Edukasi Reaksioner



EDUKASI REAKSIONER

Oleh

M. Luthfi Ersa. F

Di Hari Pendidikan Nasional ini saya berpikir kira-kira apa yang bisa saya refleksikan di tengah apa-apa yang jadi perbincangan di dunia pendidikan kita saat ini. Tentunya, di luar objek pembahasan yang memang sudah sering menjadi kritik, tidak asyik rasanya kalau hanya sekedar merepetisi menyampaikan soal yang sudah-sudah. Ternyata, ada satu problem sosiologis yang menggelitik saya untuk berpikir, yakni terkait keinginan pemangku kebijakan menjadikan pendidikan sebagai upaya pemecahan setiap masalah sosial. Tindakan yang sangat etis dan taktikal mungkin, tapi problem bukan di situ. Problem yang muncul ada di cara pandang melihat fenomena sebagai suatu masalah sosial yang selalu dianggap “urgent” dan harus segera cepat-cepat, secepat-cepatnya dituntaskan.


Massif dan Reaktif



C. Wright Mills adalah seorang sosiolog yang memiliki alat bantu teoritik yang membantu kita untuk dapat memilah fenomena seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai masalah sosial dengan apa yang disebut dengan Sociological Imagination. Konsep Personal Trouble dan Public Issue menjadi penting di sini. Secara sederhana, bila ada 500 murid di dalam satu sekolah, bila yang terlambat hanya 1-10 orang, itu bukan masalah sosial, melainkan Personal Trouble atau masalah personal kesepuluh anak itu. Lain hal nya bila dari 500 murid, hingga 200 anak terlambat, itu akan menjadi Public Issue yang mendorong  untuk dicarikan jalan keluarnya, mengkoreksi jam masuk sekolah yang ternyata terlalu pagi, misalnya. Metode ini tentu bisa saja diterapkan untuk melihat masalah-masalah sosial terkait pendidikan.  

Setidaknya dari pengalaman saya sekolah hingga setelah lulus kuliah, saya melihat langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah untuk mengatasi segala selalu bertendensi untuk “pukul rata”. Tentu kita dapat mempertanyakan metode seperti apa sebetulnya yang diterapkan para pemangku kebijakan baik di Senayan dan Kemendikbud. Saya akan beri contoh nyatanya yang kemungkinan besar para pembaca sekalian sudah tahu juga.

Persoalan Lingkungan

Masih ingat kah kita untuk menyerukan kesadaran lingkungan kepada para murid di sekolah, Pemerintah membuat sebuah kebijakan yang kemudian ditafsir dengan sangat lucu sekali oleh sekolah: Murid di awal/akhir masa sekolah mereka wajib membawa beragam pot tanaman untuk ditanam di sekolah atas nama “penghijauan” dan “reboisasi” di sekolah? Atau, tidak kah kita sedikit memperhatikan bahwa cukup banyak sekali sekolah yang dicat dengan warna hijau? Sungguh simbolik sekali alasannya sebagai pendorong konsep Green School. Dan, di ruang kelas, secara substansial, dibuatkan mata pelajaran PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup) yang waktu itu pun saya dapatkan sejak 2007 dan, belum ada bukunya, tapi ada guru pengampunya. Nah!

Persoalan Moral

Setiap kali ada persoalan kenakalan remaja atau segala macam bentuk delikuensi terkait murid, pasti selalu didefinisikan sebagai “Degradasi Moral”. Sedangkan, yang lucu adalah anak menyontek/berbuat curang ketika UN ya dibiarkan saja agar tingkat kelulusan tinggi, agar nama sekolah tidak tercoreng. Sungguh politis.

Yang lebih menarik perhatian adalah keputusan untuk menambah jam mata pelajaran Agama di kelas. Menambah hal-hal yang berbau Agamis di ruang-ruang kelas. Bahkan ini mulai dilestarikan lewat kurikulum, K1 di dalam badan struktur Kurikulum 2013 yang berbunyi “Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya” adalah bukti nyata.

Persoalan Multikultural

Kekerasan etnis yang tak kunjung selesai, fenomena kekerasan antar umat beragama pasca reformasi mendorong pemerintah untuk sampai pada satu kesimpulan bahwa masyarakat kita tidak memahami keberagaman, sehingga, melalui pendidikan, lagi-lagi kepada murid di sekolah, dianggap butuh ada penambahan mata pelajaran yang sekiranya bisa mengcover kesadaran tentang keberagaman di dalam masyarakat. Pada akhirnya terselip di mata pelajaran sosiologi dalam satu bab sendiri yaitu “Masyarakat Multikultural”. 

Menurut saya pun tidak ada salahnya, yang menjadi masalah teknisnya, bagaimana menerjemahkan definisi Multikulturalisme itu sendiri. Bagaimana menjelaskan perbedaan Multikultural dengan Plural? (di level bangku perkuliahan pun hal-hal ini secara subtil masih terus diperbincangkan dan diperdebatkan) juga, bagaimana guru menciptakan suatu strategi pembelajaran yang tidak hanya menghafal tetapi juga menimbulkan kesadaran tentang keberagaman di ruang kelas bila anak didiknya saja masih senang bersikap primordial dengan identitas keberagamaannya dan klub-klub sepak bola pilihannya?

Persoalan Seksualitas

Belakangan, banyak sekali penelitian maupun tindakan-tindakan praktis menyoal pendidikan seksual. Ini lebih problematik. Pemerintah akan sangat reaktif terhadap kasus pelecehan seksual (yang barangkali baru mereka sadari setelah  melihat dari beragam media massa dan kemudian diklaim sebagai fenomena gunung es). Untuk itu lah mereka berupaya menyelesaikan masalah ini dengan membuat kebijakan di atas kertas bahwa sekolah harus mengadakan pendidikan seksual di ruang kelas.

Karena terlalu reaktif, mereka lupa bahwa bahwa realitas chit-chat tentang seksualitas masih merupakan hal tabu, bahkan di ruah (entah karena benar-benar karena unsur ketidaktahuan atau memang sengaja tidak diperbincangkan karena urusan “moral”, entah). Pun, dalam ragam seminar di sekolah, yang ikut hanya perwakilan-perwakilan siswa. Lantas, bagaimana konstruksi pengetahuan terkait seksualitas bisa berjalan dengan mulus?

Persoalan Buta Huruf

Penelitian skripsi saya mengenai hal ini. Persoalan buta huruf jelas merupakan masalah sosial. Yang menarik, buta huruf merupakan masalah sosial yang sudah sangat karatan dan usang. Ini yang menjadi fokus penelitian saya, saya penasaran, bagaimana pemerintah menyelesaikan masalah sosial yang umurnya melebihi ulang tahun kemerdekaan Indonesia ini? Lantas, hasil data yang saya temukan? Menyedihkan. Mereka tidak memiliki formulasi yang pas selain program kejar paket, program baca-tulis dan program pemberdayaan (Pembaca bisa bayangkan, bahkan output urusan teknis tentang baca-tulis diarahkan menjadi entrepreneur yang memiliki economic value). Bahkan saya menafsir itu bukan lah program melainkan proyek.

Kelas sebagai Ruang Percakapan

Saya tentu paham beban tanggung jawab dari mereka sebagai para pemangku kebijakan pendidikan, tetapi upaya pemecahan masalah sosial dengan pendekatan yang terlalu dan selalu makro, kaku dan terlalu teknis-administratif dan ditambah, reaktif justru rasa-rasanya menyulitkan diri mereka sendiri. Ini tentu juga menjadi sebuah ejekan terhadap kompetensi guru yang ada di kelas, begitu pula murid-muridnya. Saya selalu bertanya-tanya, mengapa pemerintah tidak pernah benar-benar memberikan kebebasan bergerak pada dua subjek dalam ruang kelas ini untuk membicarakan hingga menyelesaikan permasalahan dalam kelas?

Segala hal-hal negatif yang setidaknya membuat kuping panas di Kemendikbud selalu langsung didefinisikan sebagai masalah sosial yang harus dengan segera ditangani, lebih-lebih, penanganannnya sangat tidak saintifik namun moralis. Kemudian, segala  rumusan dan hasil jadi “rapat” mereka yang dibuat oleh orang-orang yang “itu-itu” juga kemudian didistribusikan ke sekolah-sekolah sebagai perangkat aplikasi. 

Sering kali, guru dan murid sebagai subjek inti tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam segala rapat rumusan kebijakan. Apakah guru adalah kertas kosong? Apakah murid adalah kertas kosong?

Tapi, ya sudahlah…

***

Di Hari Pendidikan Nasional ini, Saya hanya berandai-andai, ada saat di mana para elit pendidikan selalu datang dan duduk melingkar, mungkin sambil lesehan atau menyantap gorengan dan menyeruput teh atau kopi bersama guru dan murid, bercengkrama tanpa harus pakai power point menjelaskan hal-hal teknis kementerian, tetapi membicarakan soal keseharian mereka di sekolah. Di setiap sekolah tanpa terkecuali.


Saling berbicara, berargumen, berhadap-hadapan, Tanpa dibatasi kelas sosial, status sosial, tua atau muda dan seragam apa yang dipakai..

Saling berbicara, berargumen, berkeluh kesah, Tanpa takut kehabisan waktu sejam, dua jam..

Saling berbicara, berargumen, Tanpa takut dibantah atau disalah-salahkan..



Bukankah salah satu cara untuk menyelesaikan segala persoalan selalu dimulai dari saling mendengarkan satu sama lain?




Depok, 2 Mei 2015
Di tengah lantunan lagu “You Belong to Me” aransemen Tika and The Dissidents

Komentar

  1. Yah begitu lah.. Zaman sekarang pada banyak manusia yang ngga mau 'kalah', bahkan untuk mendengarkan saja ia tak mampu.. :(

    BalasHapus
  2. Ketidakmampuannya muncul justru dari ketidakinginan mendengarnya sejak awal :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer