Resensi Film CHAPPIE (2015)
CHAPPIE
![]() |
Movie Poster Sumber: Google |
Buah
jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitu istilah yang sering kita gunakan ketika
menilai seorang anak. Baik fisik maupun sifatnya ketika kelak tumbuh dewasa.
Bahwa anak adalah representasi dari penanaman nilai-nilai keluarga. Tak lupa,
juga representasi dari bentukan lingkungan di sekelilingnya. Kita terbiasa
menerka, lingkungan rumahnya, teman sepermainannya. Begitu pula Chappie.
***
Apa
jadinya bila seorang yang boleh dikatakan jenius menciptakan satu hal yang tak
mungkin? Seperti misalnya menciptakan Robot yang hidup dengan perasaan, seperti
manusia? Toh dalam film ini, terjadi juga.
Pertanyaan
yang tak kalah menarik, apa jadinya bila robot yang layaknya “manusia” ini,
kemudian jatuh ke tangan yang salah? Hidup, tinggal dan dididik di lingkungan kawanan
gembong narkoba?
***
Film
dimulai dengan adegan heroistik sekumpulan unit robot polisi berkodekan atau
bernama “Scout” yang dipekerjakan oleh lembaga kepolisian sebagai pahlawan
kebenaran dengan segala kelebihan futuristiknya: jago menembak, berbadan titanium
yang tak mempan peluru, cekatan dan berada dalam front terdepan melawan
gembong-gembong penjahat. Kemudian, salah satu adegan, satu unit robot tertembak
roket yang menghancurkan seketika program di dalam wujudnya. Rusak, dan layak
buang, bernama Scout 22.
![]() |
Scout pasukan polisi, sebelum menjadi "Chappie" |
Pada
saat yang sama, Deon (Dev Patel), si karyawan jenius, melakukan eskperimental
teknologi artifisial dimana ia terobsesi menciptakan robot yang tidak hanya
jenius, tetapi juga “berperasaan” layaknya manusia. Mau melakukan sesuatu jika
“hati” nya ia ingin, tidak melakukannya bila memang tidak. Persis manusia. Apakah
berhasil? Ya!
Beberapa
adegan di awal ini, hampir mirip dengan Iron Man, laki-laki jenius,
robot-robot, sana-sini dikelilingi teknologi canggih. Sedikit menyebalkan
awalnya, sampai akhirnya muncul sisi uniknya film ini.
Ternyata,
seperti kebetulan, ke”jenius”an nya tidak diamini untuk dikembangkan oleh. Ia
mencari cara bagaimana mengaplikasikan temuannya, beruntung, Scout 22 tak jadi
dibuang. Mau tak mau, ia pun “mencuri” hasil karyanya sendiri.
Ups,
ada yang terlupa. Bila kita mendapat kesuksesan, tentulah ada yang iri. Peran
antagonis muncul disini, Vincent (Hugh Jackman) yang ternyata juga
mengembangkan teknologi robot namun dianggap tak efisien karena bentuknya yang
terlalu besar bernama Moose, tidak seperti Scout buatan Deon. Merasa tak
dihargai, diliputi iri kepada Deon, ia turut membawa warna cerita.
Kembali
ke Deon, tak hanya ditolak oleh Michelle Bradley (Sigourney Weaver), ia juga dihadang oleh sekumpulan gembong
narkoba (Ninja, Yolandi, Amerika) yang berniat memanfaatkan robot untuk
membantu mereka mendapatkan uang. Deon yang dikejar hasrat untuk cepat-cepat
melihat maha karya nya, mau tak mau harus merakit ulang Scout 22 di markas
mereka.
Yang
menarik dari teknologi artisifial kecerdasan manusia ini adalah suatu chip program yang akan bekerja seperti
otak manusia, dan berkembang seperti tingkat kecerdasan manusia, dari bayi
hingga dewasa dan dengan kesadaran penuh. Itu artinya, robot yang terinstall
program ini, akan menjadi layaknya bayi/anak-anak yang pemalu dan seiring
berjalannya waktu akan menjadi seperti manusia dewasa pada umumnya. Ya, sekali
lagi manusia.
Mau
tak mau, ini bukan lagi perkara memperlakukan robot seperti memainkan tombol
“on/off”, melainkan perkara bagaimana membesarkan robot layaknya seorang anak
manusia. Ini sisi terunik dari film ini. Chappie itu sendiri kemudian
“diadopsi” oleh gangster narkoba tersebut. Dari robot “Scout 22” menjadi
seorang anak bernama “Chappie” (Pengisi suara diisi oleh Sharlto Copley).
![]() |
Ninja "Daddy" mengajari Chappie |
![]() |
Yolandi "Mommy" mengajarkan Chappie melukis |
Adegan-adegan
selanjutnya akan membuat Anda terpingkal-pingkal melihat bagaimana proses
sosialisasi membesarkan Chappie yang dilakukan oleh Yolandi yang mulai
dipanggil “Mommy” dan Ninja yang mulai dipanggil “Daddy” dan tak lupa, Deon
yang dipanggil “Maker (pencipta)”.
Meski
pada akhirnya, ada renungan filosofis yang menambah substansial isi cerita
menjadi lebih berisi dengan satu pertanyaan,”mengapa engkau (pencipta)
repot-repot menciptakan tubuh bila suatu saat tubuh itu akan mati?”. Hal ini
dikatakan oleh Chappie kepada Deon karena
ia sadar bahwa tubuh robotnya disuplai oleh baterai yang hanya sanggup
tahan lima hari saja. Anda bisa bayangkan, film ini sampai pada satu titik yang
sulit kita temukan dalam film sejenis: Robot menggalaukan problem
eksistensialnya.
![]() |
Perbincangan Filosofis Chappie dan Deon |
Meski
sebetulnya, sebagai catatan kecil, pernah ada satu film pendek horror sci-fi berjudul
“ABE”, silahkan Anda search di Youtube yang juga memiliki problem eksistensial
dan psikologis yang sama dengan Chappie, bedanya, “ABE” menceritakan seorang
robot jatuh cinta kepada seorang wanita manusia. Film berdurasi pendek yang
akan membuat jantung Anda cukup resah.
Lantas,
kembali ke persoalan, ada banyak pertanyaan yang perlu dijawab. Apakah kelompok
kecil gangster itu bisa mendapat uang banyak dari “mendidik” Chappie? Bagaimana
sang “Maker” mengatasi kegalauan Chappie? Juga, bagaimana akhirnya kisah
iri-dengki Vincent dalam memenuhi ambisinya untuk menghancurkan Deon?
![]() |
Moose vs Chappie |
Scoring
music nya yang ciamik, tak melulu bising seperti dalam Transformer atau Iron
Man. Akting pemainnya yang total, pengisi suara Chappie (Sharlto Copley) sendiri melafalkan
kalimat-kalimat “gangster” muda sekaligus anak kecil juga sangat jelas. Oh ya,
saya cukup acung jempol kepada Hugh Jackman yang dapat berperan antagonis
dengan “niat” banget, selain dalam The
Prestige. Dan yang paling penting, ia tidak terlalu mendominasi peran,
justru sangat maksimal sebagai pemeran pembantu.
Kekurangan
yang muncul mungkin seperti pemilihan tempat di Johannesburg, Afrika Selatan
yang seakan-akan dilabelisasi sebagai daerah “kriminal”, tak beradab juga chaos. Entah mengapa harus berlatar
belakang negeri Afrika, sedikit bermuatan politis, terlebih dengan modus
perlunya penggunaan robot untuk membasmi kejahatan. Modus yang sangat penuh
tanda tanya dan agak berlebihan. Kedua, pada beberapa adegan menampilkan
kekerasan yang untuk ukuran anak kecil dan remaja, tergolong berdarah-darah dan
brutal, meski hanya sesekali.
Namun
yang pasti, film ini menjadi sangat layak ditonton baik sendiri maupun
beramai-ramai. Pilihan film yang cukup tepat untuk ditonton di weekend ini.
Setidaknya membuat kita akan bertanya ke dalam diri,”mampukah jiwa manusia
hidup absolut dan selamanya?”
Seru kan? :)
wah, bisa jadi refrensi film sih ini..
BalasHapusYups..
HapusVery recommended movie for weekend :)
Boleh jg nih
BalasHapusSudah jadi nonton?
HapusWah panjang sekali disuruh tulis semua lagi
BalasHapus