[MOVIE REVIEW] IT (2017)
“They
all float down here. When you’re down here with us, YOU’LL FLOAT TOO!”
-Pennywise The Dancing Clown-
Di tengah hujan lebat, Perahu kertas itu
berlayar di sepanjang tepian selokan. Georgie mengejarnya dengan riang dengan
mantel hujan kuning dan sepatu bootsnya. Terus berlayar hingga menghilang ke
salah satu lubang di jalan St Jackson. Sesosok badut muncul dari lubang
tersebut sembari mengangkat perahu kertasnya menawarkan apakah Georgie ingin
mengambilnya kembali. Mereka berkenalan, bercakap sejenak. Suatu percakapan
absurd yang akhirnya akan membawa Georgie kecil ke ajalnya. Semenjak itu,
anak-anak menghilang...
“IT” Itself
Narasi di atas merupakan penggalan awal dari
film IT di tangan sutradara Andy Muschietti yang Anda bisa lihat di trailernya.
Film IT sendiri merupakan hasil remake dari pemutaran perdananya pada tahun 1990
berdasarkan novel Stephen King yang dirilis pada tahun 1986.
Secara garis besar bercerita tentang perjalanan
tujuh anak-anak yang mencoba untuk mengungkap hilangnya anak-anak lainnya
secara misterius di kota bernama Derry pada tahun 1988-1989. Anak-anak itu
bernama Billy (Jaeden Lieberher), Stanley (Wyatt Oleff), Richie (Richie
Tozier), Ben (Jeremy Ray Taylor), Eddie (Jack Dylan Grazer),
Mike (Chosen Jacobs), dan Beverly (Sophia Lillis). Layaknya “film
anak” pada umumnya, tentu mereka memiliki karakter berbeda-beda untuk saling
mengisi karakter lainnya dan mudah terbentuk tanpa harus melalui penceritaan
karakter yang lebih mendalam.
Kiri-Kanan: Eddie, Stanley, Richie, Mike, Billy, Beverly, Ben |
Billy (kakak kandung Georgie), si
ketua kelompok bijak yang memiliki problem terbata-bata ketika berbicara. Stanley
si anak pendiam yang tengah dididik menjadi calon Rabi dari agama Yahudi. Ben,
si anak pindahan baru yang kutu buku. Eddie, si cerdas tipikal anak
rumahan yang manut dengan ibunya. Richie, tipikal pencair suasana (tentu
tidak akan menarik bila tidak ada anak yang banyak tingkah, banyak bicara
bukan?). Lalu, Beverly penyeimbang karakter karena ia satu-satunya
karakter anak perempuan dalam kelompok tersebut yang memiliki otak yang lebih
awas & dewasa. Terakhir, Mike, ia merasa sebagai “outsider” karena lahir
dari keluarga berkulit hitam.
Selepas kematian Georgie (Jackson Robert
Scott), penonton perlu berfokus untuk menyusun premis utama yang reasonable
dan substansial dari tiap scene yang hilir berganti agar setidaknya bisa
mendapatkan sisi “horror” nya daripada sekadar menikmati “petualangan anak-anak”
semata. Beruntung, sang sutradara, meski perlahan, sukses mengantar kita
bertemu ke titik temu dari perjalanan ini: ketakutan personal dalam diri ke
tujuh anak.
Ya, masing-masing anak diteror oleh rasa
takutnya sendiri akan sesuatu. Apapun bentuk ketakutan yang dialami oleh
anak-anak itu, dalangnya tak lain adalah Pennywise: The Dancing Clown.
Si Badut (Bill Skarsgard) yang ternyata hidup sekitar 27 tahun sekali
(versi It 2017 dan 30 tahun sekali dalam versi aslinya) itu akan berubah wujud
persis seperti apa yang mereka takutkan. Menariknya, ia tak benar-benar nyata
namun terlihat sangat nyata dan di poin itulah kejadian demi kejadian akan
lebih kompleks dan menarik untuk disimak hingga akhir.
“Pennywise” Itself
Sungguh, apapun karya yang dihasilkan dari
tulisan novelis sekaliber Stephen King dalam bentuk visual akan memberikan bukan
hanya pengalaman baru tetapi juga sajian cerita yang tidak biasa untuk
dinikmati. Satu hal yang perlu saya puji dari Stephen King: CERITANYA SELALU
UNIK. Tengoklah sejenak karya-karya dari Novel beliau yang dijadikan film dan
sangat worth to watch: Carrie (1974, remake 2013), The
Shining (1980), Creepshow (1982), Pet Sematary
(1989), Misery (1990), The Shawshank Redemption
(1994), 1408 (2007) dan tentu It (1990, remake 2017).
Semua yang saya sebutkan itu bukan hanya sekadar blockbuster pada
masanya tetapi lebih dari itu adalah suguhan cerita dengan alur dan maksud yang
tak bisa ditebak, apapun genrenya.
The Best of Stephen King's Movie |
Film IT yang memang mengangkat Badut sebagai
ikonnya adalah salah satunya. Kalau sejak awal cerita ini hanya disetting badut
layaknya psikopat atau hantu yang mengejar korban tanpa makna, tentu IT tidak
akan spesial. Tapi berbeda ceritanya bila sejak awal kita tidak benar-benar
dapat mengidentifikasikan si badut Pennywise itu ke dalam satu subjek: pembunuh
kah? Hantu kah? Monster kah? Atau yang lain?
Dalam versi aslinya di novel, si Badut
Pennywise pada dasarnya adalah alien (yang bentuknya juga dapat
diinterpretasikan dalam beragam bentuk) yang hidup di selokan air bawah tanah
sejak tahun 1715. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ia akan keluar
dari kandangnya untuk makan setiap kurang lebih 27 hingga 30 tahun sekali.
Satu hal yang menarik adalah ia lebih memilih
untuk memakan anak kecil. Bukan tanpa alasan, baginya, anak kecil lebih mudah dan
lebih banyak memiliki rasa takut akan sesuatu ketimbang orang dewasa. Untuk itu
ia akan berubah wujud dalam dua bentuk: Badut Pennywise dan apa yang ditakuti
oleh si anak, misal Anda takut ondel-ondel, maka si Pennywise akan berubah
wujud menjadi ondel-ondel. Ketika si anak sudah tidak memiliki daya untuk
melawan, saat itulah IT akan kembali ke bentuk badut dan mulai “memakan” si
anak tersebut. Kesimpulan mudahnya, IT bukan hanya memakan fisik manusia tetapi
sekaligus mengonsumsi rasa ketakutannya.
Dalam sebuah wawancara, Stephen King menjelaskan
mengapa harus “Badut” sebagai ikonnya dan kenapa menyebutnya dengan “IT”. Stephen
pernah berujar, “What scares children more than anything else in the world?
The answer is: Clown”. Dan kenapa IT? Secara sederhana, IT tidak didesain
apakah ia adalah seorang laki-laki atau perempuan, jadi satu-satunya cara
memanggil yang tepat adalah IT.
Pennywise ala Tim Curry (Kiri) & Bill Skasgard (Kanan) |
Saya lebih memilih untuk netral dan tidak
banyak berkomentar tentang bagaimana perbandingan antara Pennywise yang
diperankan oleh Tim Curry di tahun 1990 atau Bill Skasgard sekarang. Satu hal
yang pasti, ketika saya menontonnya semasa kecil di era 90-an lalu maupun
sekarang, masih sama-sama terasa creepy-nya.
Agaknya, Stephen King ada benarnya tentang
kutipannya tentang rasa takut,
“Monsters are real, and ghosts are real too.
They live inside us and sometimes they win”.
Tapi tidak ketika kita memutuskan untuk berani menghadapi
ketakutan kita sendiri. Apapun itu.
So, face your fear, go to the cinema and watch
till the end. Bye.
Ini salah satu film yang tata suara nya keren, suka banget saya pas ntn. Dan gak kehitung nampar muka sendiri berapa kali karena kaget mau nutup muka hehehe
BalasHapus