[MOVIE REVIEW] DUA GARIS BIRU (2019)
REVIEW DUA GARIS BIRU
follow my ig @ersabossa |
“Kamu pikir jadi orang tua gampang?”
“Kamu pikir cari duit gampang?”
Dara mengangkat tangan kala ditanya siapa yang
mendapat nilai seratus di kelas, sedangkan anak terakhir yang mengangkat tangan
karena mendapat nilai terjelek adalah Bima. Tak apa, kesenjangan itu raib
seketika saat Dara tahan badan dengan berkata, “yang penting bukan hasil
nyontek”. Maklumlah, kedua anak yang duduk sebangku itu dua sejoli rupanya.
Asmara mengudara, sebelum mereka berdua berkabut kemelut.
Kemelut
Bila sejak awal film ini dibuat sekelibat jadi
maka bisa dipastikan akan berakhir klise dan terjebak pada kungkungan moralis
semata. Tapi tenang, Dua Garis Biru jauh dari kekhawatiran itu karena ide film
ini sudah dipersiapkan sejak lama oleh sang penulis sekaligus sutradara Gina S
Noer. Di tangannya, film ini berhasil tertutur secara matang sebagai sebuah
bahan refleksi kita bersama tentang hal yang masih dianggap sebagian besar
masyarakat awam tabu di era yang terlampau modern untuk sekedar mentabukan hal
tersebut. Ya, apalagi kalau bukan soal pernikahan dini, seks dan kehamilan di
luar nikah.
Cukup aneh kiranya mentabukan suatu masalah
sosial yang seringkali sulit dihindari bahkan disadari oleh remaja Indonesia
yang tanpa masyarakat kita sadari justru berakar dari ketabuan itu sendiri
terkait urusan seksualitas. Dua garis biru secara berani mengkontestasi diri
kita sejauh mana kita mau mengakui keluguan, ketidaktahuan, ketidakpedulian
hingga ketakutan pada edukasi seksual. Bahwa sebetulnya kehamilan di luar
nikah, perkara aborsi, penikahan dini bisa dicegah dari kemauan dari masing-masing
aktor keluarga, khususnya orang tua dan anak untuk sama-sama keluar dari
basa-basi malu untuk terbuka pada pengetahuan soal seksualitas. Setidaknya, ini
yang kemudian terjadi dalam karakter Bima dan Dara di film ini.
Bima dan Dara merupakan pasangan remaja yang
berada di kelas 12 SMA. Bila diteliti, mungkin lebih tepatnya kelas 3 SMA
semester 1, ujian di depan mata, sejengkal menuju destinasi terakhir murid
sebelum menapak ke jenjang impiannya. Sayangnya, kandas sudah mimpi mereka itu
untuk sementara waktu karena kesalahan mereka yang melakukan hubungan seksual
terlalu dini. Sebetulnya, kata-kata kesalahan lebih tepat ditujukan bukan
menyoal pada hubungan seksualnya melainkan atas ketidakpekaan pertimbangan
logis mereka sebagai remaja yang memicu masalah yang tidak akan pernah bisa
mereka selesaikan sendiri.
![]() |
Dara (Adhisty Zara) dan Bima (Angga Aldi Yunanda). Credited: Google |
Dara hamil dan kemelut dimulai dari titik ini. Kebingungan-kebingungan mereka dalam menanggapi situasi yang tengah terjadi membuat cerita menarik untuk diikuti. Mulai dari upaya-upaya yang akan dilakukan Bima untuk lari dari kenyataan hingga berubah ingin menyelesaikan masalah ini, kekhawatiran Dara pada perubahan tubuhnya, hingga poin dimana pada akhirnya kedua orang tua mereka mereka mengetahui tentang hal ini.
Sudah dikatakan di awal bahwa dua garis biru
tergarap secara matang, terbukti dari bagaimana Gina mampu menuturkan intensitas
masalah secara berlapis tanpa terburu-buru. Kedua, hal yang menarik mengapa
film dengan tema sensitif seperti ini bisa nikmat ditonton adalah penekanan
pada kemelut masalah yang dituju para aktornya.
![]() |
Keluarga Dara. Credit: Google |
Film ini tidak mempersoalkan hitam putih mengenai hubungan seksual di luar nikah seperti apa yang ditakutkan oleh mereka yang mencoba memboikot film ini di luar sana melainkan berdiri pada dua hal kuat. Pertama, bagaimana kedua sejoli ini mencoba bertarung pada kegelisahan, ketakutan dan kenaifan diri mereka sendiri atas masalah yang sedang dihadapi. Kita harus ingat bahwa identitas fiksional mereka adalah murid SMA yang mau dilihat dari sudut pandang manapun tetap merupakan remaja tanggung. Kedua, ini tak kalah menariknya yakni respon kedua orang tua mereka yang berasal dari latar belakang strata sosial yang kontras berbeda. Benturan kedua hal tersebut yang kemudian membuat kisah mengharu dalam momen-momen tertentu.
Momen haru itu mudah tertangkap dari suguhan
visual seperti misalnya saat beberapa kali pengambilan gambar yang memperlihatkan
Dara dalam kesendiriannya dalam latar nuansa musik Growing Up dari Daramuda,
momen Dara dengan mamanya baik di kamarnya yang didominasi warna putih terkesan
lembut nan tenang. Pun pada hubungan Bima dengan orang tuanya yang secara
kontras berada di lingkungan kampung padat huni. Perpindahan dua lokasi ekstrim
ini lucunya, memang membuat kita cepat bersimpati pada dua keluarga yang sedang
pusing ini.
Keluarga Bima. Credit: Google |
Percayalah, kita wajib angkat topi pada
pemilihan cast untuk film ini. Jam terbang memang tak bisa berbohong untuk
menunjukan kualitas akting yang berkarakter seperti Lulu Tobing, Cut Mini (ini
kedua kalinya saya memberikan highlight apresiasi setelah sebelumnya di awal
tahun memerankan peran yang sama dalam film Orang Kaya Baru), Dwi Sasono
dan Arswendy Bening Swara sebagai orang tua dari masing-masing anak itu. Anda
akan sadar mereka tak sekedar menjadi pemeran pembantu semata melainkan
mendapatkan porsi pas untuk mewarnai kompleksitas masalah setiap menitnya.
Pada akhirnya film ini mengingatkan kembali
pada kita bahwa persoalan tabu selain soal seks sekalipun sebetulnya bisa diruntuhkan
dengan sebuah kunci yakni interaksi sosial dalam sebuah lembaga keluarga. Antara
suami dan istri, orang tua dengan anak. Sesederhana itu. Seperti kutipan dari Ibu
Bima, “Coba dari dulu kita sering ngobrol kaya gini ya, Bim..”.
![]() |
Gina S. Noer selaku Penulis dan Sutradara. Credit: Google |
Lantas, bagaimana akhir dua remaja tanggung
ini? Bagaimana nasib Dara dan bayinya? Akankah mereka akan hidup bersama dan
bahagia selamanya? Kita tahu sama-sama bahwa jawabannya bukan dalam tulisan
review ini melainkan di depan layar bioskop kesayangan Anda. So, tontonlah film
ini sebelum turun layar.
Sampai bertemu lagi di review film selanjutnya.
Sutradara: Gina S. Noer | Produser:
Reza Servia | Music: Andhika Triyadi | Produksi: Starvision
Plus | Artis: Angga
Aldi Yunanda, Adhisty Zara, Cut Mini, Lulu Tobing, Dwi Sasono, Arswendy Bening
Swara, Rachel Amanda | Durasi: 113 Menit
Komentar
Posting Komentar