HUKUMAN MATI: MANUSIA MENJADI TUHAN



HUKUMAN MATI: MANUSIA MENJADI TUHAN

Oleh

M. Luthfi Ersa. F

Pagi ini, agaknya kita wajib berduka atas nyawa-nyawa yang melayang dan sengaja dikorbankan atas nama kegagahan hukum, rasionalitas hukum, keamanan Negara dan keberlanjutan generasi muda. Jujur saja, sambil geram saya menulis ini. Menyaksikan berita di media sosial dan televisi bahwa pagi ini enam orang (dan calon-calon terpidana mati) telah dieksekusi mati, ketika di pagi yang sama orang lain mungkin sedang nikmat-nikmatnya menyeruput kopi/teh sembari sarapan. Nyawanya diambil, melayang sia-sia hanya karena “kesalahan” yang agaknya menjadi “dosa absolut” yang tidak tidak terampuni.


Efektivitas Hukuman Mati

Saya ingin mengajukan banyak sekali pertanyaan untuk menguji hukuman mati. Pertama, apabila hukuman mati adalah sebuah bentuk pengendalian sosial, maka “hukuman mati itu tergolong preventif atau represif?”. Pertanyaan selanjutnya, bila hukuman mati diasumsikan untuk menciptakan efek jera, “efek jera kepada siapa? Toh yang dihukum sudah mati, bahkan, gilanya, kita tidak bisa mendengar pernyataan si terpidana mati kan?”. Pertanyaan berikutnya, apabila memang digunakan sebagai alat untuk “mengancam”, lalu “mengapa eksekusi mati itu tidak disiarkan LANGSUNG kepada publik? Setidaknya, itu cara yang lebih efisien. Kenapa harus ditutup-tutupi segala?”

Albert Camus, dalam bukunya “Krisis Kebebasan” memberikan refleksi yang cukup kritis pada hukuman mati. Seluruh pernyataan dan pikirannya diutarakan secara gamblang dalam bab IX “Merenungkan Guilotin”. Pada dasarnya, dalam interpretasi saya terhadap Camus, ia menyatakan ketidaksetujuan terhadap hukuman mati. Hukuman mati, baginya, adalah hukuman yang memang menghukum tetapi tidak mencegah apa-apa, malahan mungkin menggugah keinginan membunuh (Camus: 136).

Sama seperti saya, Camus pun banyak memberikan pertanyaan,
“Apakah benar hukuman mati hanya berlaku untuk mereka? adakah jaminannya bahwa orang-orang tersebut memang tidak dapat diperbaiki lagi? Atau malahan tidak seorang pun tidak bersalah sama sekali? Lalu dengan demikian apakah harus diakui bahwa hukuman mati bersifat memusnahkan hanya jika tidak dapat lagi dicabut?” (Camus: 149)

Konsep “mencabut nyawa” orang lain yang dilakukan atas dasar, alasan serasional apapun, juga kondisi emosi apapun jelas benar-benar tidak bisa dibenarkan. Maksudnya, aktor yang dimaksud adalah tidak terbatas oleh si ahli hukum, tetapi juga oleh masyarakat sipil pada umumnya.

Yang paling fatal adalah bila kemudian hukuman mati ini menjadi tidak berefek sama sekali kepada para pengguna atau siapapun yang terlibat dengan urusan narkoba. Mungkin sebagai sebuah berita dan “keberanian” penegak hukum untuk melakukan hukuman mati, ini bisa jadi shock therapy tersendiri bagi para kartel narkoba-konsumen nya. Tapi mari kita lihat sampai jangka waktu berapa lama hukuman mati menjadi gambaran menakutkan bagi mereka?

Yang fatal lagi –dan terkadang jadi gambaran kebodohan penegak hukum- bahwa banyak kasus nyawa menghilang padahal si terpidana mati ia sebetulnya tidak bersalah atau kurang bukti yang kuat. Bahkan, hukuman mati terlihat menjadi konyol seandainya ada seorang dihukum mati karena ia telah membunuh orang lain, dan baginya, “ya terserah aja deh mau dihukum mati atau enggak, yang penting gue udah puas bunuh orang yang bener-bener gue pengen bunuh”. Nah?

Argumen saya, hukuman mati menjadi sungguh tidak efektif di Indonesia karena dilakukan secara setengah-setengah. Maksudnya, para penegak hukum terlalu formil dan kaku dalam memaksimalkan konsep “hukuman mati” itu sendiri.

Akan lebih “baik” bila sejak awal hukuman mati memberikan efek maksimal sehingga menjadi bentuk pengendalian yang mengerikan yang bisa menahan siapapun baik yang sudah terlibat maupun baru memikirkan atau tidak memikirkan untuk melakukann kejahatan sama sekali. Silahkan Anda tonton film nya Tom Hanks yang judulnya The Green Miles. Anda akan diperlihatkan secara terang-terangan bagaimana orang dieksekusi mati dengan duduk di kursi listrik dan ini yang paling penting, DIPERTONTONKAN. “Loh, itu kan kesadisan, kok dipertontonkan?”, ya sederhana jawabnya, “bukankah hukuman mati dilakukan untuk mencegah agar kesalahan yang sama tidak terjadi, minimal kepada yang menontonnya?”.

Manusia Menjadi Tuhan

Ketika berbicara tentang fenomena hukuman mati, sesungguhnya terjadi proses transformasi transeden: dari sosok manusia menjadi sosok Tuhan. Apa yang bertransformasi? Dan, kenapa harus menjadi Tuhan? Karena, setahu saya, sebatas pengetahuan yang saya tahu bahwa, cuma Tuhan yang memiliki hak prerogatif yang bersifat absolut untuk mengatur hidup suatu mahluk yang tidak bisa dinalar oleh pikiran manusia. Suatu sistem hukum absolut yang tidak mungkin didebat dan tak terbantahkan. Sedangkan manusia? Yang nalarnya terbatas, terkesan menjadi jumping conclusion untuk sampai pada kesimpulan menghukum orang untuk mati.

Hukuman mati secara definitif kan terdapat unsur aktivitas “mencabut nyawa”, atau kalau kata Camus diatas,”melenyapkan”. NYA-WA! JI-WA! Ya, yang cuma dimiliki satu seumur hidup, sehingga apabila hilang ya menjadi hilang juga seumur hidup. Bukan seperti benda yang bisa dibeli ulang.

Ketika dihadapkan pada teks-teks kitab suci, kita akan banyak menemukan contoh praktik hukuman mati yang sebetulnya. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah sang pembuat nya adalah datang dari Tuhan, yang sekali lagi, di luar batas pikiran manusia. Contoh, Nabi Ibrahim yang disuruh menyembelih Nabi Ismail. Apakah pikiran untuk menyembelih itu datang dari pikiran Nabi yang notabene nya juga adalah manusia? Bukan. Pun, ketika proses penyembelihan, pada akhirnya terjadi sebuah keajaiban yang juga sama-sama tidak bisa cerna dalam nalar pikiran manusia. Tapi sesuatu hal yang taken for granted saja yang diyakini sebagai sebuah kepercayaan. Tidak perlu dipertanyakan juga kok bisa gini dan gitu. Konteks waktu, tempat dan cerita pun berbeda dengan sekarang.

Nah, yang paling memberatkan hati adalah hukuman mati ini datang sebagai hukum yang DIBUAT MANUSIA. Ini yang mengerikan. Manusia sampai pada tahap untuk memutuskan hidup-mati manusia lain. Sesuatu yang sekali lagi sebetulnya bila dipikir dengan menggunakan akal sehat rasa-rasanya kok tidak akan masuk akal yah? Hukuman mati yang bersifat Irasional dipaksa manusia untuk menjadi Rasional.

Kalau ini soal narkoba, maka hancurkan narkobanya, bawa dia ke pusat rehabilitasi dll lah. Kalau ini soal koruptor, tarik hartanya, turunkan jabatannya, asingkan dia. Intinya saya setuju mereka dihukum seberat-beratnya, tapi, “seberat-beratnya” tidak sama dengan “mencabut nyawa” mereka. Berarti, para eksekutor sedari awal tidak memberi nafas kepada tersangka untuk melakukan refleksi/kontemplasi/intropeksi diri dong?

Tuhan yang absolut saja masih memberikan kesempatan kedua untuk hamba-Nya dan melihat suatu kesalahan sebagai tindakan yang masih bisa diperbaiki dan terjadi dalam agama dan kepercayaan apapun. di Islam, kita mengenal Taubatan Nasuha, di Kristen pun juga ada penebusan dosa bukan? Kenapa ada? selama masih ada nyawa melekat dalam fisik manusia, berarti masih ada sesuatu yang masih bisa terus diperbaiki.

Salam.


Komentar

  1. Setuju kak! Ditambah lagi, 5 dari 6 terpidana eksekusi mati dini hari tadi adalah warga negara asing. Mustahil bila hal ini tidak mempengaruhi hubungan antarnegara. Pagi ini saja, Belanda & Brasil sudah menarik duta besarnya untuk angkat kaki dari Jakarta (http://m.republika.co.id/berita/internasional/global/15/01/18/nicwwu-warganya-dieksekusi-mati-brasil-dan-belanda-tarik-duta-besar). Aku pribadi kak menghargai proses hukum yang berlaku di negeri ini. Tapi benarkah dengan hukuman mati? Sejalan eperti yang kak Luthfi singgung di atas, haruskah kita memenggal rasa kemanusian demi kegagahan hukum? :(

    BalasHapus
  2. Ini semua terjadi karena ada kegagalan sedari awal bahwa hukuman mati sebagai suatu sistem hukum tidak difungsikan secara maksimal bi. Mari kita berandai sejenak, Indonesia terkenal sebagai negara yang memang terkenal tegas dan keras u/ mengaplikasikan hukuman mati dan dipraktikan puluhan tahun, negara lain tidak akan kaget/sinis. Tetapi di Indonesia, justru sebaliknya. Pantas kalau ini akan menghambat hubungan LN kita.

    Btw, dirimu bisa masuk ke komentar yang demikian bagus bi. Ini memang saatnya anak SMA berani mengutarakan pikirannya dalam tulisan bi. Coba deh utarakan pikiranmu dalam sebuah tulisan bi.. :)

    BalasHapus
  3. Baru tau ilmu ini. Sungkem (-/\-)

    Blogwalking : http://www.firstanrude.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah, ga perlu sungkem firstan. Ini sekedar tulisan sederhana saja, he he

      Nanti saya blogwalking ya, trims sudah mau berkunjung.

      Hapus
  4. hmm, hukuman mati mungkin memang perlu dilakukan sebagai efek jera. masalahnya, kalau tentang narkoba: perkembangan di indonesia udah luar biasa. generasi muda bisa dirusak oleh bandar2 yg berkeliaran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, dalam tulisan ini, saya berargumen bila, katakanlah, mau membuat efek jera scara parsialistik, misal kepada gembong narkoba, maka hukuman mati selayaknya dipertontonkan langsung kepada gembong narkoba/yg sedang direhab/justru sdg dipenjara. Jadi betul2 dimaksimalkan sebagai alat terror. Contoh baiknya lihat praktiknya bagaimana beberapa negara Eropa abad 18-19 melakukan hukuman mati. Sayangnya, di Indonesia juatru sebaliknya. Maklum saja kalau malah menjadi tidak ditakuti.

      Hapus
  5. Saya juga geram. Tapi semua sudah terjadi.

    Tentu tidak ada efek jera. Toh mereka melakukannya bukan karena ingin, tapi tuntutan. Entah ekonomi, atau hal lainnya.

    Perihal menayangkannya ke publik, saya rasa melanggar etika.
    CMIIW.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampai saat ini, sepanjang rekam jejak historis di berbagai negara yg pernah mempraktikan hukuman mati secara empirik selalu ditampilkan di depan publik entah itu sadis atau tidak, karena, pada dasarnya ditayangkan bkn u sekedar menakuti tetapi membuat masy publik berpikir agar lebih berhati2 ketika berpikiran u melakukan tindakan kejahatan.

      Hingga saat ini masih sangat sulit mencari cara u mengefektifkan hukuman mati selain dipublikasi.

      Trims telah berkunjung&mengutarakan pemikirannya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer