[REVIEW BUKU] DILARANG GONDRONG!


REVIEW BUKU
“DILARANG GONDRONG”
Cover Buku
Instagram @ersabossa

Pada Mulanya Ospek
Ada amarah yang masih terasa setiap kali saya mengingat salah satu entah itu suruhan, entah peraturan, entah kebijakan, entah iseng-iseng, entah apapun namanya yang diberlakukan kakak angkatan fakultas selagi saya menjalani masa ospek bagi mahasiswa baru tahun 2010 lalu di kampus. Peraturan itu adalah pemberlakukan cukur rambut sependek mungkin, lupa saya berapa cm, tapi mungkin lebih tepat potongan bergaya botak untuk seluruh anak laki-laki fakultas. Ada yang memberlakukannya di beberapa fakultas lain, ada juga yang tidak. Untuk mahasiswa baru yang kapasitas intelektualnya pada masa itu belum sampai berkenalan dengan konstruksi realitas sosialnya Berger, telaah imajinasi sosialnya Mills, atau kapital simboliknya Boerdieu ataulah yang paling sederhana saja, fakta sosialnya Durkheim, kita tahunya cuma manut-manut saja sama kakak yang katanya senior itu. Tidak banyak tanya ini itu, tahunya kita ya ikutin aja daripada terkena sanksi (entah sanksi tidak jelas juga agaknya).
Satu hal yang pasti: saya tidak suka botak/gundul. Lebih tepatnya, saya tidak suka disuruh untuk botak/gundul. Pun saya mau dibotak, itu harus datang dari diri saya sendiri dan bukan karena suruhan, dan tentu saya tidak pernah punya masalah dengan individu lain yang memiliki kepala botak. Jelas setiap orang harus memiliki kerapihan dan kedisiplinan diri, Tapi, apa hal yang lebih buruk dari memaksakan adik kelas memotong rambut atas alasan kedisiplinan, keselarasan, solidaritas absurd lewat kebijakan, aturan, kenikmatan dari keisengan atau kenikmatan menikmati kuasa sesaat terhadap adik kelas lewat OSPEK?
Selepas saya lulus di jurusan Sosiologi, saya baru sadar ternyata, saya bukan hanya tidak bisa kabur dari matematika, tapi saya juga tidak bisa kabur dari warisan feodal dalam dunia pendidikan tentang tetek bengek peraturan absurd yang berkaitan dengan objektivasi tubuh yang sebetulnya tidak penting banget. Saya tersadarkan oleh buku terbitan Marjin Kiri hasil penelitian sejarah setebal 175 halaman yang ditulis oleh Aria Wiratma Yudhistira ini.
Kuasa yang Menggelikan
“Menggelikan!” merupakan kata yang tidak hanya khas namun tepat untuk menggambarkan bagaimana Orde Baru dengan kesegala-macem-macem-annya menjalankan praktik kuasa untuk hal yang tak penting untuk diurusi. Kali ini rambut gondrong. Ya, pemerintah ngurusin rambut gondrong anak muda. Menggelikan bukan? Selain ilusi soal kebangkitan komunisme yang dalam narasi politik Orde Baru (hingga sekarang?!) dianggap mengancam stabilitas nasional, rambut gondrong juga pernah menjadi salah satu hal yang dianggap mengancam masa depan anak muda (hingga sekarang juga?!). Interpretasi tentang rambut gondrong seringkali diidentikan dengan nuansa karakter negatif, sebut saja orang yang gondrong identik dengan pelaku kriminal, model rambut gondrong cenderung urakan dan menyeleweng dari “nilai-nilai kepribadian nasional”.
Dalam buku ini, Aria membawa kita untuk menelusuri awal mula mengapa rambut menjadi salah satu persoalan bukan hanya karena informasi bahwa Jenderal Soemitro yang berbicara di TVRI bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig (acuh tak acuh) tetapi semua berawal dari perseteruan antara taruna AKABRI Kepolisian dan pihak mahasiswa ITB yang berakhir pada tragedi kematian mahasiswa ITB bernama Rene Louis Conraad. Mahasiswa ITB kemudian melakukan tuntutan terkait peninjauan kembali hubungan sipil dan militer, selain itu juga menuntut agar hak-hak sipil terlindungi (seperti gerakan civil rights tahun 60an di Amerika) dari kesewenang-wenangan ABRI. Dari poin inilah anggapan penilaian subjektif bahwa anak muda saat itu sudah mulai terpengaruh nilai “kebarat-baratan”.
Lagi-lagi menggelikan bukan? Belajar dari pengalaman civil rights dari Amerika dianggap kebarat-baratan. Dengan logika berpikir penguasa seperti itu, nanti kita jangan kaget bila para “orang-orang tua” menganggap kita kekiri-kiran kalo kita belajar isi bab per bab Das Kapital-nya Marx yang panjangnya bikin ngelus dada atau kefasis-fasisan kalo kita baca Mein Kampf nya si Hitler.
Hukum yang Mubazir
Selain memberikan gambaran tentang praktik kuasa yang menggelikan, poin penting yang saya refleksikan lebih dalam adalah bagaimana secara sosiologis praktik kuasa di ruang publik itu muncul dari permainan bahasa. Terjadi stratifikasi kata “Orang tua” atau kita bisa menganggapnya sebagai orang yang seringkali menganggap dirinya sendiri lebih tua secara umur, pengalaman hidup sekaligus kekuatan politik yang melekat dalam dirinya versus “Anak Muda” yang dalam konstruksi pemaknaan oleh si orang-orang tua itu dianggap sebagai entitas yang membutuhkan tuntunan agar tak menyimpang dan memiliki masa depan yang cerah. Pembahasan lengkap tentang relasi absurd ini secara gamblang banyak dibahas dalam bab 4.
Ambisi atas abstraksi Orde Baru tentang konsep ideal anak muda justru membuat jajaran pemerintah kala itu seringkali mengurusi hal-hal yang semestinya tak perlu atau minimal tak sebegitu “membahayakannya”. Situasi demikian malah membuat kondisi dimana terlampau banyak hukum untuk hal-hal yang sebetulnya tidak memerlukan hukum. Silakan lihat sendiri nama-nama instansi tersebut dalam bagian daftar singkatan hal xx-xxi.
Ya, Bakorperagon alias Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong merupakan salah satu badan khusus yang dibuat oleh pemerintah untuk mengurusi rambut gondrong. Tujuannya mulia sekali: membasmi tata cara pemeliharaan rambut yang tak sesuai dengan kepribadian dan kebudayaan Indonesia (h. 119). Keseriusan pemerintah untuk mengurusi rambut gondrong ini terealisasi dalam ragam bentuk yang dijelaskan secara lengkap hingga bentuk-bentuk perlawanannya oleh Aria pada bab 5. Bab ini cukup memberi pencerahan bagi saya yang seorang guru di sekolah untuk mengetahui akar sejarah kebijakan “rambut siswa harus pendek (atau rapi)”.
Memang benar, rambut adalah soal selera. Agak kurang sedap melihat murid berambut awut-awutan di kelas ketika saya mengajar. Tapi, selera itu tetap tidak akan memengaruhi penilaian objektif saya tentang murid berambut “kurang rapi” itu. Sebagai seorang guru, saya lebih malu punya murid dengan rambut yang “rapi” namun tidak bisa bernalar dengan “rapi”.
Sebagai penutup, jelaslah sudah bahwa buku ini bukan sekedar menyajikan deskripsi sejarah semata tetapi secara sosiologis membantu kita merefleksikan bahwa Indonesia pernah melalui sebuah rezim (yang kalau dipikir-pikir mengerikan juga ya?) yang doyan sekali melakukan kontrol sosial koersif  yang ampun-ampunan..... Ga pentingnya.

Komentar

  1. Setuju mas. Angkat topi buat anda, sudah lama saya tunggu tulisan ttg peraturan sekolah seperti ini.
    Saya adalah salah satu korban dari peraturan dilarang gondrong di lingkungan sekolah. Setiap hari senin pun sampai tak pernah mau mengikuti upacara dan bisa dibilang bentuk perlawanan sy terhadap peraturan yg sering sy sebut konyol tersebut. Sejak awal kelas 2 SMA mulai ada kebiasaan baru di lingkungan sekolah sy, yaitu razia rambut panjang yang nantinya akan diberi sangsi gunting di tempat. Sangat miris, justru yang melakukan gunting rambut tsb adalah guru2 magang yang terbilang masih muda dan baru serta digerakkan oleh sedikit guru tua pengajar mapel Jawa, sejarah, dan PKn yang menurut saya harusnya lebih paham ttg peraturan dan sejarah di Indonesia malah ikut menegakkan peraturan tersebut.

    Salam hormat dr saya, ditunggu tulisan2 selanjutnya tentang peraturan sekolah mas!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer