Mengapa Membaca Itu Penting?
Mengapa
Membaca Itu Penting?
Oleh
M. Luthfi Ersa. F
Kita dapat menjawabnya langsung tanpa perlu basa-basi
yakni kesadaran bahwa masih banyak sekali hal-hal yang tidak kita ketahui,
masih banyak pula hal-hal di dunia ini yang belum kita pahami. Terlalu sombong
bila kita mengatakan bahwa kita tahu segalanya. Justru, seperti yang Socrates
katakan, “Satu hal yang ku tahu adalah aku tak mengetahui apapun”. Jelas itu
merupakan kalimat sarkas yang menunjukkan semacam otokritik yang nantinya
memelesetkan kita dalam dua bentuk tipe pembaca yang menyebalkan.
Dua tipe pembaca itu adalah pertama,
pembaca yang merasa telah membaca banyak buku dan kemudian merasa pongah tahu
segalanya. Kedua, pembaca yang hanya membaca satu buku namun merasa
telah membaca banyak sekali buku. Keduanya memiliki implikasi buruk tersendiri.
Padahal, bukan ini yang kita perlukan. Sebagai pembaca buku, kita tak perlu
menjadi orang yang pongah dan juga kita tidak perlu merasa yang paling bodoh
sebagai alasan kita membaca buku. Cukup dengan keyakinan bahwa, sekali lagi,
masih saja ada hal-hal yang belum kita pahami sepenuhnya.
Pengalaman
Berwarna
Membaca buku itu suatu perjalanan yang
sebetulnya menyenangkan dan penuh warna. Coba Anda bayangkan bagaimana
pengalaman Anda membaca buku-buku, minimal yang Anda sukai selama ini? Entah
itu novel sastra klasik, sastra modern-pasca modern, novel teenlit, buku
ensiklopedi, buku hasil penelitian, buku ilmiah populer bahkan mungkin
majalah-majalah berisi menu memasak? Kesemuanya saya yakin memberikan kesan
tersendiri bagi Anda.
Mengapa saya bilang berwarna? Karena membaca
buku membuat kita seperti dalam situasi yang beragam. Kita bisa berada seperti
orang yang diajari secara privat oleh penulis. Kita juga bisa berada dalam
situasi bercakap-cakap secara imajiner dengan penulis. Kita bisa merasa riang
gembira ataupun sedih sendu terbawa oleh arus cerita yang dibawakan penulis.
Pernahkah Anda mengalami sebegitu tergugahnya oleh hasil pengalaman dari
membaca buku? Saya pernah.
Buku terbukti pernah menjadi senjata paling
tajam dan salah satu yang terpenting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia?
Selama ini kita melakukan simbolisasi terhadap bambu runcing sebagai alat untuk
melawan penjajah. Memang benar, namun kita juga tidak boleh lupa bahwa buku
pernah menjadi alat penajam pikiran para pendiri bangsa. Kita bisa berkaca pada
Hatta, Tan Malaka, Soekarno hingga Sjahrir. Bahkan, betapa romantisnya ketika
Hatta menjadikan bukunya yang berjudul Alam Pikiran Yunani sebagai tanda
cintanya kepada Istrinya, Rachmi Rahim.
Buku memang sangat potensial menjadi jendela
dunia. Hal tersebut dikarenakan buku bisa membantu kita mengaktifkan daya
imajinasi dan fantasi ke tempat yang bahkan tak terbayangkan sebelumnya.
Butuh
Keberanian
Seringkali saya melihat orang-orang yang ‘memilih’
buku. Bukan karena selera, bukan karena memang buku yang dimaksud dari segi
penyajian tak sedap dipandang namun karena prasangka. Kita bisa bayangkan,
betapa konyolnya kita memprasangkai bahwa buku akan mencuci otak dengan hal-hal
yang bersifat negatif dan tak sesuai dengan ideologi kelompoknya.
Bukankah buku-buku yang kita anggap berbahaya
(dengan versi standar nilai-moral-estetika-pengetahuan diri kita sendiri)
justru merupakan tantangan tersendiri untuk dibaca? Bila memang nantinya kita
menemukan segala bentuk ketidaksetujuan kita dengan konten yang disajikan oleh
penulis, itu berarti adalah tugas kita untuk memahami jalan pikiran penulis
lalu mengoreksinya dalam bentuk tulisan juga bukan?
Dari buku yang kita takuti untuk kita baca,
sebetulnya kita bisa belajar untuk memahami konteks dan alasan penulis ketika menuliskan
gagasannya yang kita anggap berbeda dengan gagasan yang ada dalam diri kita.
Kita juga bisa belajar banyak hal dari segala kekurangan yang kita rasakan dari
buku tersebut dan oleh karenanya akan membawa kita belajar untuk mencari
pengetahuan baru bagaimana cara untuk mengoreksinya dan menjadikan wacana yang
diangkat menjadi lebih baik untuk diperdebatkan.
Saya yakin, produktivitas semacam itu akan
membantu memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Tak ada buku yang terlahir sempurna. Seperti
halnya tak ada buku yang bisa menyediakan kebenaran absolut selain kitab suci
yang datang dari segala ketidakterhinggaan rasio manusia tetapi bukan berarti
kita boleh merasa tak perlu membaca buku.
Jangan terlalu takut untuk membaca buku.
Semakin takut kita membaca, semakin jauh kita dari pengetahuan, dan bila kita
semakin jauh dari pengetahuan maka akan semakin jauh pula kita dari segala
kebenaran yang sedang kita cari.
Ada satu fenomena baru, yaitu orang yang cuma baca broadcast whatsapp, terus ngerasa tau segalanya. Lucunya, broadcast whatsapp sumbernya banyak yang gak jelas. Menyedihkan. Semoga bangsa Indonesia segera terbebas dari penyakit 'alergi buku'.
BalasHapus