SAYA dan SOSIOLOGI: Sebuah Pertemuan Awal
SAYA dan SOSIOLOGI:
Sebuah Pertemuan Awal
Kala itu
Pertemuan
saya dengan sosiologi dimulai sejak kelas 2 SMA. Kenapa tidak kelas 1 SMA?
Jujur saja, karir akademis terburuk saya sepanjang bersekolah adalah sejak
kelas 1 SMP hingga 1 SMA. Tidak perlu saya ceritakan ya, yang pasti buruk,
maksudnya, saya tidak pernah merasa mendapatkan suatu kenikmatan belajar dalam
bidang apapun.
Kala
itu pengambilan rapot kelas 1 SMA dan kenaikan kelas penjurusan, mengingat
nilai rapot saya biasa saja, ditawarilah oleh guru kelas, “kamu ga bisa masuk IPA ya. Bisanya masuk IPS”. Dalam hati saya, “lah, siapa juga yang mau masuk IPA, pun
nilai saya setinggi langit, saya akan tetap memilih jurusan IPS”. Saya
bingung, mengapa sepertinya IPS seperti jurusan yang tidak diunggulkan, bahkan,
parahnya, dianggap seperti jurusan ‘buangan’ bagi yang nilainya kecil dan yang
dianggap anak ‘nakal’ bahkan tak jarang dianggap ‘bodoh’.
Tapi
yah, Alhamdulillah akhirnya, saya masuk juga kelas XI IPS 1. Seperti biasa, di
semester awal, kita membeli sepaket buku mata pelajaran. Sepulangnya membeli
buku, di rumah, sambil menyampul buku, saya lihat substansi isi bukunya menarik
atau tidak. Tentu, yang langsung saya singkirkan adalah buku matematika karena
saya tidak pernah mengerti, bahkan sejak TK.
Jujur
saja, mengingat waktu itu saya tidak punya minat terhadap mata pelajaran
apapun, sedikit merasa worried juga
kalau saya akan melanjutkan kesalahan yang sama seperti kelas satu kemarin.
Tapi, ternyata ada satu buku mata pelajaran yang menarik. Bab awal buku ini
adalah Struktur Sosial dan Diferensiasi Sosial. Saya baca-baca, isinya standar
saja sih, tapi percaya atau tidak, seharian itu saya malah meneruskan membaca
hingga bab 2 yang membahas Stratifikasi Sosial. Lama-lama pembahasan ini kok
menarik, ternyata ada satu mata pelajaran yang tidak melulu membicarakan
“angka” tetapi hal yang lebih luas, makna dan menyoal problem sosial
masyarakat. Hal mudah yang kelihatannya normal, padahal sebetulnya tidak. Oooh,
saya baru tau, mata pelajaran ini bernama Sosiologi.
Sosiologi
Seharian
saya membaca buku itu, saya ulang dua bab awal berkali-kali dalam waktu satu
hari. Saya malah sampai lupa bahwa saya harus menyampul buku. Maklum, saat itu
saya sangat menggebu-gebu membaca buku sosiologi. Susah, rumit, banyak definisi
hafalan, tapi sekali lagi, kok ya menarik. Selalu ada yang tidak normal, bahkan
dalam setiap apa yang dianggap normal dari masyarakat. Selalu ada yang tidak
beres dalam masyarakat. Itu hal pertama yang saya sadari.
Saya
senang dan tenang, minimal, untuk pijakan awal, saya sedikit merasa beruntung
sebelum saya masuk kelas XI, ibaratnya saya sudah mulai sedikit terangsang
untuk belajar satu mata pelajaran.
Waktu
liburan semester selesai, masuk lah awal pertama kelas XI, di hari selasa pagi
tahun 2008, saya ingat betul, saat pelajaran sosiologi ada guru pengganti
bernama Bu Santi. Ia menggantikan guru sosiologi saya waktu kelas satu karena
harus dimutasi ke SMA lain kalau tidak salah. Sejujurnya waktu hari pertama
masuk, saya sudah mulai memahami baik isi dan substansi dari 2 bab awal ini
sih, jadi tugas saya hanya lah memastikan apakah pemahaman saya benar atau
tidak.
Ternyata,
saya tidak menduga Tuhan berbaik hati kepada saya atas dua hal pagi itu:
sosiologi secara substansial benar-benar menyenangkan dan guru sosiologi pagi
itu juga menyenangkan. Beliau mengajar dengan cukup mudah dipahami. Waktu itu
sih belum ada inovasi pembelajaran minimal PPT, tetapi memang penjelasan yang
dibawa oleh sang guru ini menyenangkan.
Memang,
bab-bab awal tentang diferensiasi sosial cukup banyak, tapi dengan nalar
sosiologis yang sederhana waktu itu, saya kira saya bisa merumuskannya dengan
mudah bahwa terjadi bentuk horizontal dalam masyarakat dikarenakan
elemen-elemen yang tidak bisa diperbandingkan secara hirarkis atau bertingkat,
seperti agama, gender, suku, ras. Stratifikasi tinggal sebaliknya. Tanda (+)
bisa jadi penanda mudah untuk membedakan penjelasan diferensiasi dan
stratifikasi. Jarang-jarang saya “mau” atau katakanlah “niat” belajar seperti
ini.
Titik
pijak memantik esensi kenikmatan belajar, saya mulai dari situ…
Oh
iya, sedikit cerita, saya pada pertemuan pertama melamun ketika guru ini
menjelaskan, bukan karena tidak memperhatikan, tapi saya sedang membayangkan
kala itu, “gimana ya seandainya kalo gue
yang berdiri di depan kelas itu dan mengajarkan ke murid-murid tentang
sosiologi?”
Yang Belajar dan Yang
Tidur
Saya
tidak tahu juga dan tidak memahami
bagaimana pandangan teman-teman sekelas tentang satu mata pelajaran ini,
kecuali satu hal, “Sosiologi itu ilmu masyarakat, ilmu hafalan”. Jelas. Yang
pasti, banyak yang tidak kelihatan excited
terhadap ilmu ini.
Sepengalaman
saya, masih banyak yang mementingkan belajar “ilmu hitung” entah itu
matematika, ekonomi atau akuntansi. Jauh lebih terlihat bersemangat sepertinya.
Tak khayal, ini mempengaruhi pemilihan jurusan kuliah mereka setelahnya kelas
tiga.
Satu
tahun kira-kira saya diajar oleh bu Santi, saya sedikit agak berutang budi
karena sepertinya ia tidak menurunkan profesionalitasnya bahwa sosiologi itu
menarik kepada murid-muridnya, minimal kepada saya. Satu tahun menjadi
“sosialisasi” yang cukup untuk mengendapkan pikiran bahwa sosiologi, sekali
lagi, menarik. Memang pada waktu itu
beliau mengambil cuti karena sedang hamil kalau tidak salah.
Saya
belakangan tahu, mudah-mudahan tidak salah ingat bahwa guru sosiologi saya
merupakan mahasiswa jurusan antropologi semasa kuliahnya, sempat belajar
sosiologi juga. Dilihat dari latar belakang akademisnya, ya memang pantas lah
ia dapat mengajar secara substansial. Sewaktu saya kuliah pun, Antropologi dan
Sosiologi seperti teman tapi mesra.
Sayang,
waktu kelas XII kami tidak diajar oleh beliau dan diganti oleh guru yang lebih
senior waktu itu. Tidak perlu diceritakan panjang lebar, yang pasti banyak saja
teman-teman yang “tidur” di kelas waktu pelajaran sosiologi, mungkin karena
sistem pembelajaran yang “gitu-gitu aja” atau monoton. Tapi tetap, tidak bisa
mengalihkan kesukaan saya pada sosiologi dan jelas saya tidak tidur. Menuju UN,
khusus sosiologi, saya harus belajar otodidak untuk memahami setiap bab di
kelas XII dan sedikit mengulang pelajaran kelas X.
Kondisinya
pada saat itu menuju Ujian Nasional dan memang lagi-lagi, Sosiologi terpojokkan
ketimbang ragam “ilmu hitung” dilihat dari skala belajarnya. Beruntung saja
rekan-rekan masih menyiratkan perhatiannya kepada mapel sosiologi karena
sosiologi tetap di UN kan. Andai saja tidak, kita bisa tahu sama-sama bahwa
sosiologi akan semakin menjadi ilmu yang terpinggirkan.
Sebenarnya,
tidak hanya Sosiologi yang menarik, Sejarah juga merupakan mata pelajaran yang
sungguh menarik, adagium yang sangat menarik salah satunya adalah “History size everything”, bahkan
sosiologi pun akan kesulitan dipelajari bila tak memahami sejarah. Geografi pun
juga sama. Sayang, bahkan, tidak hanya dalam rumpun ilmu alam sekolah
mengedepankan ilmu hitung-menghitung, di rumpun ilmu sosial pun “ilmu hitung” digiatkan
habis-habisan. Sehingga esensi ilmu sosial itu sendiri tidak diangkat. Tidak
salah memang, tetapi pada akhirnya kita tidak bisa membantah argumentasi bahwa
esensi ilmu sosial menjadi hilang kan, apalagi menyoal dimensi ilmu sastra di
sekolah.
Menuju Universitas
Ini
mungkin sedikit bagian yang agak menyebalkan. Menuju pemilihan jurusan dan try
out ujian universitas, Saya, tidak
pernah mendengar sekalipun, ada siswa saat itu pada tahun 2009-2010 yang mau
mengambil atau mendaftarkan jurusan ilmu sosial atau sastra padahal mereka anak
IPS. Beberapa mungkin ada, tapi kecil sekali, bisa dihitung jari. Definisi
“IPS” itu sendiri diasosiasikan secara bias hanya sekedar ekonomi dan
akuntansi.
Sosiologi,
Sejarah, Geografi, tidak ada yang mau mengambil karena dianggap tidak ada unsur
“economic value” nya, cari kerja susah dan yang apalah yang apalah. Yang paling
MUSTAHIL adalah ada anak SMA yang mau mengambil jurusan FILSAFAT dalam lembar
pilihan SNMPTN nya. Tidak terdengar SATU pun.. He he he
Saya,
karena sudah jatuh cinta dan “pacaran” lama dengan sosiologi, saya bertekad
untuk benar-benar mempelajari sosiologi pada level yang lebih tinggi. Doa saya adalah
saya bisa terus belajar sosiologi secara fokus, mengembangkannya sebagai suatu
ilmu pengetahuan yang penting. Saya ingin merubah cara pikir orang lain bahwa
sosiologi merupakan ilmu yang betul-betul sama pentingnya dipelajari dan tidak
kalah dengan “ilmu hitung” yang dirasa penting juga, khususnya bagi mereka yang
duduk di bangku SMA.
Saya
berdoa kala itu, entah dimana saja lah saya kuliah, yang penting belajar
sosiologi. Menuju pertengahan bulan di 2010, saya memilih dua pilihan di
SNMPTN: Sosiologi UNAIR dan Pend.Sosiologi UNJ. Alhamdulillah, saya mendapatkan
pilihan kedua.
Saya
baru tahu, belajar tidak bisa dipaksakan, sehebat apapun gurunya, konfirmasi
akan kembali kepada diri seorang murid. Merasa ingin tahu, merasa harus mencari
jawaban hanya bisa datang dalam diri seorang murid. Bukan kah esensi belajar
selalu dimulai dari sebuah pertanyaan?
***
Bagi Pembaca, saya sengaja menulis tentang
cerita ini dalam rangka bersyukur karena telah lulus wisuda dari Sosiologi UNJ,
Maret 2015. Tulisan ini sekedar cerita pengingat perjalanan saya dari awal mula
mengenal sosiologi hingga mendalaminya dalam strata satu di Universitas.
Tulisan ini akan saya lanjutkan pada cerita masa-masa awal saya belajar
sosiologi di UNJ. Saya juga akan bercerita tentang dosen-dosen yang mengajar
saya dan juga beberapa rekan-rekan yang ikut berjuang dalam mempelajari
sosiologi. Semoga menginspirasi!
Pengalaman pribadi yg mengesankan
BalasHapusMakasih mas sudah berkunjung&membaca pengalaman ini. Cerita lanjutannya masih ada ketika saya kuliah hingga akhir kuliah kemarin :)
HapusAku dulu juga suka pelajaran sosiologi.. :D
BalasHapusOuuh, kalo ada murid yang suka sosiologi, kemungkinan besar gurunya pandai meracik materi :)
HapusSekarang kuliah/mungkin sudah bekerja?
Iya.. Jadi guru SMP ku itu jago banget cerita tentang sosiologi.. Misalnya kayak beberapa kasus broken home, penyalahgunaan gender, dll..
HapusBaru lulus kuliah.. :D
Hebat, Guru Sosiologinya!
HapusWah, saya juga baru lulus lho.. hehe
Jarang ada guru yang menyenangkan seperti itu ya :D
HapusSamaan dongs berarti ^^
Saya juga sangat jatuh cinta dengan sosiologi. Ganti guru berapa kali tetep aja sosiologi jadi favorit aku karena seru, banyak cerita dan menyenangkan. Sama kayak PKN Sejarah juga banyak sosiologinya.
BalasHapusmakasih khaa. setipeee yah kitaaa aku jugaa kurang suka mtk . tiap liat deretan buku pastii sosiologi yang dilirik.
BalasHapusjadii ada inner motivation darii cerittaa pngalamanyaaa... :) thanks
Malah pengalaman saya buruk ttg sosiologi dari kelas X sampai kelas XII gurunyag tidak ada yg bener wkwkwk semua nya tidak ada yg berlatarbelakang sosiologi atau pendidikan sosiologi,
BalasHapustidak ada yg saya lakukan saat belajar sosiologi selain menggambar Naruto wkwkwk
Tapi saya bersyukur saja kalo bukan karena pengalaman itu saya tidak akan memahami asyik nya sosiologi dengan mempelajarinya sendiri
Peluang kerja nya apa aja kak
BalasHapusSaya mengenal sosiologi sejak lulus dari SMK. Ketika itu, saya sedang belajar untuk persiapan SBMPTN. Menurut saya, pelajaran yang sangat menarik dan mudah dipahami adalah sosiologi. Saat ini saya sedang mendaftar di jurusan sosiologi pada SBMPTN 2020. Semoga saya bisa lolos��
BalasHapussaya juga mendaftar sosiologi unj 2020
Hapussaya juga mendaftar sosiologi unj 2020
Hapus