TUBUHMU ADALAH MILIKMU
TUBUHMU ADALAH MILIKMU
Oleh
M. Luthfi Ersa. F
![]() |
Sumber: Analisis Pribadi, 2015 |
ABSENNYA PENGETAHUAN TENTANG
TUBUH
Alat Kelamin
Dalam berkas laporan di kantor polisi, dalam
pemberitaan kriminal di beragam media massa apa yang kita temukan adalah segala
bentuk keterlambatan-keterlambatan. Bentuk kriminalitasnya mulai dari
level yang terkecil hingga yang paling
serius. Korbannya pun demikian, mulai dari orang yang sepuh hingga yang
anak-anak. Meskipun, pada dasarnya, kekerasan seksual dan gender bisa terjadi
kepada siapa saja. Dan, ini juga penting, dalam segala bentuk relasi apapun.
Dari memiliki hubungan erat hingga yang tidak memiliki keterkaitan relasi
apapun dengan diri Anda.
Tentu kita jarang bersentuhan dengan data
kuantitatif seberapa besar kekerasan seksual itu melanda. Tapi saya rasa, kita
tidak perlu harus menunggu hingga terkumpul satu data valid hanya sekedar untuk
meningkatkan rasa awareness kita terkait soal seksualitas. Hanya saja, perlu
kita bertanya-tanya, mengapa di Indonesia terjadi begitu banyak kasus
pemerkosaan, pelecehan seksual? Argumentasi saya, karena sejak awal ada sesuatu
hal yang luput dari alur pendidikan kita, yakni tentang pengenalan tubuh kita
sendiri.
12 tahun selama masa karier akademis awal, kita
dijejali rumus-rumus IPA, teori-teori IPS, doktrin pancasila, diupayakan
mengenal kebudayaan Indonesia tapi lupa untuk mengenal dan mempelajari tubuh
(baca: bagian-bagian tubuh) kita sendiri. Ketidakmampuan mengenal tubuh berarti
indikasi bahwa akan terjadi kegagapan ketika sesuatu terjadi kepada tubuh kita
sendiri.
Maka, urgensi utama apabila kita ingin
meningkatkan kesadaran sex dan gender adalah dengan mengenal tubuh kita
sendiri. Minimal, dapat mengucap secara fasih dan memberi nama yang tepat.
Contoh, di Indonesia, apapun yang berkaitan dengan alat kelamin kita, selalu diucapkan
dengan basa-basi moralis, seperti “Kemaluan” atau diucapkan dengan pemilihan
kata yang lain. Jadi, mengucap secara lantang “Penis” dan “Vagina” justru malah
akan dicap bejat, porno, amoral. Padahal, Penis dan Vagina adalah diksi
objektif ilmiah secara biologis dan fisiologis. Sehingga saya berpikir, bahwa
“penyebutan lain” terkait alat kelamin, hanya merupakan tindakan kultural
alternatif yang terpaksa dilakukan hanya untuk menghindari justifikasi stigma
negatif justru ketika kita menyebutnya dengan benar.
Seksualitas
Bila kita sudah mulai membenahi pikiran kita
dengan berani menyebut Penis sebagai Penis dan Vagina sebagai Vagina, bukan
dengan penyebutan lain, maka hal yang perlu kita tuju sekarang adalah
pengetahuan tentang seksualitas. Seksualitas itu sendiri sifatnya lebih luas.
Ada Sex, Gender, Reproduksi hingga keterkaitannya dengan segi-segi politik,
ekonomi, sosial, kesehatan, dsb.
Saya akan coba persempit percakapan ini dengan
pembedaan antara Sex dan Gender. Mudah saja sebetulnya, Sex lebih kepada urusan
biologis dan Gender lebih kepada urusan konstruksi sosio-kultural. Sebetulnya
saat membicarakan soal tubuh di atas, saya sudah mengajak untuk masuk ke dalam
percakapan soal Sex dan ranah pentingnya kesadaran akan kepemilikan tubuh diri
(Self-Ownership) kita sendiri. Namun kita perlu mendedah secara lebih mendalam
keterkaitan antar keduanya. Terdapat Gender
Identity, Gender Expression, Biological Sex dan Sexual Orientation.
Bila digambarkan dalam overview seorang manusia,
maka Gender
Identity akan bergerak dalam ruang lingkup mindset pikiran kita yang
adanya di otak. Gender Expression ada dalam keseluruhan pembawaan dan
aktualisasi front stage kita ke hadapan publik. Lalu ketika berbicara soal biological
sex, maka salah satunya kita bisa menengok ke alat kelamin kita
masing-masing yang bentuknya memang sudah taken
for granted, kalau tidak Vagina, ya, Penis. Sedangkan Sexual Orientation
terdapat dalam hati manusia (baca: nurani). Boleh disebut dengan ketertarikan
secara emosional tentang seks yang terbagi menjadi: Homoseksual, Heteroseksual, Biseksual, Aseksual.
Perihal yang menarik untuk disimak adalah ketika
kita berbicara soal Sexual Orientation dan Gender Expression, yaitu kesadaran
bahwa fenomena Homoseksual, Heteroseksual, Biseksual dan Aseksual itu memang
suatu realitas yang benar-benar terjadi di dalam masyarakat kita saat ini.
Bukan sekedar konsep. Lantas, apa menariknya? Yaitu respons penerimaan
masyarakat secara umum terhadap kedua segmentasi tersebut. Ini yang lucu.
Kadang kala, kendati kita tahu apa itu Sexual
Orientation dan Gender Expression
tidak serta merta membuat kita memiliki
perangkat sikap yang, katakanlah fair.
Satu-satunya perangkat sikap yang dipertontonkan adalah kemampuan untuk
melakukan justifikasi moral terhadap sang liyan. Benar dan salah, ini boleh dan
itu tidak boleh.
Hasilnya? Mereka (sang liyan) yang identitas
Sexual Orientation nya berbeda dengan “mayoritas pada umumnya” maka akan
menjadi teralienasi, menjadi kaum minoritas. Nah, sampai di sini, kita harus
mempertanyakan sekaligus merefleksikan, apakah Indonesia sebagai Negara
memiliki sebuah konsep yang saya namakan, The
Canopy of Hope seperti sistem hukum
yang adil dan melindungi manusia Indonesia sebagai warga negara? Juga institusi
pendidikan yang terbuka dan mengajarkan kesadaran akan keberagaman? Silahkan
berpikir.
PERKOSAAN SEBAGAI
KEJAHATAN KRIMINAL
Abuse of Power
Kali ini, saya akan mengerucutkan secara
spesifik terkait kekerasan seksual. Ketika
salah satu pembicara, Mariana Amiruddin, mengatakan bahwa kekerasan seksual BUKAN
sebuah kejahatan asusila melainkan sebuah kejahatan kriminal, saya kira tepat
sekali. Ditambah dengan pernyataan bahwa ketika membicarakan soal bahwa
perkosaan bukanlah menyoal moral atau fisik, tetapi soal kuasa. Ini keren
banget! Oh iya, ternyata perkosaan itu adalah salah satu dari 15 bentuk-bentuk
kekerasan seksual loh menurut KOMNAS PEREMPUAN.
Selama ini, memang
masyarakat Indonesia sering dibombardir oleh diksi-diksi “pilihan” ala Orde
Baru atau memang, sekali lagi merupakan, bias ketimuran yang selalu senang
bermain-main dengan moral sehingga pilihannya lagi-lagi selalu hitam-putih,
benar-salah yang akhirnya menciptakan pseudo
social control. Alih-alih membicarakan moral, yang ada justru menyuburkan
kultur kuasa patriarkis di dalam sistem sosial kita. Sehingga, alih-alih
menjaga perempuan, malah memojokkan status perempuan.
Saya akan coba
menuliskan beberapa poin hal-hal yang sebetulnya adalah MITOS terkait perkosaan
dan memiliki sesat berpikir akut (Jurnal Perempuan ed. 71: 2011)
-
Hawa itu penggoda Adam
-
Perempuan memang
“menginginkan” digoda karena menggunakan pakaian mini
-
Perempuan tidak bisa
menjaga diri
-
Perkosaan adalah
kejahatan gairah seksual
-
Perkosaan adalah
kejahatan ringan yang berpengaruh terhadap hanya sedikit perempuan
-
Hanya perempuan “nakal”
yang diperkosa
-
Kekerasan seksual adalah
tindakan impulsive yang spontan
-
Pria tidak dapat
diperkosa
-
Perkosaan adalah urusan
seks
Selain itu, penting
untuk menyorot apa yang dikatakan mbak Mariana tentang profil seorang
pemerkosa. Siapa sih orang-orang yang punya kecenderungan untuk menjadi seorang
pemerkosa tulen?
1.
SELALU MENGANGGAP
BAHWA RELASI GENDER ARTINYA RELASI PERSAINGAN. Tidak mau mengalah intinya dengan orang dengan
identitas gender lain yang dirasa lebih hebat
2.
MEMILIKI KARAKTER
YANG DINGIN. Hayoo, hati-hati yah,
jangan asal terpukau sama ke-cool-an seseorang,”Iiiiih gilaa, dia tuh cool
bangeet siih gayanyaa, misterius-misterius gituu”
3.
HIPERMASKULIN. Ini yang paling saya perhatikan, bukan berarti kamu
sebagai cowok terus harus “Laki banget!”, pertanyaan kritisnya gampang, “Emang
kalau udah Laki banget, So what?”
4.
ANTI-SOSIAL. No comment sih, tapi kamu juga harus bedain yah
antara orang yang Anti-Sosial dengan orang yang memang secara psikologis
kesulitan untuk berinteraksi secara sosial.
5.
PELAKU PERKOSAAN
ADALAH SEORANG yang bertendensi kriminal atau murni seorang KRIMINAL.
Alasannya karena “tidak ada pelaku perkosaan sebagai residivis/ahli”
![]() |
Contoh Abuse of Power |
Kemarin saya mengajukan
pertanyaan terkait perkosaan sebagai kejahatan saat kerusuhan Mei 1998.
Pertanyaannya, kira-kira begini:
“Bagaimana
sekelompok laki-laki dalam kondisi anomie (kondisi tanpa ‘pegangan’ tujuan, norma-norma sosial) di tahun 98 atau dalam kondisi perang mengambil satu tindakan politis untuk, tidak
hanya menjarah harta tetapi juga menyerang, memperkosa bahkan membunuh wanita
dari etnis Cina? Kenapa ada pikiran seperti itu?”
Jawabannya
menarik sekali, bahwa
“Perkosaan
merupakan hal yang ladzim dalam satu situasi kondisi politik yang
tersistematisasi, untuk, misalnya menggiring opini kolektif, membenci etnis
Cina di Indonesia. Jadi, ada kebutuhan untuk menghancurkan harga diri lawan
dalam perang, salah satunya dengan perkosaan (meskipun dalam narasi sejarah ada
bentuk lain seperti menghancurkan Ibu Kota atau kota-kota strategis semasa
Perang Dunia II-RED)”.
![]() |
Cover Novel |
Saya juga memiliki sebuah novel berjudul BRUTAL
yang narasinya baik sekali untuk menceritakan sekaligus membuktikan bahwa orang
yang dikenal memiliki ilmu agama yang baik dan memiliki kuasa serta dianggap
“tinggi” oleh masyarakat sekitar tega melakukan pelecehan seksual terhadap anak
muridnya sendiri. Jadi, seorang pemuka agama yang melakukan abuse of power
dengan menggunakan statusnya sebagai guru, pemuka agama dan ancama nilai angka
kepada muridnya sendiri.
Penjelasan tersebut menegaskan bahwa
sesungguhnya perkosaan bukanlah suatu sekedar urusan teknis masuknya penis ke
dalam vagina secara paksa. Namun sesungguhnya, perkosaan adalah perampokan hak
kepemilikan tubuh korban dan perampokan ruang privat seseorang.
Viktimisasi
Bila ada satu pikiran bahwa perempuan sangat
rentan dan sering menjadi korban dari tindak kekerasan seksual maupun gender,
saya kira sangatlah benar. Perempuan lebih sering dibuat “bingung” atas apa-apa
yang menimpa dirinya, dan kondisi ini saya kira sungguh absurd karena seringkali
perempuan yang seharusnya menjadi korban, justru dilihat sebagai tersangka oleh
alur berpikir yang irasional. Hukum, ternyata memiliki mental demikian dalam
memperlakukan perempuan.

Ketika Medusa mengajukan banding ke pengadilan,
pengadilan, juga dengan logika sesatnya menganggap, maklum saja kalau Medusa
diperkosa oleh Poseidon karena ia duduk-duduk di pinggir danau dan memakai
pakaian mini. Singkat cerita, bukan Poseidon yang dianggap bersalah melainkan
Medusa. Medusa dijatuhi hukuman berkepala ular dan matanya menjadi api. Medusa
BER-SA-LAH!
Sebetulnya tidak perlu jauh-jauh, di Indonesia
pun, “hantu” yang bernama Kuntilanak, Sundel Bolong, Suster Ngesot juga
merupakan perempuan yang “terdzalimi” oleh satu kondisi patriarkis yang membuat
mereka mati secara sia-sia dan menjadi arwah penasaran.
![]() |
Kuntilanak aja punya sejarah terdzalimi yah :'( |
Kalau diperhatikan dari dua cerita di atas, lucu
sekali ya, membuat kita meringis sesakit-sakitnya mengetahui bagaimana salah
satu instrument Canopy of Hope yang
seharusnya bertugas melindungi perempuan malah menjadi senjata makan tuan.
BERSUARALAH!
Sebagai penutup tulisan yang panjang ini, saya kira
perlu untuk merumuskan beberapa tips bagi kamu-kamu atau pembaca untuk
bersama-sama saling menghindarkan diri segala bentuk kekerasan seksual dan
gender. Saya ingin membagi dua sih. Pertama, bagi rekan-rekan pembaca yang
sedang pacaran ataupun berupaya untuk menjalin hubungan dengan seorang
pasangan. Kedua, bagi yang pernah merasa menjadi korban kekerasan seksual &
gender
Buat
kamu-kamu yang pacaran:
1. Coba
deh kamu buat komitmen sama pacar kamu terkait “hal-hal” yang mungkin saja
terjadi di luar batas kewajaran orang normal. Seperti misalnya, tidak boleh
pegang area sensitif dari tubuh masing-masing kalian.
2. Jangan
sering berpikiran bahwa apapun tindakan yang kamu lakukan sama pacarmu itu
selalu “SUKA SAMA SUKA”. Jujur saja, itu salah satu MITOS dalam Pacaran loh. Ga
mungkin kamu tidak merasa nyaman kalau menyangkut hal-hal yang sebelumnya
adalah ruang privat kamu. Tubuhmu adalah milikmu, bukan pacarmu.
3. BERSUARALAH!
Dan berani mengatakan TIDAK! Dan tindakan menolak lainnya untuk
tindakan-tindakan yang membuat kamu tidak nyaman baik itu yang berkaitan
langsung dengan fisik kamu ataupun kesempatanmu untuk maju. Ga mau kan segala
keinginan, cita-cita, harapan dan mimpi kamu didefinisikan oleh orang yang
bahkan belum resmi jadi pasangan kamu meskipun kamu udah “cinta banget!” gitu.
Pun sudah resmi, kamu harus tetep kritis dengan segala keputusan pasangan kamu.
4. Pacarku
maksa teruus.. Aku juga udah cinta sih sama dia. Gimana doong? Gapapa kali yah
cium-cium atau pegang dikit? Hmm.. Cinta itu banyak perspektifnya loh! Coba deh
baca-baca tambah pengetahuan dan perspektifmu dari buku filsafat, psikologi dan
sosiologi. Setahuku, kalau Cuma mau “enak” doang sih bukan cinta. Cinta –Karena
aku Freirian- maka harus MEMBEBASKAN.
5. Yaaah,
dia maksa teruuuss... Aku harus gimana? PUTUSIN AJAA!!! (Radikal abis, he he)
Nah, kalau kamu yang merasa pernah menjadi
korban kekerasan seksual, meskipun menurutku agak kompleks, tapi kira-kira
begini:
1. Kamu
tetap perlu untuk lapor ke kantor polisi.
2. Kalau
kamu merasa polisi ga bisa bantu kamu, kamu perlu cari LBH (Lembaga Bantuan
Hukum) yang lawyer-lawyernya berperspektif gender
3. Kalau
kamu perlu pendampingan secara khusus, boleh datang ke Universitas yang
menyediakan bantuan pemulihan psikis atau ke LSM yang bergerak di bidang
kesadaran seksual dan sejenisnya
4. Jangan
pernah dipendam sendiri. Ga bakal bagus untuk kesehatan baik fisik maupun
mental kamu.
5. Ingat
selalu bahwa bukan karena kamu menjadi korban kekerasan seksual lantas masa
depanmu hancur. Itu cuma ada di pikiran masyarakat yang bisa menjudge negatif
ke kamu. Masa depan, kesempatan berkarier mu masih panjang, yang penting kamu
terbuka ya. Semangat selalu untuk kamuu!! BERSUARALAH!
Mohon maaf ya untuk para rekan pembaca kalau
tulisannya terlampau panjang. Semoga tetap memberikan manfaat untuk kita. Tiada
lain tulisan ini dibuat sebagai sharing dari hal yang saya tahu.
Oh iya, tidak luput terima kasih untuk tim SGRC
UI yang ketje badai untuk mengadakan acara ini. Sukses selalu dan tetap
menginsipirasi generasi muda ya untuk terus mengedukasi dan memperjuangkan
kesadaran seksual dan kesadaran gender!!! SALUT!
![]() |
Sumber: Twitter @SGRCUI |
NB:
Sumber-sumber tulisan banyak berasal dari Modul SGRC UI dan Jurnal Perempuan
Edisi 71 “Perkosaan dan Kekuasaan”
Depok,
17 Oktober 2015
Salam,
Luthfi
Ersa
Yang
ilmunya masih cetek bangeet
aiih terimakasih Pak Guru Luthfi Ersa sudah rangkum acara SGRC UI kemarin. btw gw lumayan sering mengunjungi blog lu dan baca tulisan2 lu di Selasar loh~ semangat terus ya Pak Guru, main dotA di kurang-kurangin. :p
BalasHapus