[REVIEW] INSIDIOUS CHAPTER 3



[REVIEW] 


INSIDIOUS CHAPTER 3
 


Dear Pembaca,

Akhirnya film horror yang sejak 2013 lalu ditunggu-tunggu tayang juga di bioskop. Yah, siapa yang sesekali tidak ingin berbuat sedikit masokis terhadap dirinya sendiri dengan cara memacu adrenalin menit demi menit menonton film horror besutan Leigh Whanell atau James Wan?

Saya akan sedikit menceritakan cerita Insidious 3 di hari pemutaran premiere kemarin tanggal 2 Juni 2015. Silahkan menyimak ya…

Jalan Cerita

Anak perempuan itu datang ke rumah Elise (Lin Shaye). Quinn Brenner (Steffani Scott) namanya. Ia bercerita secara lugas khas anak muda untuk mengutarakan bahwa ia ingin sekali sekali berkomunikasi dengan Ibunya, Lily Brenner (Ele Keats) yang telah meninggal satu setengah tahun lalu karena penyakit kanker. Quinn tahu bahwa Elise adalah seorang paranormal/cenayang yang katanya cukup mumpuni. Sayang, Elise menolaknya mentah-mentah sedari awal kedatangannya, dengan alasan “sudah tidak mau berbisnis lagi”. Tak ingin begitu saja “menghancurkan” keinginan gadis ini, Elise mengajaknya masuk untuk sekedar chit-chat.

Steffani Scott as Quinn Brenner. So CUTE!! XD

Mendengar sedikit “curhatan” dari Quinn, Elise cukup memahami namun ia tetap menjaga jarak untuk tidak memberi harapan berlebih bahwa ia akan membantunya. Memang Elise langsung mencoba memanggil ibu Quinn melalui ritual “pemanggilan” sederhana namun bukannya datang, malah yang merasa “terpanggil” adalah roh jahat (atau di film ini diterjemahkan sering disebut sebagai demon) bernama “laki-laki yang kesulitan bernapas”/“The Man Who Can’t Breathe”, sedikit aneh memang namanya. Setidaknya, pijakan film ini mulai terlihat, misinya adalah menghindari Quinn dari “laki-laki yang kesulitan bernapas”.

Cerita kemudian berlanjut dengan diawali shocking twist yang begitu cepat, Quinn tertabrak mobil, tak sadarkan diri, masuk rumah sakit, kakinya diberikan penyangga seperti perban di kedua kakinya. Ini salah satu shocking twist favorit saya di film ini, simple saja sebetulnya, ditabrak mobil, tapi yang membuatnya tak biasa karena diposisikan betul-betul secara “tiba-tiba” karena sebelumnya santai-santai saja ketika Quinn sedang bercengkrama dengan temannya. Di bagian ini pun, juga diperlihatkan sedikit penampakan “laki-laki yang kesulitan bernapas” ketika tiba-tiba detak jantung Quinn melemah di meja operasi dan kemudian terjebak di dalam Further untuk pertama kalinya.

Setelah keadaan semakin membaik, ia kembali ke apartemen dan disambut meriah oleh teman&tetangganya, Hector (Aston Moio). Problem mulai muncul dan akan semakin sering muncul di scene-scene berikutnya. Ambil saja bagian ketika Quinn saling berbalas ketukan simbolis ke dinding kamar sebelah room apartemennya, Quinn mengira bahwa yang membalas ketukannya itu adalah Hector dan ternyata itu bukan (jelas kita akan bertanya, lantas, siapa yang membalas ketukan dinding kamar sebelah sedangkan penghuninya saja tidak ada?). Khusus untuk shocking twist yang ini, pembaca dapat menyaksikannya di trailernya.

The Man Who Can't Breathe say "Hi"
Shocking Twist berikutnya juga cukup mencekam. Di hari-hari berikutnya, Quinn semakin sering diganggu oleh si hantu “laki-laki yang kesulitan bernapas” itu. Terror di kamar di siang bolong. Lalu, Quinn dalam tidurnya tiba-tiba dibawa ke lorong menuju kamar 514 oleh “laki-laki yang kesulitan bernapas”, dipaksa didorong masuk ke dalam kamar tersebut sampai terjatuh (padahal dalam keadaan tidak bisa berjalan dan terus berada di kursi roda). Beruntung, Ayahnya segera tanggap menolongnya. 

Ayahnya yang cukup heroistik tidak serta merta mengeluarkan Quinn dari kekacauan itu. Ia mencari-cari siapa pelaku dibalik semua ini dengan menyusuri kamar 514 yang gelap dan sebetulnya sudah lama tak berpenghuni itu. Ia menyusurinya dari jejak-jejak kaki manusia yang bertinta hitam. Penelusuran sederhananya, ia melongok ke luar jendela yang pecah, berujung pada fakta sang pelaku memecahkan kaca dan terjun bebas bunuh diri ke bawah, sang Ayah hanya bisa berkata, “oh, astaga ternyata dia menjatuhkan dirinya ke bawah”. Tapi tak disangka, ketika Quinn mencoba merangkak dan juga melongok ke bawah, ternyata “laki-laki yang kesulitan bernapas” itu sudah berada tepat di depan mukanya dan berupaya menariknya agar jatuh ke bawah. Adegan ini benar-benar cukup membuat pacu adrenalin penonton benar-benar meningkat. Setelahnya, jelas kondisi Quinn semakin memburuk.

Sesaat Pasca Terror
Elise yang semula tidak mau membantu Quinn pada akhirnya mau karena dibujuk oleh sang Ayah yang datang ke rumahnya. Elise sedikit menceritakan mengapa ia tidak mau menolong Quinn. Ia sebetulnya tidak mau menolong bukan karena alasan bisnis, tetapi alasan utamanya ada sosok perempuan (yang kemudian kita kenal sebagai hantu di Insidious 1&2 bernama Parker Crane) yang ingin membunuh dirinya entah karena alasan apa. Ia tidak mau menolong demi keselamatan dirinya sendiri.

Sampai sini, sebelum cerita ini diceritakan semakin jauh, saya ingin mengajukan tawaran pertanyaan saat menonton film ini agar Pembaca yang belum menonton semakin penasaran,  “Bagaimana Elise membantu Quinn yang semakin memburuk akibat diterror terus menerus?”, “siapakah sebetulnya sosok laki-laki yang kesulitan bernapas itu?”, “apakah Quinn pada akhirnya bisa berkomunikasi dengan Ibunya yang telah tiada?” dan “bagaimana hubungan cerita di Insidious 3 ini dengan Insidious 1&2?”. Silahkan saksikan sendiri ya…

Salah Satu Quotes Insidious 3

Film yang Selalu ‘Aman’

Pertama-tama saya mau masuk terlebih dahulu ke plot cerita yang ditawarkan di Insidious 3. Sebetulnya, kalau hanya dilihat keseluruhan sebagai film dengan entitas genre film horror, jawabannya , film ini cukup membosankan. Plotnya hampir sama dengan film horror pada umumnya. Beberapa cirinya: keluarga kelas menengah bawah yang ingin menuju kualitas hidup yang lebih baik. Sedikit bumbu cerita keluarga yang kurang akur atau justru sangat erat. Lalu, mulai ada gangguan mahluk-mahluk halus. Penyelesainnya dengan cara exorcism atau ritual. Hantunya kalah dan kemudian ending. Endingnya pun dibuat sesuai kebutuhan pasar, bisa dibuat ‘menggantung’ agar bisa dilanjutkan sebagai serial film atau benar-benar diselesaikan pada satu titik akhir cerita.

Oh iya, dari beragam film horror yang saya tonton, Insidious merupakan salah satu film horror yang tidak memiliki core ghost yang bisa kita jadikan pegangan ketika saling mengobrolkannya bersama teman-teman. Kita sulit untuk mengatakan siapa hantu yang bisa dijadikan inti yang benar-benar iconic. Saya mencontohkan dalam Insidious 1, minimal gangguan mahluk astral yang muncul berasal dari 2 hantu: demon dan roh dari Parker Crane. Sedangkan, Insidious 2, ada Ibunya Parker Crane dan Parker Crane itu sendiri, ditambah beberapa roh-roh lainnya yang undefined. Di Insidious 3, cukup difokuskan kepada “laki-laki yang kesulitan bernapas”.

What a messes scene!!

Saya menerka bias penggambaran seperti ini diakibatkan oleh dua faktor: narasi cerita yang disampaikan oleh Elise tentang ritual pemanggilan roh sejak di Insidious 1-3. Kedua, faktor kultural, di mana ada kecenderungan cara pandang orang Barat yang terkesan rasional dalam menginterpretasikan hantu menjadi dua bentuk penjelasan umum: “demon” (iblis) dan roh atau arwah. Terbukti dari jarangnya kita menemukan hantu urban lokal yang bisa dimunculkan di film horror Barat. Seperti contoh, di Indonesia kita masih bisa menemukan film berjudul “kuntilanak”, “pocong, “jelangkung”, jadi core ghost nya jelas.

Satu hal yang menarik dari penjelasan di atas adalah justru menjadikan insidious menjadikan film yang akan selalu memberikan banyak ruang untuk mengeskplorasi beragam cerita hantu tanpa terikat pada satu plot yang benar-benar khusus (tidak mungkin kan, film tentang kuntilanak tapi filmnya justru menampilkan tentang tuyul?!). Akan tetapi, sebagai catatan, insidious terlihat sekali main “Aman”, maksudnya, filmnya bagus tetapi siapa yang akan tahan menonton film dengan judul yang sama dan dibuat dengan plot cerita yang “itu lagi, itu lagi”?

Minimal, kekuatan terbesar dari film ini adalah pengemasan cerita yang berlatar belakang keluarga dan I LOVED IT SO MUCH!! Saya harus akui baik Leigh Whanell dan James Wan mampu meramu bumbu cerita drama keluarga dengan sangat sangat sangat baik. Ingin membuktikan omongan saya? Tonton lah SAW I (2004), DEATH SENTENCE (2007), INSIDIOUS (2009-2015), THE CONJURING (2013). Mereka berdua sebetulnya juga unik, mereka yang saling menyutradarai film mereka sekaligus mereka juga hampir selalu ‘ambil’ bagian untuk berperan di dalam filmnya sendiri.. he he he 

Leigh Whannell as Specs and Director too :)

James Wan di Insidious 3 berperan sebagai salah seorang juri audisi sekolah teater yang ingin dimasuki Quinn. Di Insidious 2, James Wan dijadikan salah satu wallpaper atau foto di laptop milik Specs dan. Leigh Whanell juga yang berperan sebagai Specs di ketiga film ini dan menjadi di film SAW.

Kalau pembaca sudah menonton Insidious 1-2 dengan cukup fasih, saya benar-benar menyarankan untuk lebih memperhatikan saja plot cerita dari Elise ketimbang menikmati shocking twist. Ini penting karena akan membantu kita menjembatani cerita Insidious 3 dengan Insidious 1. Setidaknya, Leigh Whanell cukup membuat cerita yang cukup jelas penempatan posisi cerita Insidious 3. Oh ya, sekali lagi, selain kepada sutradara dan produser, apalah artinya film horror tanpa scoring music yang yahud? So, sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi saya standing applause kepada Joseph Bishara yang selalu membuat Insidious menjadi terdengar dan bisa dinikmati dengan lebih mengerikan, as always.


Face Lipstick Demon
Saya kira sampai sini lah cerita saya tentang film Insidious 3. Terima kasih sudah membaca dan untuk lebih lengkapnya silahkan tonton di bioskop kesayangan Anda. Bahkan, kalau bisa, menonton yang memiliki sound system Dolby yang memang mumpuni agar kesan mengerikannya lebih terasa.



Setelah Insidious 3, kita masih akan disuguhkan dan akan dibuat dag-dig-dug menunggu The Conjuring 2: The Poltergeist Enfield di bulan September mendatang.. 

Selamat menunggu.. Ciauuww


Komentar

  1. Agak pesimis sih cz sutradaranya diganti., okelah, saya tonton dulu deh.

    BalasHapus
  2. Halo, Tika..

    Sebetulnya ini ga totally berubah kok. Toh, sejak awal Insidious bukan cuma tangan James Wan aja kok, tapi juga tangan Leigh Whannell. Mereka berdua emang udah biasa kerja sama dari 2004 (dari mulai film SAW), jadi, it's like a switch hand aja. Both of them still awesome lah. Sayang, Leigh Whannell emang ga terlalu sering keinget sama penontonnya, hehe

    BalasHapus
  3. hay.. nama saya try... salam kenal.,
    artikelnya sangat bermanfaat.. oh ia kalau ada waktu jangan lupa mampir di Tugas dan Materi Kulaih dan baca juga Makalah Bahasa Indonesia 'Diksi atau Pemilihan Kata

    BalasHapus
  4. hi, ka. jadi leigh ini yg berperan sebagai specs yg suka nulis2 itu kan? wah jago juga ya, bisa akting sekaligus menyutradarai.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer