A COPY OF MY MIND

A COPY OF MY MIND


SPOILER ALERT!
Jakarta
Jakarta memang tempat beradu nasib. Ya, mengadu nasib level tinggi. Napas ‘kehidupan’ akan keseharian seakan menuntut hanya bisa dirasa selepas kerja seharian. Dari kerja ‘bener’ hingga ‘ga bener’. Kota ajaib yang juga menuntut para manusia penghuninya untuk memiliki stok emosi segudang: sabar, sabar, sabar, dan sabar. Hingga, orang yang sudah apatis pun juga tetap harus bersabar. Film ini mengekspose kehidupan itu.
Joko Anwar menawarkan suatu angle “kenyamanan” dalam sebuah siklus realita hidup ketidaknyamanan di kota Jakarta yang istilahnya, “Yah, mau gimana lagi”. Kos-kosan yang kelewat sempit, panas tanpa kipas angin, penerangan seadanya, MCK (Mandi Cuci Kakus) yang perbandingannya hanya 1:10, makan mie lagi mie lagi. Tak pelak membuat penghuninya akan bicara baik secara eksplisit maupun implisit, “Yah, mau gimana lagi”.
Jakarta juga tempat segudang cinta, semacam Paris KW 1.000 sepertinya. Sari dan Alek dua sejolinya. Sekaligus dua tokoh sentral dalam film ini. Sari, seorang pekerja salon dan spa kelas menengah di bagian facial. Alek, seorang translator subtitle dvd bajakan. Nasib mempertemukan mereka di sebuah toko grosir dvd bajakan.
Jakarta, nantinya menjadi latar kisah cinta mereka.
Dua Sejoli
Realitas keseharian, cara bertahan hidup di Jakarta dengan segala mara bahayanya, kisah cinta, hingga intrik dramaturgi politik mewarnai film A Copy of My Mind. Film dimulai dengan membagi beberapa babak. Pertama, menceritakan kehidupan Sari (Tara Basro) yang harus bekerja di sebuah salon dan facial spa. Substansi karakter yang pada akhirnya dibuat unik oleh Joko Anwar dengan diisi oleh beberapa hal tidak biasa dalam diri Sari: gemar nonton film dan ingin sekali memiliki Home Theater yang ujung-ujungnya untuk menonton film kesukaannya juga. Hal yang mungkin biasa bagi sebagian orang, tapi, bagi saya secara pribadi sungguh sangat tidak biasa.
Karena biasanya, keinginan personal ‘mbak-mbak’ di masyarakat kelas bawah seperti itu sangatlah pragmatis, bukan idealis. Keinginannya mudah ditebak. Seperti misalnya ketimbang memiliki home theater, lebih baik punya handphone terkini dan nonton di bioskop, serta mengimitasi budaya populer kelas atas. Sedangkan, apa yang menjadi keinginan Sari cukuplah idealis, intinya untuk memuaskan kegemarannya menonton Film.
Alek (Chico Jericho) seorang pemuda yang pekerjaannya adalah translator subtitle untuk dvd bajakan. Hidupnya mengalir begitu saja dan agak survival alias kerja seadanya yang penting bisa hidup. Penggambaran karakter ini sangat mengingatkan saya kepada Hesher yang diperankan oleh Joseph Gordon Levitt. Slenge’an, tapi baik. Baik, tapi slenge’an. Kira-kira begitulah. Tapi setidaknya, tokoh Alek lebih sedikit tertata hidupnya.
Sari dan Alek
Singkat cerita mereka berdua bertemu dan seperti yang bisa ditebak bahwa akhirnya mereka terlibat dalam satu jalinan asmara. Asmara itu pula yang nantinya akan menuntun kita ke potongan-potongan absurditas cerita selanjutnya.
ABSURDITAS
Oh iya, selama film berlangsung (fyi, Saya menonton film ini di acara screening film bersama para juri FFI yang diselenggarakan di XXI Plaza Indonesia hari Senin, 16 November 2015) saya sedikit terganggu dengan sensor yang cukup nanggung dan terbilang kasar untuk menutupi beberapa adegan seks antara Sari dan Alek. Menurut saya, sensor yang setengah-setengah adegan seks itu malah merusak substansi film itu sendiri. Masalahnya, romantika yang coba disajikan antara Sari dan Alek diterjemahkan dengan kegiatan seksual itu. Itu mengapa saya mengatakan merusak substansi ceritanya. Meskipun, saya juga berpikiran secara pribadi bahwa sex after first meet up dalam skala waktu pertemuan yang sangat sangat sangat singkat antara Sari dan Alek terasa janggal. Entah apakah itu merupakan suatu refleksi kultural masyarakat kelas underground Jakarta yang benar-benar terjadi dan aktual atau memang sekedar penggambaran wujud esensi paripurna cinta seperti di film Radit dan Jani. Setidaknya, bila ini film Hollywood, saya akan langsung paham logika kulturnya. Itu hanya pendapat pribadi.
Meski demikian,saya akan berterima kasih atas tiga hal kepada Joko Anwar, Tara Basro, Chico Jericho dan film A Copy of My Mind itu sendiri.
Tiga Hal
Pertama, refleksi sosiologis. Sebetulnya saya sudah menggambarkan di dua paragraf awal tulisan tentang kehidupan kota Jakarta yang keras dan kompleks. Untuk hal ini, terima kasih kepada Joko Anwar yang telah mengangkat sisi lain yang unik dan lebih mendalam tentang Jakarta. Setidaknya atas penggambaran mbak-mbak spa selepas kerja dan kehidupan di kos-kosan yang semrawut itu. Dan, tak kalah pentingnya, mengangkat profesi yang ‘tidak biasa’, translator subtitle dvd bajakan beserta segala keterkaitannya dengan dunia hitam produksi massal pembajakan film. Benar-benar angle yang menarik. Top!
Kedua, Penggambaran karakter. Jujur, saya tidak tertarik dengan kisah cinta Sari dan Alek. Tetapi, saya sangat tertarik betul dengan penggambaran kehidupan personal keduanya.
Sang Sutradara (kedua dari kanan) dan para pemain
Sari, yang harus tetap mencari uang di tempat kerja yang merefleksikan bahwa satu tempat kerja dengan bidang yang sama, sebetulnya memiliki kerjaan yang sama. Spa contohnya, apapun treatmentnya, intinya tetap berurusan dengan wajah wanita supaya halus. Begitu saja kan. Yang membedakan hanya alat-alat, dan modal lainnya.
Mbak-mbak yang lugu, penampilan seadanya... Tara... Salut deh!
Alek pun juga sama, saya sangat menikmati kesehariannya yang pas sekali menggambarkan rutinitas seorang translator DVD bajakan. Rutinitas seadanya ini memang benar-benar dieksekusi dengan baik oleh Chico Jericho. Dapet banget slenge’an nya plus gentle man nya.
Ketiga, cinta itu radikal. Ini yang saya suka dalam film drama yang menggunakan setting sosial masyarakat yang teralienasi oleh kehidupan Jakarta. Bukan cinta yang menguras emosi, tapi cinta yang let it flow dan menembus segala batas kesakitan, secara fisik ataupun hidup. Banyak orang yang berkecimpungan dengan kompleksitas cinta yang berlarut tetapi kalah sama realitas.
Contoh, pacaran, katanya cinta, tetapi kemudian selingkuh, kemudian tidak tahu harus berbuat apa. Katanya cinta, tetapi tidak bisa menikah karena alasan ini dan itu, kemudian bingung bertanya-tanya “Kapan nikahnya?”, ujung-ujungnya menjadi cinta yang berlanjut. Kalah juga dengan realitas. Sedangkan, cinta yang ditampilkan oleh Sari dan Alek, menembus segala sakit, segala realitas.
Ngomong-ngomong, bagaimana sekelumit akhir kisah antara Sari dan Alek? Ada baiknya kamu bersabar nonton di bulan Februari 2016 ya. Mari kita tunggu sama-sama filmnya di bioskop terdekat. Sabar, beberapa bulan lagi kok.
Yang pasti, dalam keseharian Sari dan Alek, Keduanya punya cerita, keduanya punya rasa, keduanya mencinta. Apapun kondisinya.


Terima Kasih telah membaca

Salam
Luthfi (@ersabossa)
Depok, di malam selepas hujan


Komentar

  1. pengen cpt2 bisa nonton film ini....film yg juga baru pulang dari festival2 film di luar negri..

    cerita yang disajikan oleh mas joko anwar dari dulu memang bed dengan sutradara2 laen..beliau sering menyajikan cerita yang sedikit nekat atau berbeda di setiap film nya

    BalasHapus
  2. Saya baru saja nonton film ini, dan baru mengerti esensinya..
    Sebelum baca tulisan ini kesan saya terhadap film ini adalah: ngambang.
    Dan 'ga Rame' sempet 3 atau 4 pasang keluar dari bioskop pas film baru setengah main, tepatnya setelah adegan seks selesai.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer