JOMBLO
JOMBLO
Yang Semu
Di
akhir pekan, sepasang muda-mudi memanifestasikan, merealisasikan, mewujudkan
apa-apa yang telah mereka perbincangkan satu malam sebelumnya atau beberapa
hari sebelumnya. Yang jalan-jalan, yang nonton, yang sekedar makan, atau
mungkin bercumbu? Siapa yang tahu.
Dua
hari: Sabtu-Minggu. Belakangan sepertinya terjadi penambahan hari “pekan”, Jumat,
meski tak semua sepakat namun gaung-gaungnya terlihat. Dalam rentang hari-hari
tersebut, terselip umbar bahasa-bahasa anak gaul perkotaan yang juga telah
merambat ke desa-desa, Jomblo, salah satunya dan yang paling sering dijadikan
ocehan. Suatu pertarungan identitas sosial anak muda yang menarik.
Jomblo
bisa diidentifikasi sebagai konstruksi bahasa yang paling semu tetapi juga
menjadi ‘senjata’ paling tajam untuk menggerogoti secara perlahan eksistensi
sosial individu. Jomblo seperti menjadi tahapan dari sebuah evolusi modernitas
anak muda dalam hal identitas.
Jomblo,
selalu diidentikkan dengan ketiadaan pasangan, ketiadaan “sang liyan” yang
bahkan fungsinya bersifat utilitarian-pragmatis sekali. Gejala yang menimbulkan
relasi patron-klien dan berujung pada relasi ketertindasan. Rasa bersalah,
rendah diri, malu bila menjalani akhir pekan tanpa “pasangan” menjadi salah
satu dampak psikologis yang dirasakan.
Pernyataan
ini akan sulit dibantah oleh anak muda bahwa ada suatu kecenderungan psikologis
dalam diri untuk mendapatkan sesuatu kenikmatan perhatian dari orang lain di
luar dirinya, “kamu lagi apa?”, “kamu udah makan belum?”, “Kalau sakit minum
obat ya”, “Kamu cantik/ganteng deh”.. Atau, dengan cara lain dalam pikiran
masing-masing, baik itu laki-laki atau perempuan.
Yang Temporal
Mari
kita membicarakan dampak sosiologis dari kata ini. Jomblo, pada dasarnya bukan
merupakan identitas “wajib” dalam kehidupan sosial kita, namun, kata ini
kemudian bekerja dalam sistem nilai keanak-mudaan. Termin “Anak Muda” itu
sendiri merupakan kelompok komunal. Rentang usia remaja, dimana sedang dalam
masa-masa pubertas tinggi, mau tak mau sering terjangkit dalam sistem nilai
keanak-mudaan ini. Tak jarang, alih-alih ingin menjadi anak muda yang “gaul”
atau anak muda yang “keren”, justru lambat laun
malah membebani mereka.
Saya
beri contoh, kita minimal dapat bertanya ke dalam diri kita sendiri, “kapan
saya mulai merasa demikian ya?”, yang pasti, kebanyakan batasan anak muda bisa
dipersempit mulai dari SMP hingga Kuliah. Maksud dari beban adalah kita
seringkali mendahului realitas primer kita dengan hal yang demikian. Mana yang
lebih penting, UTS? Atau Pacar?. Mana yang lebih penting, Skripsi atau Pacar?.
Mana yang lebih penting, Buku atau Pacar? Hingga, mana yang lebih penting,
media sosial atau pacar? Seringkali pikiran kita diperkosa oleh keinginan
temporal dan sekunder kita (atau mungkin tersier?).
Identitas
semu dan palsu ini, kita sering maknai sebagai yang utama, primer dan penting.
Sehingga, pikiran kita terganggu karenanya. Ini yang berbahaya. Seolah, kita
tak punya filter untuk menolak bahwa itu adalah penetrasi palsu. Atau
jangan-jangan, ini ketakutan saya, bahwa anak muda sudah tidak bisa lagi
membedakan mana kebutuhan yang primer dan sekunder bagi dirinya.
Nah,
sampai sini, kita sebaiknya mulai paham secara tersirat bahwa gejala ini
didorong oleh dua aktor. Pertama, kelompok dominan yang notabenenya minimal sudah
pacar atau mereka yang mengonsumsi pikiran identitas komunal ini dan kelompok
tertindas, yakni mereka yang “dianggap” kesepian, sendiri dan tak punya
pasangan.
Sialnya,
ketika kelompok tertindas mengamini hal ini, maka petaka terjadi. Ia akan
mencari cara baik secara terang-terangan hingga berhalusinasi untuk mencari
pasangan, mendekati lawan jenis atau mungkin sesama jenis, lalu, melakukan Pedekate atau pendekatan. Petaka dimulai
ketika terjadi kegagalan dalam wujud galau dalam kesendirian, galau ditolak
gebetan, galau di PHP-in, galau “digantungin”. Beban.
Satu
kata jomblo berdampak pada dua hal: Represi internal dan Represi eksternal.
Pembaca bisa lihat dari contoh yang sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya.
Basa-basi
ini berujung pada aktualisasi diri agar kita sama dengan suatu kelompok komunal
tertentu. Sulit sekali di umur-umur 15-25 tahun untuk tidak terjebak dalam
kondisi seperti ini. Menuju level evolusi identitas sosial: pacaran.
Hal
yang lucu, maaf, bukan lucu, tetapi mengenaskan adalah ketika seorang Jomblo
menjadi pacaran, lalu kemudian putus, lalu mencari pacar lalu sebagai suatu
kebutuhan, lalu putus lagi, lalu menjomblo, lalu pacaran lagi dan berganti
pasangan lagi dan begitu seterusnya. Alias, “putus-nyambung” Akut.
Lihat?
Mereka yang mengatakan seseorang Jomblo juga menyeretnya ke dalam wacana
hubungan temporal “putus-nyambung”. Orang yang dicap Jomblo sebenarnya sudah
tidak bebas secara eksistensial, sudah direpresi oleh nilai-nilai sosial
universal masyarakat, direpresi pula oleh nilai-nilai komunal keanak-mudaan
yang sebetulnya tidak wajib diikuti. Toh, ujung-ujungnya ini hanya sebuah trend
yang akan menjadi “kenangan” di kala hujan turun. Yaps, menjadi bahan galau.
Bahkan,
pada beberapa kali kesempatan, seorang yang jomblo dan merasa tertekan, pada
akhirnya mendorong pikiran buruk seperti “minta doa hujan di malam minggu atau
akhir tahun agar para pasangan tidak bisa keluar bersenang-senang”. Sampai
seburuk itu.
Kembali ke Awal
Nanti
dulu, ini belum selesai. Dalam sistem nilai keanak-mudaan yang demikian rumit,
dimana tanggung jawab kelompok penindas dengan kelompok tertindas? Aha! Ini
bagian paling menyebalkan. Biasanya, ungkapan “Jomblo” sebagai suatu bahasa,
hanya dianggap sebagai suatu bahan bercandaan. Ya, sekali lagi, “BER-CAN-DA-AN”.
Mengerikan
ya, bagaimana suatu candaan bisa berujung pada kegalauan massal anak muda.
Jelas, yang mencandakan status kejombloan seseorang itu seperti lepas tangan
atau “cuci tangan” karena tidak pernah mengkonfirmasi mereka yang terlanjur
memiliki status “Jomblo” yang sudah terbully itu. Mereka hanya akan mengatakan,
“Yaudah sih, bercanda doang. Dibawa serius amat”.
Jadi,
ada indikasi bahwa kekerasan verbalistik ini dianggap sebagai hal yang biasa
saja. Padahal, ini sudah pelecehan yang menyangkut hal yang paling privat dalam
status sosial seseorang. Silahkan Anda tes berbicara kepada seorang perempuan,
mungkin ini agak sedikit sensuil, “Mbak, badannya semok sekali sih?” atau
berbicara kepada laki-laki,”mas, cowok kok badannya bantet banget sih?”. Keduanya,
saya yakin, secara normal, akan merasa risih.
Toh,
kalau sudah begini, bagaimana anak muda yang sudah kadung kecebur dan tercemar
identitas kediriannya dalam pergulatan status kejombloan? Ya, kita harus mahfum
bahwa ia akan sulit kembali ke awal.
***
Ngomong-ngomong, ini hanya menjadi artikel pendahuluan terkait beragam implikasi dari sistem nilai keanak-mudaan lainnya. Tunggu ya :)
Kasian ya kalo sampe dibully. Padahal jomblo ga ada salahnya. :p
BalasHapusSalah satu kesalahan dari seorang Jomblo adalah ia mengkonfirmasi dirinya sendiri bahwa ia adalah seorang jomblo. Sayangnya disitu :)
BalasHapusTrims sudah berkunjung.
jomblo bentuk ketertindasan baru :(
BalasHapushttps://aksarasenandika.wordpress.com/2015/03/09/surat-kangen-haji-lulung-untuk-bang-foke/
Yaps..
HapusTrims :)
Paham banget kalo udah ngomongin jomblo :D
BalasHapusSebagai gejala empirik? Yaps. Paham banget :)
Hapuswew ngomongin jomblo pake bahasa yang lumayan berat :D
BalasHapusbagus, keliatan jomblonya udah master B-)
:)
HapusHahah.. Jomblo itu free-hatin.. :D Ngakak banget di bagian meme yang itu :D
BalasHapusHaha :')
Hapus