[Review] Pentas TEATER AGORA: Suksesi atau Kudeta

[REVIEW] TEATER AGORA

SUKSESI atau KUDETA


Hari Senin kemarin (27/04/2015), sebuah pertunjukan teater dihadirkan di Gedung Auditorium IX FIB UI oleh Teater Agora. Pentas kemarin mengusung tema politik yang asyik, “Suksesi atau Kudeta”, ditulis dan disutradarai oleh Tommy F Awuy. Ya, tentang upaya demokratisasi di sebuah lokalisasi yang katanya tempat berkumpulnya “Sampah Masyarakat”. Ah, mana mungkin sih tercipta suatu budaya demokrasi dan intrik politik tertentu dalam tempat lokalisasi yang isinya hanya kenikmatan-kenikmatan sesaat?

Toh, di atas panggung teater, segala nya menjadi mungkin untuk direalisasikan, direfleksikan. Mari kita simak jalan ceritanya…

Suksesi

Cerita dimulai dari sebuah adegan yang menggoda, menggelitik nan pelik. Di sebuah ranjang, Leli, salah seorang pelacur dengan pose yang menggoda, merasa ragu untuk membicarakan tentang CINTA dan segala keseriusan di dalamnya. Baginya, dalam tempat nya bekerja, tidak ada kata cinta dan berbahaya untuk main hati seperti itu. Cinta tak mungkin tercipta di lokalisasi. Tapi, rupanya pandangan itu berbeda dengan Haryanto, seorang rocker yang memiliki pikiran sebaliknya. Ia jatuh cinta sangat dengan Leli. Baginya, obrolan tentang cinta tidak ada sangkut pautnya dengan lokasi tempat seperti itu. Cinta murni datang karena perasaan, bukan karena pekerjaan, bukan karena hal-hal yang lain. Sayang, sikap kekehnya itu tetap diragukan oleh Leli, ajakan menikah mungkin asa yang terlalu mengada-ada baginya.

Felicia ketika Menggoda Swara
Scene lalu berganti ke perkumpulan para lakon pelacur-pelacur yang bertemu dengan sang Germo atau asistennya Mami, Agung namanya. Adegan menjadi cukup riuh dengan beragam tingkah laku para lakon. Kurang lebih ada 10 lakon pelacur (Leli, Felicia Embun Pagi, Feynomena, Mimin, Anita, Sarah, Ceria, Kinta, Yuyun dan Dinda). Yang paling heboh jelas Felicia Embun Pagi, seorang waria dengan tingkah kemayu nya yang menggelitik. Aksi lucunya cukup mengundang gelak tawa di awal-awal pementasan ketika menyambut kedatangan para pelanggan (Swara, Tigor, Andy).

Agung dengan panjang lebar berupaya menjelaskan bahwa akan terjadi pergantian pemimpin di Pondok Mesin Hasrat oleh salah satu di antara para pelacur. Hal ini disebabkan karena Mami mau mulai terjun ke dunia politik yang lebih luas, masuk ke salah satu federasi yang berhubungan dengan dunia prostitusi dan masuk partai politik salah satunya. Pertanyaannya, Mengapa harus mereka yang menggantikan? karena alasan secara teknis, Mami tidak memiliki anak yang bisa dijadikan ahli waris tempat prostitusi itu. Toh, Mami (Cornelia Agatha) selalu menganggap bahwa mereka semua adalah anak kok!  Akhirnya dipilihlah dua orang, yaitu Mimin dan Kinta untuk menjadi dua kandidat kuat. Suksesi dimulai…

Demi terciptanya suksesi pemilihan demokratis antara kedua kandidat itu, maka Pondok Mesin Hasrat ditutup selama dua minggu. Sambung cerita, rupanya sang rocker tak tahan dengan kondisi ini, ia tidak bisa tidak bertemu dengan Leli dan waktu dua minggu terlalu lama untuknya. Respon Leli? Seperti biasa, ia tidak begitu peduli. Baginya, yang terpenting sekarang adalah bagaimana proses suksesi bisa berjalan lancar.

Cuplikan Kelas Politik Praktis dengan Profesor
Yang unik adalah ketika dalam masa suksesi itu, prosesi demokratis dimulai dengan pendidikan politik praktis oleh seorang Profesor (diperankan oleh Robertus Robet). Cukup panjang adegan kelas edukasi politik ini. Lalu setelahnya diadakanlah temu debat antar dua kubu antara kubu Leli dan Kinta untuk saling menyampaikan sekaligus mengkritik visi-misi yang mereka sampaikan. Leli, sebetulnya punya peran menarik disini, ia secara tidak langsung dijadikan, katakanlah, “penasehat” politik oleh kedua kandidat, memikirkan bagaimana caranya memenangkan pemilihan ketua Pondok Mesin Hasrat. Permainan politik mulai terlihat…


Kudeta

Konflik muncul ketika Mami diduga terlibat dalam tindak korupsi oleh KPK, padahal baru mulai terjun ke dunia politik. Suasana genting seketika dan untuk menyiasatinya, dipanggil lah perwakilan kedua kandidat dan beberapa rekan pelacur lain untuk memikirkan bagaimana caranya menyelesaikan kasus ini dan sembari tidak mengganggu proses suksesi pemilihan ketua.

Akhirnya, jalan yang ditempuh adalah Mami harus pergi dan bersembunyi di Vila nya di daerah Cilember. Pilihan taktis dari ide Ceria dan dikuatkan oleh Leli. Mami setuju. Pergilah Mami malam itu juga. Konflik mulai bertingkat..

Pada kondisi anomi seperti itu, jelas tanggung jawab atas Pondok Mesin Hasrat ada di dua tangan kedua calon kandidat sebagai pemimpin sementara. Itu berarti mereka juga harus siap diperkarakan oleh orang-orang KPK. Adegan mulai berfokus antara Leli, Mimin dan Kinta. Keduanya panik dan sepakat berpikiran bahwa menyuruh Mami pergi adalah upaya kudeta oleh Leli. Di tengah perdebatan itu, kembali Haryanto datang menginfokan persiapan launching album barunya. Jelas waktu yang tak tepat. Bolak-balik nya Haryanto tentu logis, karena semakin kesini Leli semakin sibuk dengan aktivitas politik nya. Di sudut lain, Mimin dan Kinta memanfaatkan celah untuk melakukan upaya licik.

Mimin dan Kinta memutuskan secara sepihak dan diplomatik bahwa keduanya melepaskan diri dari jabatan “kandidat” pengganti Mami. Setelahnya, mereka justru menjadikan Leli sebagai Kandidat tunggal yang itu juga menandakan bahwa ia adalah pemimpin sementara Pondok Mesin Hasrat. Leli jelas terlihat takut. Kebetulan, tak lama Mami pulang.

Mami sumringah. Ia dinyatakan bersih, tidak terlibat dalam skandal korupsi maupun permainan uang lain nya oleh KPK. Bagaimana dengan perubahan rencana dan upaya-upaya kudeta terselubung ini?

Menuju akhir cerita, kita diberikan satu “kebenaran” di balik semua upaya politik atas nama “demokrasi” dan “suksesi” bahwa sesungguhnya ini semua adalah konspirasi politik yang sengaja dimainkan oleh Mami dan Leli. Mami sepertinya sejak awal memang menginginkan Leli sebagai pengganti dirinya.

Duka di balik Euforia
Namun, di tengah euforia kegembiraan politik itu, akhir dari segala akhir adalah kabar duka. Kabar buruk bahwa konser launching album Haryanto gagal. Tanggapan Leli? “Ah, yaudah gapapa, biarin aja”. Sampai ia benar-benar sadar, menangis mendengar kabar, Haryanto, Pria yang benar-benar secara tulus mencintainya tak peduli apapun kondisinya, dinyatakan Bunuh Diri.

Kekuasaan Ia dapat, Cinta Ia kehilangan..

Ooh Leliii…

Tangisan kencangnya menutup akhir kisah teater ini…

***

Sungguh, suatu cerita yang menarik. Ini kali kedua dalam hidup saya menonton Teater. Tentu bukan tanpa kritik, ketidaknyamanan secara subjektif bagi saya justru adalah soal teknis sounding dan blocking. Cukup banyak adegan yang dimainkan di kiri panggung. Seperti contoh, ketika adegan kelas bersama professor, saya kira itu terlalu ke kiri. Padahal banyak adegan sebenarnya bisa dilakukan secara holistik dengan memanfaatkan tengah panggung. Sehingga terlihat semua selalu bisa melihat ke arah tengah. Pencahayaan di kanan panggung juga sedikit redup. Lalu, menyoal sounding, Beberapa percakapan juga kurang terdengar begitu jelas.

Selebihnya saya sangat menikmatinya. Karakter yang cukup saya apresiasi atas konsistensi perannya adalah Agung yang memainkan peran germo dan tangan kanan Mami yang setia. Oh iya, puisi terakhir tentang “Kematian yang Kutemukan” kalau tidak salah, yang dibawakan oleh salah seorang lakon, itu KEREN banget!!


Bila refleksi yang digambarkan dalam cerita adalah sebuah tafsir, maka saya menangkap satu pesan etis bahwa di ternyata, cinta bisa tumbuh dimana saja, kepada siapa saja. Cinta merupakan kondisi yang selalu mungkin.

Bukankah memang cinta adalah sebuah bentuk pembebasan?


Congratulations ya buat teman-teman TEATER AGORA. Pentas berikutnya, Saya pasti nonton lagi J

Komentar

  1. Terimakasih atas reviewnya, kritik dan saran akan menjadi bahan untuk evaluasi kami, semoga kedepannya dapat lebih baik lagi.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer