Masa Orientasi Sekolah: Awal Mula Budaya Bisu dan Penindasan
Masa Orientasi
Sekolah: Awal Mula Budaya Bisu dan Penindasan
Pengantar
Setiap
awal-awal tahun ajaran baru seperti sekarang ini, saya selalu melihat (entah
sampai kapan akan melihat pemandangan seperti ini) suatu pemandangan yang saya
sebut dengan badut-badut konyol yang bertebaran baik di kendaraan umum maupun
kendaraan pribadi sekalipun. Dari mulai depan rumah hingga jalanan umum. Ya,
mereka adalah siswa-siswi yang sedang mengalami transisi dari baju putih-merah
ke putih-biru (menuju SMP) maupun seragam putih-biru ke putih-abu-abu (menuju
SMA) dan (bodohnya) di kampus. Kenapa saya menyebut badut-badut konyol? Sebutan
satir bagi mereka sang calon pencari ilmu pengetahuan di sebuah lembaga
pendidikan yang disebut sekolah harus rela dan seakan-akan memasrahkan diri ke
dalam serangkaian acara dan aturan dalam Masa Orientasi Sekolah (MOS).
Berdandan
memakai berbagai aksesoris aneh, membawa pernak-pernik aneh sepanjang hari dan
di muka umum, sekali lagi, dibawa oleh para calon pencari ilmu pengetahuan!
Bagi saya itu suatu ejekan luar biasa terhadap tidak hanya bagi ilmu
pengetahuan tetapi juga manusia. Mungkin bagi sebagian orang hal ini sepele,
tapi bila kita pikirkan ulang bersama-sama, biasanya dari hal-hal sepele lah
muncul suatu hal yang tidak akan kita duga, dalam hal ini (MOS) akan melahirkan kaum-kaum penindas belia.
Masa
Orientasi Siswa sebetulnya merupakan program yang sangat kontradiktif,
tujuannya sangat mulia dan baik namun sangat kontras dengan pelaksanaan di
lapangannya. Tujuan dan visi misi baik itu seakan hanya menjadi abstraksi di
atas kertas dan sukses didistorsikan maknanya oleh sang pelaksana. Sepanjang
tulisan ini ditulis, saya akan banyak menyisipkan pertanyaan-pertanyaan
sederhana mengenai seluruh kaitan program MOS ini. Belum terselesaikan paragraf
ini, saya sudah ingin mengajukan pertanyaan, “Apakah anak-anak kita, adik-adik
kita, saudara-saudara kita membutuhkan MOS ini?”
Peraturan Irasional MOS
Seperti
yang sudah saya jelaskan di awal tadi bahwa ada segelintir aturan yang saya
pikir sangat aneh, menggelikan, menyedihkan sekaligus mengerikan. Saya tidak
pernah membayangkan para siswa yang akan mempelajari matematika, bahasa
Indonesia, IPA dan IPS dan mahasisawa yang akan mempelajari banyak teori di kampus
akan melewati masa-masa seperti ini di sekolahnya. Ada yang aneh dalam
manajemen pendidikan di sekolah yang hingga saat ini masih ‘setia’
menyelenggarakan MOS, melibatkan hampir seluruh aktivitas MOS kepada murid,
melalui institusi OSIS dalam sekolah atas nama kepandaian berorganisasi. Saya
merasa mual ketika menuliskannya.
Sungguh saya tidak akan mengomentari
soal kerja sama tim OSIS ataupun BEM (bahkan menurut saya sangat solid sekali
untuk urusan –penindasan- yang seperti ini) namun lebih kepada apa yang mereka
rencanakan serta kerjakan di lapangan. Mungkin ada beberapa peraturan-perutaran
irasional, non-edukatif dan cenderung totaliter yang saya tangkap berdasarkan
hasil pengamatan lapangan. Sambil menulis, sambil pembaca melanjutkan
pembacaan, sambil saya akan terus mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan.
Aksesoris Aneh: Keseragaman,
Kepatuhan dan Hukuman
Ini
yang paling standar yang harus dilakukan penyelenggara MOS. Biasanya sang
“Kakak Kelas” akan menyuruh para peserta MOS untuk membuat name tag, buku, perlengkapan-perlengkapan lain dengan cara yang
aneh-aneh, terkadang merepotkan. Kalau ini soal kreativitas, saya jelas
menolak. Saya juga malas menuliskannya lebih lanjut, saya rasa para pembaca
memiliki versinya sendiri tentang keanehan-keanehan ini. Rambut dikepang dengan
pita warna-warni, memakai topi dari setengah bola plastik, Oh! Saya hanya ingin
mengajukan pertanyaan,”Apakah para peserta didik membutuhkan ini?”
Sumber: Google |
Ketika
saya menuliskan tentang hal ini selain memang melihat dengan mata kepala
sendiri, memori saya ketika masuk kuliah di tahun 2010 pun sama menyedihkannya.
Saya tidak habis pikir kenapa ada satu peraturan untuk menggundulkan kepala?
GUNDUL!! (Sungguh, ini pengalaman terburuk sepanjang kehidupan akademis saya)
Siapapun
yang tidak gundul pada saat itu akan dicukur habis atau dipotong dengan
potongan yang acak-acakan oleh para “Senior” atau “Kakak Kelas”. Lalu,
kebetulan pada itu bulan puasa juga untuk BERTERIAK Yel-Yel sepanjang hari.
Mendengar instruksi, lalu menjalankan instruksi, lalu berteriak Yel-Yel lagi,
lalu menyuarakan Hymne Mahasiswa. (Bahkan saya sampai sekarang sama sekali
tidak tahu lirik&nadanya seperti apa). Apa manfaatnya? Untuk apa saya
melakukan itu kala itu?
![]() |
Sumber: Google |
Tuntutan
akan keseragaman juga meresahkan. Saya akan bercerita fakta di lapangan di
sebuah SMP di Depok, bahwa ada tuntutan untuk memakai sepatu hitam TANPA ada
warna putih sedikitpun. Harus WAJIB menggunakan seluruh aksesoris yang disuruh
oleh kakak kelas. Kalau tidak dipatuhi maka akan diberikan hukuman. Hukumannya
beragam, dari mulai ejekan, “diincar”, disuruh scout jam, dimarahi, dipermalukan di teman-teman baru. Gila!
![]() |
Sumber: Google |
Kalaupun
ini merupakan “latihan mental”, lagi-lagi saya akan bertanya,”apakah mereka
berangkat ke sekolah untuk sekedar “latihan mental?”. Lagipula, yang memberikan
mental itu hanya anak ingusan mulai dari siswa (SMP-SMA-Mahasiswa BEM) dan
tidak memiliki otoritas apapun, sekecil apapun untuk menerapkan “latihan
mental?”. Kalaupun diberikan wewenang oleh Sekolah/Kampus? Wih Orde Baru betul
pola pikirnya. Kalaupun dianggap penting, saya ingin bertanya lagi, apakah
institusi pendidikan ini ingin menerapkan pedagogik militeristik?
Saya
punya cara yang lebih kejam (namun BERISI) kalaupun ada di posisi mereka,
ketika peserta MOS melakukan kesalahan, saya akan menyuruh mereka menuliskan di
papan tulis nama-nama sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Atau
menyebutkan karya-karya dari Sutan Takdir Alihsjabana dan Buya Hamka. Tapi,
ah.. Saya juga malas melakukan hal itu, itu kerjaan dan tugas wajib guru Bahasa
Indonesia (seharusnya).
Dengan sistem keseragaman dan
kepatuhan, atas nama “latihan mental” kok saya jadi ingat buku Teror Orde Baru yang ditulis Julie
Southwood dan Patrick Flannagan ya? Di buku itu juga atas nama “Keseragaman”,
“Kepatuhan” para elite Orde Baru menggunakan dan memberikan kekuasaan terhadap
KOPKAMTIB untuk menghentikan bahkan tidak segan-segan memberikan hukuman bagi
tindakan-tindakan subversif masyarakat. Kok persis sama seperti MOS ini ya?
Pihak Sekolah/Kampus memberikan mandat kepada siswa-mahasiswa lewat Organisasi
Kesiswaan/kemahasiswaan untuk menciptakan “Keseragaman” dan “Kepatuhan” seperti
ini ya? Cuma bertanya.
Membuat Surat Cinta untuk “Kakak
Kelas”
Surat
cinta? Untuk apa? Untuk Siapa? Apakah akan dikoreksi S-P-O-K nya? Apakah akan
diperiksa pemilihan kata-katanya? Apakah akan diperiksa majas-majas yang
digunakan? Apakah akan ditelusur termasuk roman picisan kah dalam sastra
Indonesia? Apakah akan berguna bagi calon terdidik? Apakah akan ada gunanya
bagi pembelajaran di kelas selanjutnya? Kalaupun iya, seberapa besar dampaknya?
Apakah akan dikoreksi sumber inspirasi tulisannya? Apakah surat cinta tersebut
akan diserahkan, dilihat juga dikoreksi oleh guru Bahasa Indonesia? Dan,
pertanyaan utama dan paling inti adalah apakah siswa dapat menilai dan menulis
surat cinta dengan sungguh-sungguh kala objek yang akan ditulis dalam surat
cinta tersebut baru saja ia lihat satu dua hari? Bukankah hal tersebut hanya
akan menyebabkan siswa terjebak –bila tidak ingin disebut dijebak- dalam
kepuraan-puraan, kebasa-basian, kegombal-gombalan dalam mengungkapkan rasa
cinta? OOH, bukankah kita semua membenci sebuah kegombalan? OOH, pertanyaan ini
saya rasa akan sulit dijawab (dengan argumen rasional dan menggunakan logika).
![]() |
Sumber: Google |
Sekalipun
ada yang memberikan jawaban, “ini kan buat seru-seruan aja!”. Oh, ya? Seru dari
sisi mana? Dimensi pedagogis apa? Dimensi sastra kah? Jangan-jangan seru hanya
untuk kenikmatan segelintir para penindas belia ini saja. OOH, masih perlukah
membuat Surat Cinta untuk “Kakak Kelas”?
Basa-Basi Agamis
Ini
bahaya, ini krusial, ini yang paling gila! Seumur-umur saya tidak pernah sampai
(sampai akal, sampai budi, sampai hati) untuk mengukur hal yang sangat privat,
sangat fundamental, sangat esensial, sangat transendental dan sangat fungsional
untuk mengkorelasikan antara nilai (angka, ponten, score, dsb) dengan keaktifan
seorang individu mengikuti ritual keagamaan yang dianutnya. Metode penelitian
sehebat apapun tidak akan pernah sampai pada logika bahwa apabila siswa/i
mengikuti Shalat –Bagi yang Muslim- atau beribadat ke Gereja –bagi yang
beragama Kristen- dan peraturan agamis lainnya maka akan berdampak pada nilai
sekolah yang akan jeblok, mendapatkan nilai jelek, bahkan dibawah ancaman?
Ouuh..
Sedikit
cerita, sewaktu saya masuk SMA di awal 2007, MOS nya malam di bilangan Bogor
dan saya ingat betul guru agama saya “mengancam” kepada para peserta MOS begini
bunyinya,”Pokoknya, di sekolah ini nanti engga ada yang boleh pacaran. Siapapun
yang pacaran dan ketahuan pacaran, maka saya akan tidak akan segan-segan
memberikan nilai 4 (empat)”. Waktu itu “ancaman” itu cukup menakutkan karena
ketika itu saya (masih) berpikiran bahwa nilai itu penting. Gila!
Saya,
tidak mempermasalahkan benar-salahnya tentang pacaran, menyukai lawan
jenis/sejenisnya, bukan itu. Saya hanya mempermasalahkan kuasa absolut
mengatasnamakan agama yang dipenetrasi bahkan untuk siswa/I baru. Bahkan saya
juga tidak butuh guru agama saya untuk mengingatkan hal yang demikian karena
Orang tua saya bisa, sudah dan pernah memberitahukan hal yang sama.
Saya
ingin sekali mengajukan pertanyaan penelitian kepada guru yang sering
mengatasnamakan agama sebagai sebuah command
yang HARUS dipatuhi dengan ANCAMAN NILAI kepada (calon) murid-muridnya (sungguh
ini sangat totaliter). Sederhana, kira-kira begini,”Apa pengaruh keimanan siswa
melalui keaktifan kegiatan keagamaan terhadap hasil objektif nilai di raport?”.
Sebagai guru masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengevaluasi HASIL
KERJA siswa, bukan KEIMANAN siswa dengan cara yang lebih rasional dan tentu
sopan.
Tentu
akan lebih fair apabila calon siswa/I diuji tentang keluasan pengetahuannya
tentang sejarah keagamaan, kontribusi ilmuwan agama terhadap pengetahuan, dll. Setidaknya
itu lebih layak uji dan bermanfaat. Bukan untuk menguji, “Berapa kali kamu
Shalat?”,”Berapa kali kamu puasa di bulan ini?”,”Berapa kali kamu tarawih di
bulan Ramadhan ini?”, lantas hasilnya akan diukur menggunakan nilai. (Cuma di
Indonesia, Tindakan keberagamaan individu dikuantitatifkan begini).
Budaya Bisu
Paulo
Freire sering berkali-kali dalam karya-karyanya menyebutkan hal-hal yang tidak
ilmiah seperti “Cinta”, “Kasih sayang” namun sering ia gunakan untuk mengklaim
bahwa hal itulah yang sangat dibutuhkan sesungguhnya dalam dunia pedagogis
pendidikan. Sepele ya? Tapi saya rasa juga itu penting dan benar adanya. Freire
tidak hanya melihat dari pendidikan semata-mata sebagai suatu rangkaian
metodologis yang positivistik, yang memaksa seseorang tunduk pada sesuatu
dengan menghilangkan eksistensinya sebagai manusia. Dari pembacaan saya
mengenai Freire, ia sangat menghindari dikotomi kuasa aktor dalam pendidikan
seperti itu.
Dalam
bukunya yang terkenal Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), Freire mengungkapkan bahwa pendidikan
bisa mengarahkan pada satu siklus lingkaran setan, yakni memunculkan Kaum
Tertindas dan Kaum Penindas dan begitu seterusnya. Kaum tertindas bisa siapa
saja, bukan melulu kaum lapis bawah. Siapapun bisa menjadi seorang penindas dan
yang tetindas. Disini ketidakadilan sosial dimulai.
Mengapa
ada siklus seperti itu? Karena ada satu metode pedagogis yang terputus dan
sengaja tidak digunakan untuk membangkitkan daya kritis kaum tertindas yaitu
metode Dialogis. Seorang penindas tidak akan pernah membiarkan sang tertindas
untuk mengajukan suatu gugatan, berusaha mempertanyakan, apalagi berani melawan
secara kritis. Sebaliknya, si tertindas seperti pasrah terhadap kenyataan,
menerima kenyataan, merasa bahwa apabila melawan kehendak maka justru akan
merugikan diri mereka sendiri, sekalipun berkaitan dengan hak asasi mereka
sendiri. Inilah budaya bisu yang dimaksudkan Freire akan menciptakan siklus
lingkaran setan penindas-tertindas.
Yang
perlu digarisbawahi adalah bukan hanya dikotomi perannya saja, tetapi
transformasi yang tidak sehat dikarenakan perasaan kebencian, dendam,
kenikmatan untuk menyakiti orang lain (sadistik) merangsang seorang yang
tadinya tertindas menjadi seorang penindas. Contoh utamanya adalah, ketika
peserta MOS merasa tersakiti atau merasa tidak nyaman, tidak jarang setelahnya
mereka akan bicara sepeti ini,”pokoknya gue bakal masuk OSIS/BEM biar bisa
melakukan hal kaya gini, biar mereka (calon “adik-adik kelas” selanjutnya juga
akan ngerasain hal yang sama kaya gue”.
Begitulah
saya melihat ruang-ruang penyelewengan dalam pelaksanaan MOS baik di sekolah
atau universitas. Satu hal yang paling utama, jika saya bicara dari sudut
paling pragmatis terkait hal ini, Apa manfaat dari MOS dengan aktivitas belajar
siswa-mahasiswa di lembaga pendidikan? Berteman? Mengenal lebih dalam
guru/dosen? (Ah, yang ini paling sangat tidak mungkin karena kenyataannya saya
hanya mengenal guru-dosen hanya setelah di kelas).
Sekolah
juga dalam hal ini dapat menjadi penindas paling utama dengan mengutamakan
keseragaman yang secara utilitasnya sama sekali tidak berpengaruh terhadap pola
pikir siswa saat sekolah (dalam hal ini kampus lebih demokratis). Sampai umur
saya yang 22 tahun, saya selalu bertanya-tanya, apa hubungan rambut
panjang/pendek saat belajar di kelas? Apa logika hubungan antara pakai sepatu
hitam (dan HARUS HITAM) dengan aktivitas belajar siswa di kelas? Toh, pada
akhirnya kultur seperti itu “ditiadakan” ketika siswa turun ke kampus. Sama
sekali tidak ada hubungannya apa yang dikenakan di tubuh dengan kemampuan
intelektualitas berpikir peserta didik kecuali labeling-labeling moral. Sampai
saat ini saya belum pernah melihat ada “adik-adik kelas” yang berani
menyuarakan hak nya untuk berkata TIDAK pada “kakak-kakak kelas” nya untuk
disuruh ini-itu.
Perlukah MOS?
Ada
kalimat-kalimat penutup di akhir masa MOS, biasanya disampaikan oleh
“kakak-kakak kelas”, biasanya sih ketua-ketua nya akan bicara begini,”maaf ya
adek-adek semua kalo kakak-kakak kemarin waktu MOS sok-sok galak, judes, itu
cuma buat Shock Therapy aja kok. Tapi
sebenernya ga lain untuk kalian lebih mengenal lebih dekat sekolah ini aja kok.
Selamat datang di SEKOLAH/UNIVERSITAS”. Biasanya kata-kata itu diucapkan
setelah ada setting-an, pura-puranya
ada kakak-kakak kelas saling berkelahi dan rebut persis di depan
siswa/mahasiswa. Cukup menggelikan!
Mungkin
ada bagusnya kalau ada peneliti yang mau meneliti apakah MOS berpengaruh kepada
struktur pengetahuan siswa terhadap lingkungan sekolah?
Bagi
para pembaca yang merupakan siswa/mahasiswa yang merasa “panas” membaca tulisan
ini, saya sama sekali tidak akan membela “adik-adik kelas”, (apalagi) “kakak-kakak
kelas” yang merasa senior. Justru, saya ingin bertanya-tanya tentang apakah
dikotomi “Senior-Anak Baru”,”Kakak kelas-Adik kelas” yang kalian inginkan?
Apakah hal tersebut yang JUGA menjadi incaran “kepandaian berorganisasi”
(sekali lagi saya mual ketika menuliskan hal itu) sekalipun hal itu hanya
sebuah kepura-puraan agar lebih ingin dikenal oleh "adik kelas"?
Itu
untuk para pelaksana MOS, sekarang pertanyaan untuk pihak
Sekolah/Universitas,”Apakah shock therapy/latihan
mental itu merupakan landasan pedagogis militeristik yang anda inginkan dari
calon peserta didik anda?”, “seberapa besar anda sebagai pendidik (guru-dosen)
membantu orientasi peserta didik
kalian selain hanya sebagai “pengawas” dan “pemberi tanda tangan program”?,
“benarkah hal ini benar-benar dibutuhkan?”
Untuk
orang tua,”apakah anda yakin melepas masa transisi anak anda pergi ke sekolah,
pergi ke kampus diawali dengan dandanan yang aneh, lucu membawa perlengkapan
yang aneh tanpa diberikan wejangan-wejangan keberanian kepada mereka bahwa
mereka berhak untuk berkata TIDAK ketika ada hal-hal yang membuat mereka tidak
nyaman?”
Semoga
ada cara-cara yang lebih humanis lagi untuk memanusiakan calon peserta didik,
sebagai manusia. Ya, semata-mata untuk menjadi manusia.
Mmmm, mungkin karena bagi sebagian orang Indonesia itu kalau diberi kebebasan malah akhirnya kebablasan.
BalasHapusItu yang menyebabkan berbagai macam hal yang kamu keluhkan di atas.
Maka boleh kita berujar bahwa semua aktor yang terlibat dalam "kebablasan" penyelenggaraan ini perlu meniadakan kegiatan MOS ya.
BalasHapus