ujung mati, cinta
akan tetap bertemu lewat perantara hati. Ia tidak pernah ingkar janji. Selalu
tahu kemana hati berlabuh, Takdir yang menuntun.
-
Film Indonesia kekinian, makin JAYA!
Congratulations…
Quote Buya Hamka |
Silahkan berkomentar dan jika ingin mengcopy review film ini, tolong sertakan alamat blog ini. TerimaKasih :)
Semoga
Bermanfaat !
terima kasih reviewnya :)
BalasHapusTerima kasih juga sudah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkunjung lagi ya di lain waktu.. :)
HapusOrang kayo jangan di pisah mas tapi di sambung jadi Rangkayo.Hayati......Rangkayo di minang adalah panggilah untuk perempuan terhormat/bangsawan....bisa disamakan dengan raden ajeng di jawa.....jadi dialog di film itu bukan sindiran....
BalasHapusTerima Kasih atas koreksinya.. :) Mungkin sindiran akan terlihat dari mimik wajah sang aktor saat membawakannya...
Hapuskeren!
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskenapa kagak bisa di copy mas ?
BalasHapus