Review Buku: SAIA – Djenar Maesa Ayu




Oleh: M. Luthfi Ersa. F



Bukan Djenar namanya bila tidak bisa menggambarkan bagaimana perempuan dan seksualitas dalam lingkar budaya Patriarkis di negeri ini. Bukan juga Djenar namanya bila tidak merangkai diksi yang saling menyahut kalimat demi kalimatnya. Bukanlah vulgar namun lugas dan ‘apa ada’ nya. Kali ini, ia merangkumnya, menceritakannya lebih lengkap. Tidak lagi berfokus pada satu masalah, pada satu Subjek. Kali ini kita akan dibawa melihat bagaimana ‘sulitnya’ menyusun kedirian dalam suatu tubuh yang bernama Perempuan dalam berbagai Subjek dalam Masyarakat.

Dalam buku ini, Djenar menelanjangi berbagai persoalan-persoalan yang dialami kaum Perempuan dalam pandangan yang lebih luas dan dirangkum dalam 15 cerita berbeda. Pada titik ini, seperti biasa, Djenar dengan apik membawa kita juga ikut merasakan keresahan, kegelisahan, ketakutan, kesepian yang dialami oleh seorang Perempuan. Karakter tokoh ‘Nayla’ kembali digunakan dalam buku ini.

Seakan ingin menegaskan bahwa yang dimaksud ‘Perempuan’ disini bersifat universal yang tidak terbatas pada usia tertentu. Itu berarti menandakan bahwa Perempuan sebagai Subjek bisa sebagai “Anak Perempuan”, seorang “Remaja”, seorang “Gadis Dewasa” dan bahkan seorang “Ibu”. Lain umur, lain pula konteks persoalan yang dihadapi.

Djenar mengawali ceritanya justru dari hal yang menyentuh. Cerita tentang bagaimana perjuangan seorang wanita yang hamil diluar nikah kemudian sang laki-laki tidak mau bertanggung jawab yang pada akhirnya ia lebih memilih untuk menjadi seorang Ibu. Menjaga, merawat meski hidupnya berliku. Ada satu kalimat yang kiranya menyentuh, sebagai naluri sebagai seorang Perempuan, yakni “Saya akan Menjaganya”. Lalu, cerita-cerita berikutnya berlanjut mengeksplorasi tentang beberapa kekerasan Gender.

Kekerasan gender yang digambarkan disini meliputi kekerasan secara fisik dan psikis. Secara fisik, Tubuh perempuan menjadi sebuah alat yang dieksploitasi dan ‘dikuasai’ oleh laki-laki, yang membuat tidak menutup kemungkinan justru perempuan teralienasi dari tubuhnya sendiri. Yang menarik justru ketika kekerasan ini menimpa seorang anak perempuan. Yang notabenenya masih terlalu ‘dini untuk memahami dan mengahadapi hal semacam itu. Dalam hal ini, terkadang seorang anak selalu jadi korban orang-orang terdekatnya. Kisah-kisah ini bisa ditemukan dalam Bab II “Dan Lalu”, Bab VII “SAIA”, Bab X “Gadis Korek Api”. Salah satu kutipannya begini,

“Mereka pun menghukum saya tanpa belas kasihan. Bergantian melemparkan cacian. Bersamaan melemparkan tamparan demi tamparan. Juga tonjokan. Tak terkecuali tendangan. Mereka tak peduli walau saya sudah menangis minta ampun dan merintih kesakitan. Sepertinya, hanya saat inilah mereka tak lagi bersebrangan. Mereka yang semula bagai anjing dan kucing, tiba-tiba berubah bak teman sepersekutuan” (Ayu, 2014:72)

Begitupun kekerasan gender yang justru dipermulus oleh tatanan baik secara sosial, politik maupun media. Semua turut andil dalam memperlancar sistem Patriarkis ini bekerja. Membelenggu Perempuan atas ketubuhan dan kediriannya. Bagaimana secara tatanan sosial ini menekan? Djenar menceritakannya pada Bab IV “Sementara”, tentang bagaimana hinanya seorang gadis yang mengidap HIV/AIDS dipandang dalam Masyarakat, bahkan label negatif tersebut datang tidak jauh-jauh, yakni dari keluarganya sendiri. Bukannya mendapat dukungan moril, justru mendapat caci maki.

Begitupun dengan pertanyaan, bagaimana tatanan Politik justru sering mendramaturgikan keadaan yang lagi-lagi mengorbankan perempuan. Dengan jelas Djenar menceritakannya pada Bab XIV “Mata Telanjang”. Ketika Cinta tetap ‘gagal’ bersemi meski telah bertemu di gelapnya lampu hiburan malam. Lagi-lagi, laki-laki yang dirasa mencintainya justru menggunakannya untuk keperluan yang menguntungkan dirinya semata. Selain itu, Dalam Bab VIII “Qurban Iklan”, Djenar juga mengungkapkan bagaimana Media mengkonstruksi definisi ‘Cantik’ atas tubuh Perempuan hanya demi memperkenalkan sebuah produk.

Terakhir, payung bernama Hukum pun pada akhirnya gagal melindungi Perempuan dari hak yang seharusnya ia dapat. Coba kita pertanyakan kembali, apakah salah bila perempuan sebagai korban pemerkosaan melapor? Pada titik ini Djenar dengan jeli menunjukan bahwa tidak selamanya Hukum itu adil dan punya ‘hati’ hanya karena tidak ada/sedikit bukti. Kisah ini Djenar ceritakan pada Bab VI “Fantasi Dunia”. Ini salah satu kutipannya,

“Anaknya merengek lagi. Di dalam matanya ada ledakan kembang api warna-warni. Mata yang sebenarnya setiap waktu ingin Nayla hindari. Mata ayahnya, yang pernah membuat Nayla beberapa bulan mengandung di dalam bui, karena dinyatakan bersalah telah membuat laporan palsu atas kasus perkosaan tanpa adanya cukup bukti”. (Ayu, 2014:69)

Hal-hal yang sudah diungkapkan diatas, segala macam bentuk kesulitan-kesulitan yang bisa mengintai kaum Perempuan dari berbagai sudut pada akhirnya sering menggiring perempuan untuk menjadi-Meminjam istilah filsuf, Slavoj Zizek- “Subyek Radikal”. Djenar dengan kelamnya mengisahkan bahwa Mengakhiri hidup hampir selalu menjadi alternatif untuk keluar dari tatanan “The Symbolic”. Kematian bagi sebagian mereka dirasa lebih menggaransikan kebahagiaan dari segala bentuk kekangan. Seperti hal nya diceritakan pada Bab II “Dan Lalu”. 

“Dan lalu, tak ada lagi kemudian. Yang tinggal hanya pertanyaan. Apakah kematian adalah kekalahan atau kemenangan. Memenjarakan atau memerdekakan.” (Ayu, 2014:15)
  
·         Judul Buku                : SAIA
·         Penulis                       : Djenar Maesa Ayu
·         Penerbit                     : Gramedia Pustaka Utama
·         Tebal Halaman          : 139 Halaman
·         Tahun Terbit              : 2014
·         ISBN                          : 879-602-03-0170-9
·         Harga                         : Rp 50.000,-

Komentar

Postingan Populer