[MOVIE REVIEW] SEBELUM IBLIS MENJEMPUT (2018)


SEBELUM IBLIS MENJEMPUT
Follow my IG for more movie review @ersabossa :)

“Hutang Kaya Dibayar Nyawa”
-The Priestess-

Lesmana cemas. Krisis moneter membuat bisnisnya pailit. Ia harus bertemu lagi dengan “seorang perantara” di vilanya. Ia harus membuat perjanjian kembali yang akan memberinya kekayaan secepat mungkin. Meski jelas ia tahu sedari awal dengan akal sehatnya bahwa petaka menunggu bukan saja untuk dirinya namun keseluruhan anggota keluarganya. Sayang beribu sayang, ambisi dan ketamakannya membutakan segalanya dan mengundang petaka itu datang lebih cepat ke semua anggota keluarga yang sebenarnya ia sayangi itu.
Begitulah kira-kira pijakan yang akan membawa penonton ke arah teror demi teror yang disuguhkan oleh Timo Tjahjadi dalam film teranyarnya Sebelum Iblis Menjemput. Film horor berdurasi 110 menit yang tereksekusi dengan sangat baik sejak detik pertama film.
Bila Pengabdi Setan (2017) garapan Joko Anwar digadang-gadang sebagai atmospheric horror movies, maka tidak akan berlebihan bila saya menyebut Sebelum Iblis Menjemput sebagai artistic horror movie. Mengapa demikian? Karena pada akhirnya kita kembali menemukan bagaimana film horror dikembalikan pada trahnya: menakut-nakuti penonton setakut-takutnya.
Lesmana dan The Priestess. Credit: Google Images

Sebelum Iblis Menjemput
sebenarnya berangkat dari premis dan latar cerita yang barangkali sederhana dan sudah banyak dipakai dalam film horor lainnya, yakni pemujaan setan demi satu alasan tertentu. Akan tetapi, yang membuat film ini berbeda dan segar adalah bagaimana meramu premis tersebut menjadi jamuan visual yang apik. Pasalnya, untuk membuktikan hal tersebut, kita tidak akan lagi bertemu kemisteriusan yang hanya akan meninggalkan pertanyaan-pertanyaan di pikiran kita sendiri selepas menonton filmnya.
Harus diakui, kali ini, Timo selaku penulis naskah, membuat susunan adegan demi adegan dengan  sangat rapi. Terkhusus pada keterkaitan antara situasi yang sedang dialami oleh para tokoh dengan segala situasi yang melatarbelakangi mengapa semua petaka ini semua dapat terjadi. Misal, keterkaitan scene awal ketika Lesmana melakukan perjanjian dengan iblis dengan alasan kenapa sang Iblis yang dimaksud (juga) harus memilih Alfie. Begitupun disambung menuju akhir film ketika Alfie sendiri mencari (dan kemudian mendapatkan gambaran flashback atas kesalahan yang ayahnya perbuat). Semua terjelaskan dengan baik.
Oleh karena jalinan ceritanya tersusun dengan baik membuat logika penonton juga terbantu untuk bisa secara fokus menikmati sajian kedua, yaitu elemen kengerian bertubi-tubi kala satu keluarga itu harus bertahan dengan situasi absurd di dalam vila tersebut. Hal ini jelas sudah terlihat sejak awal teror di kamar rumah sakit tempat dimana Lesmana sedang dirawat. Penampakan-penampakan hantu yang tak malu-malu kucing untuk menampakkan dirinya dimanapun.
Pintu Ruang Bawah Tanah. Credit: Google Images

Jujur saja, menonton film ini seperti mengingatkan saya pada elemen-elemen horor yang ada dalam film Poltergeist (1982) tentang kubangan kuburan penuh lumpur dan Cabin In The Woods (2012) tentang villa mengerikan yang sangat bermasalah hingga pintu berwarna merah dalam seri Insidious (2010, 2012). Namun perbedaan mendasarnya adalah Timo berhasil menghindari kata kunci-kata kunci seperti pintu berwarna merah atau kubangan lumpur berisi tulang tengkorak sebagai signature things yang ikonik di benak penonton. Sekali lagi, ketimbang menjual hal seperti itu, film ini lebih menawarkan daya tarik kelogisan, kejelasan dari segi cerita dan kedalaman karakter para tokoh yang memerankan sehingga segala sesuatunya dari awal hingga akhir. Itulah yang membuat kita tanpa sadar tersugesti untuk gelisah di kursi bioskop, menikmati bagaimana para tokoh harus menuju akhirnya masing-masing. Sesekali tutup mata dengan tangan jelas manusiawi.
Film dengan genre apapun, dengan cerita apapun tentu tidak akan tereksekusi dengan baik bila tidak dimainkan oleh para aktor yang tidak mumpuni. Barangkali memilih Chelsea Islan dan Pevita Pearce adalah keputusan yang tricky untuk film ini. Tapi, apapun alasan dibaliknya, satu hal yang pasti, jujur saja karakter Alfie yang dimainkan oleh Chelsea Islan benar-benar hidup. Ia tidak terlihat seperti artis yang baru saja main di film horror. Hanya saja, salah satu daya tarik yang menurut saya sangat menarik ketimbang Chelsea atau Pevita adalah pemilihan artis Karina Suwandhi. Saya cuma berpikir begini, “kok ya bisa-bisanya gitu ya ketemu artis yang ga kepikiran tapi bisa pas sama karakternya Laksmi?”. (Well, kita harus ingat betapa gokilnya Shareefa Danis ketika berperan sebagai sosok Dara di film Rumah Dara)
Karina Suwandhi as Laksmi. Credit: Google Images

Terlepas dari beberapa penempatan efek komputer yang agak menggangu seperti dalam dalam memunculkan efek transisi malam kelam dengan munculnya bulan purnama utuh atau adegan dramatis yang menimpa, ibu dari Alfie yang beberapa kali menyilaukan mata karena perpindahan dari scene yang sangat dark, film ini menyuguhkan suatu gambaran hiperrealitas tentang keluarga era pasca krismon di Indonesia yang bila dipikir dengan lucu, mungkin saja bisa terjadi. Toh, berapa banyak keluarga kelas atas di Indonesia yang nyatanya seringkali dekat sekali dengan hal-hal klenik untuk menyelesaikan masalah rasional.
Apapun refleksinya, saya menangkap bahwa film ini seakan menegaskan bahwa keuangan masih menjadi representasi jebakan ketamakan manusia dan sialnya, mau tidak mau kita harus mengakui seringkali berkaitan dengan konstruksi filosofis tentang kebahagiaan dalam benak laki-laki sebagai kepala keluarga. Ya, betapa mengerikannya bila ada, bahkan banyak model Bapak semacam Lesmana ini...
Saya tidak merasa heran bila film ini akan menjadi film favorit utama saya, melebihi karya Mo Brothers yang lain dari Rumah Dara (2016), Killers (2014), Headshot (2016).  Film ini selugas judulnya, Sebelum Iblis Menjemput.

Sutradara: Timo Tjahjanto | Produser: Sukdev Singh, Zainir Aminullah, Abimana Aryasatya | Music: Fajar Yuskemal, Hiroyuki Ishizaka, Arief Budi Santoso | Produksi: Sky Media, Legacy Pictures | Artis: Chelsea Islan, Pevita Pearce, Ray Sahetapy, Karina Suwandhi, Samo Rafael, Ruth Marini, Kinaryosih, Clara Bernadeth Durasi: 110 Menit


Komentar

Postingan Populer