[MOVIE REVIEW] TILIK (2018) : BU TEJO DAN KENYINYIRAN YANG PARIPURNA
BU TEJO DAN KENYINYIRAN
YANG PARIPURNA
![]() |
Follow my IG @ersabossa |
“Makanya, punya HP itu jangan Cuma buat mejeng doang
tapi buat cari informasi juga gitu, lho!”
Bu Tejo
Bu Lurah sakit. Rombongan ibuk-ibuk dengan mental guyub dan modal
nekatnya naik truk berniat menjenguk Bu Lurah ke rumah sakit kendati keto’e
yo wuadooh men (terlihat jauh). Ada desas-desus Bu Lurah jatuh sakit karena
memikirkan anaknya, Fikri yang memiliki hubungan dengan si kembang desa, Dian.
Tak perlu menunggu truk jalan jauh, truk menjadi saksi arena pergunjingan Bu
Tejo, Yu Ning, Yu Sam karo Bu Tri. Bu Tejo dengan segala ke-intel-an nya
sungguh sangat percaya bahwa Dian bukanlah perempuan baik-baik.
Bu Tejo, melalui pengamatannya yang mendalam dari apa yang ia lihat di
foto-foto pesbuk Dian, lalu perkara melihat Dian muntah-muntah dari motor
dengan mata kepalanya sendiri, serta penguatan satu dua hal dari Bu Tri dan Yu
Sam seraya mengobarkan gelora api semangat bernalar Bu Tejo untuk meyaquieenqan
buibuk sa’kabehane (semuanya) di truk itu, terkecuali Yu Ning. Yu Ning,
sebagai saudara jauh Dian dan mungkin bisa dibilang salah satu yang paling
skeptis otaknya mengambil posisi bersebrangan dengan Bu Tejo, memilih mendebat
habis-habisan lambene Bu Tejo yang MasyaAllah nyinyirnya itu.
![]() |
Source : Youtube Ravacana |
Perdebatan kedua tokoh tersebut barangkali sudah Anda saksikan sejak beberapa
hari belakangan ini di sebuah film pendek berdurasi 32 menit yang dibesut oleh
Wahyu Agung Prasetyo. Ya, TILIK judulnya, yang arti aslinya adalah menjenguk /
menengok seseorang. Film ini sebenarnya sudah selesai diproduksi oleh Ravacana
Films pada 2018 namun baru bisa dinikmati di Youtube pada tanggal 17 Agustus
lalu.
Kejenakaan
Selain karena memang Bu Tejo trending di Twitter, ada alasan lain yang
nampaknya membuat kita menikmati film pendek ini. Tilik menyuguhkan sebuah
suguhan visual tentang realitas pengendalian sosial yang teramat lazim kita
temui hampir setiap hari, baik dalam ruang nyata maupun maya, lisan maupun
tulisan.
Hal lain yang memperkuat alasan adalah suguhan atas representasi kehidupan masyarakat desa yang sesungguhnya berada dalam transisi modernisasi. Gabungan antara pergunjingan dan pencitraan wong Ndeso lewat penokohan Bu Tejo dkk tak khayal mengundang gelak tawa penonton sepanjang film.
Bagaimana tidak, sulit rasanya menahan rasa tawa melihat Yu Nah yang
muntah di truk. Adegan Bu Tejo yang kepuyuh (nahan pipis) dan truknya malah
berhenti di tengah sawah. Asli lho, Bu Tejo ini ga sabaran banget wong’e,
bahkan perkara minta bukain pintu truk sampe turun truk aja bisa jadi masalah wkwk.
Eits, pun jangan lupa juga waktu truk mogok dan ngomel-ngomelnya Bu Tejo en
de geng waktu gotrek ditilang yang harusnya pantas digadang jadi salah satu memorable
scene.
Kritik Sosial
Setidaknya, ada 2 hal yang bisa refleksikan secara sosiologis. Pertama
menyoal realitas kontradiktif hasil dari penarikan kesimpulan dan pengumpulan
informasi oleh masyarakat. Kedua, kritik atas desas-desus dan nyinyir sebagai
cara pengendalian sosial masyarakat kita.
Jujur, saya harus angkat topi pada penulis naskah yang berhasil memaksa
kita untuk menahan asumsi mutlak sekaligus menggoyang kepastian analisis kita
yang paling ilmiah sekalipun untuk tidak terburu-buru menyatakan Bu Tejo salah
100% dan menyimpulkan “makanya jangan make pesbuk, hari gini masih make
pesbuk sih” hanya karena persepsi masyarakat kota merasa jauh lebih baik
dari masyarakat desa. Fliss lah oii wong kuto jangan sok keras
#uhuk!, kenyinyiran Bu Tejo boleh jadi adalah representasi tindakan sosial kita
sehari-hari dengan perbedaan medium sosmednya saja. Bu Tejo en de geng
pakai pesbuk, kita pakai igeh atau aiji dan juga tuit.
![]() |
Source : Youtube Ravacana |
Aslii, nggemesi tenan menelan kenyataan bahwa nalar kita
ujung-ujungnya ono ning simpang dalan (ada di persimpangan jalan) karena
penonton ga iso memihak sekekeuh itu bahwa di satu sisi kita
ingin berpikir bahwa Bu Tejo sangat tidak empiris dan salah total mempercayakan
pesbuk sebagai sumber data primer sekedar untuk menunjukan adanya culture
lag namun di sisi lain juga kenyinyiran paripurna Bu Tejo secara tak
langsung match dengan realitas endingnya yang aduh sungguh amjncc
kata mutual-mutual di tuiter dengen plot-twist nya yang memaksa kita
ngeluarin sticker “pingin tak hih!”
Oia, yang kedua, secara sosiologis, emang sih desas-desus en nyinyir bisa
jadi alarm bagi adanya tindakan menyimpang dari individu, biar individu kembali
lagi balik ke norma yang disepakati masyarakat umum. Hanya, titik terlemah dari
sebuah kenyinyiran sebagai bentuk pengendalian adalah akhir prosesnya. Pun
katakanlah bahwa suatu fakta menyedihkan berhasil terungkap, Nyinyir tak akan pernah
menjadi solusi efektif untuk menyelesaikan perkara. Alih-alih menegakkan
kebenaran, kelompok masyarakat / netijen-nejtijen justru malah bisa menjadi
mesin pembully masif yang akan memperkeruh suasana, lebih-lebih mematikan
identitas individu menyimpang itu sendiri.
So, akhir kata, wis, intine meh wong sing dianggep ndeso-kuto, yo wedok
yo lanang, cah cilik yo wong tuo berpotensi podo ae kok karo Bu Tejo yang
solutip itu (Lha aku yo podo-podo kok, eh..). Di epbe kita bisa
bacot politik ala-ala, di igeh atawa aiji kita bisa nyinyirin (ngiriin
juga ga sih sebenernya?) idup selebgram en artis, di aplikasi burung biru
kita bisa jadi produsen atau konsumen aktif sepal-sepil sambil gelar tiker.
Sutradara: Wahyu Agung Prasetyo |Produser: Elena Rosmeisara | Produksi: Racavana
Films | Artis: Siti Fauziah, Brilliana Desy, Angeline Rizky,
Dyah Mulani, Lully Syahkisrani, Gotrek | Durasi: 32 Menit
| Tahun: 2018
film berdasarkan kisah nyata...yang terjadi dilingkungan masyarakat
BalasHapus