BERKENALAN DENGAN PAULO FREIRE
BERKENALAN DENGAN PAULO FREIRE
Oleh
M. Luthfi Ersa. F
Kehidupan: Diri dan Akademis
Paulo
Freire lahir di sebuah kota pelabuhan di Brazil, Recife, pada tanggal 19
September 1921. Ia adalah hasil buah cinta kedua orang tua hebat, yakni ayahnya
Themistocles Neves dan sang Ibu yang bernama Edeltrus Neves. Sayang, ia tidak
terlahir sebagai orang kaya, keluarganya termasuk golongan kelas menengah.
Maklum, ia juga lahir pada masa-masa The Great Deppresion yang menyerang
Negara-negara di Amerika Utara dan berimbas ke Negara-negara Amerika Latin yang
notabenenya merupakan Negara-negara tertinggal atau berkembang kala itu.
Freire
kecil sudah terbiasa dengan kelaparan. Banyak orang yang semakin kaya, dan yang
miskin tetap saja menjadi miskin. Teman-temannya pun demikian. Namun, anak
kecil ini tidak begitu saja menerima kondisi yang demikian. Sejak kecil boleh
dibilang, Freire adalah anak yang optimis, ia bersumpah bahwa suatu saat ia
akan menghapuskan atau minimal melihat generasi-generasi selanjutnya di Brazil
tidak mengalami apa yang ia alami semasa kecil.
Freire
ini bukanlah anak yang bodoh atau kurang dalam soal pelajaran. Atau minimal,
bolehlah dikatakan bahwa ia adalah anak yang memiliki semangat yang tinggi
untuk urusan pendidikan. Terbukti, ketika beranjak dewasa, ia kuliah di
Universitas Recife dengan mengambil program S1 Jur. Hukum dan ia menyelesaikan
program Doktoralnya pada tahun 1959. Ia tidak hanya mempelajari Hukum tetapi
juga mempelajari Filsafat, Psikologi, Bahasa dan Sosiologi.
Pada
tahun 1944, ia menikah dengan Maria Costa Olivera. Kalau kita melihat rekam
jejak mulai dari kehidupan para ilmuwan sosial, ia termasuk salah seorang yang
memiliki kehidupan yang cukup humanis dan full
of love. Bandingkan saja dengan kehidupan Comte, Durkheim atau Marx. Anak yang
baik karena hasil didikan orang tuanya yang juga membesarkannya dengan kasih
sayang, kecintaannya dan rasa ingin lebih banyak mendengar dari istrinya,
Maria, juga kecintaannya pada kemanusiaan yang membuatnya menjadi demikian.
Kontrol psikologis yang cukup baik untuk seorang ilmuwan besar seperti dirinya.
Menuju Jalan Pemahaman Pedagogik Freire
Melihat
dari rekam jejak keilmuannya di atas, Freire memiliki paket ilmu pengetahuan
yang cukup lengkap untuk sampai pada tahap penyusunan ontologis pedagogiknya
sendiri yang berciri khas. Boleh dibilang ia teoritikus pertama yang
mempelopori pedagogik kritis atau critical
pedagogy yang berpengaruh di dunia.
Selain
itu ia juga memiliki banyak pengalaman dari kehidupannya yang juga turut
mempengaruhi jalan pedagogisnya. Dari penuturan Dr. Richard Sahull, Freire di
umur sebelas tahun sudah mencoba melawan kemiskinan dan dari situ ia memahami
mengapa suatu kemiskinan itu bisa terjadi. Ia sampai pada konsep “Kebudayaan
Bisu” dan mencapai konsep “Kaum Tertindas dan Kaum Penindas”. Hal ini sama
halnya ketika Karl Marx menyusun konsepnya sendiri tentang penggolongan
kelas-kelas sosial yang bernama “Kaum Proletar-Kaum Borjuis”. Pada titik ini,
Freire menilai sistem pendidikan kala itu berpotensi besar menjadi penyebab dari
akar kebudayaan bisu yang tidak hanya mempengaruhi daya berpikir kognitif
tetapi juga kesempatan masyarakat secara luas untuk turut berpartisipasi dalam
kehidupan ekonomi dan politik yang lebih sehat.
Baginya,
pendidikan adalah PROSES. Ia bukan hasil akhir dan berhenti pada satu titik
atau waktu. Pendidikan berarti mengikutsertakan segala PENGALAMAN dari
kehidupan seorang Pembelajar dalam proses pembelajaran. Namun, justru realitas
pendidikan yang terjadi adalah sebaliknya. Guru di sekolah hanya mengajarkan
“apa yang harus dikerjakan, diberitahukan, dijelaskan kepada siswa”. Ia melihat
sistem pendidikan di Brazil masih menempatkan Siswa sebagai objek. Inilah yang
Freire sebut sebagai Pendidikan Gaya Bank.
Dengan
cara yang demikian, murid hanya akan berpikir ‘pas-pasan’, tidak akan berpikir
di luar konteks apa yang diajarkan. Sekedar mendengarkan, menulis, mencatat,
menghafal, lalu diuji dengan mengulangi apa yang guru sudah katakan. Analoginya
seperti celengan saja.
Apa
bukti utama dari cerita di atas? Sekitar awal tahun 1960an, ketika akan terjadi
pemilihan umum yang mengharuskan adanya partisipasi dari rakyat (note: Di tahun
ini terjadi upaya demokratisasi di beberapa Negara Amerika Latin, dan Brazil
salah satunya, meski Freire juga menganggap ini tidak benar-benar memberi
harapan ada perubahan yang signifikan atau ‘membebaskan’) dan ternyata, terjadi
suatu ekslusi sosial, dimana masyarakat, khususnya Petani yang tidak memiliki kemampuan
minimal baca-tulis, maka tidak boleh ikut berpartisipasi secara politik dan
tidak boleh menggunakan hak pilihnya. Disinilah Freire maju dan menerapkan
metode pendidikan dewasa ala Freire.
Freire
yang bekerja sebagai Kepala Cultural Extention
Service ditugaskan untuk memberantas buta huruf disana. Ini pelik, di
satu sisi, para Petani menghadapi persoalan teknis menyoal keaksaraan dasar, di
sisi lain, belum tentu kalaupun para Petani tersebut berhasil bisa
membaca-menulis, mereka juga akan paham politik. Maka yang perlu dilakukannya
adalah mau tidak mau, membuat Petani: MELEK AKSARA dan MELEK POLITIK.
Disinilah, saya kira, Freire menciptakan metode pendidikan orang dewasa dengan
pendekatan Critical Pedagogy nya. Bagaimana cara ia melakukannya selengkapnya
bisa dibaca dalam bukunya “PENDIDIKAN SEBAGAI PRAKTIK PEMBEBASAN” yang baru
diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1984. Hasilnya? Setelah menangani di
Brazil, ia sampai diminta untuk menangani persoalan “keaksaraan” di sejumlah
Negara Amerika Latin. Bukan main…
POTONGAN PEMIKIRAN FREIRE
Praxis
Cara
paling mudah untuk menterjemahkan model pedagogik kritis dari Freire adalah
pemahaman tentang Praxis. Seperti yang
sudah dikatakan tadi bahwa pendidikan itu adalah proses. Pendidikan haruslah
berangkat dari hasil refleksi dan tindakan. Kita bisa mempertanyakan,”untuk apa
saya harus mempelajari A kalau tidak ada fungsinya untuk saya? Dan dipaksakan
pula.”. Ini sering kejadian di sistem pendidikan kita. Sebagai contoh mudah,
pada pelajaran Mulok, siswa diajarkan untuk belajar bahasa asing sedangkan
bahasa lokal di lingkungannya tidak pernah dipelajari. Ini dimensi pengalaman yang tidak terakomodir dalam
banyak sistem pendidikan, termasuk di Indonesia.
Contoh
paling buruk dari sistem pendidikan tersebut kira-kira begini Misal: di kelas,
kita berbicara panjang lebar tentang kebersihan di salah satu mata pelajaran,
harus ini harus itu, dll, tetapi ketika siswa sampai di rumah ternyata siswa
tidak dapat mengaplikasikannya saat rumahnya banyak nyamuk, got-got bau dan
sampah di jalanan”. Mengapa demikian? Karena guru hanya mengajar, memberikan informasi
tanpa menyaring apakah hal tersebut benar-benar berguna untuk membantu anak
menyelesaikan problem kesehariannya.
Pendidikan
yang dapat membimbing siswa untuk merefleksikan kehidupan dan problem
kesehariannya, secara tidak langsung akan membimbing siswa pula ke dalam
tindakan yang tepat untuk mengatasi problem tersebut.
Tabel PRAXIS
Freire
memberikan gambaran bahwa individu akan terjebak dalam dua kondisi: VERBALISME
dan AKTIVISME. Verbalisme terjadi kala sesuatu hanya terhenti sebatas pada
kata-kata semata tanpa ada tindakan lebih lanjut (Ngomong doang kalau bahasa
kita, he he), sedangkan Aktivisme justru kebalikannya, orang hanya melakukan
sesuatu tanpa tujuan dan makna yang jelas, yah, lihat saja demo-demo yang
sering terjadi, saya tidak yakin dalam ratusan atau ribuan orang yang turun ke
jalan kalau satu per satu ditanya akan bisa menjelaskan detail apa sebenarnya
yang mereka sedang lakukan dan suarakan.
Conscientizacao
Ini
merupakan konsep yang tidak hanya dimiliki oleh Freire saja tetapi banyak tokoh
ilmuwan yang intinya adalah kesadaran dan penyadaran. Freire membagi tiga
kesadaran individu:
Kesadaran
Intransitif: Disini, Individu menganggap bahwa semua fakta
sosial dan seluruh kejadian historis yang terjadi dalam dirinya berasal dari
kekuatan supranatural, diterima begitu saja, apa adanya dan tanpa perlawanan.
Kesadaran
Transitif: Semi Intransitif dan Transitif Naif, kesadaran
individu dalam tahap ini sudah jauh lebih baik dalam memandang suatu persoalan.
Individu sudah mulai menganggap bahwa persoalan yang terjadi terhadap dirinya
merupakan diciptakan oleh sesam manusia juga. Namun meski demikian, pada tahap
kesadaran ini, Individu masih mengandalkan solusi dari orang lain untuk
memecahkan masalahnya, sebegitu sederhana dan mudahnya. Ia tidak bisa
menyelesaikan poblemnya dengan caranya sendiri.
Kesadaran
Kritis: Pada tahap ini, kesadaran individu sudahlah menjadi kritis dikarenakan
ia bisa lebih kritis, berani, dan radikal untuk membaca, menganalisis hingga
menemukan solusi pemecahan problem masalahnya sendiri. Ia memegang penuh
dirinya sendiri.
Hubungan
Kaum Tertindas-Penindas
Dalam
penjelasan Freire, ini yang mengerikan, tapi ya memang betul-betul terjadi.
Siapa saja yang menjadi sulit oleh sebuah sistem dapat dikatakan sebagai kaum
tertindas. Tanpa harus memandang pengkelasan seperti Marx. Contoh sederhana,
perempuan yang takut dengan pacarnya, siswa yang takut dengan gurunya, manajer
yang takut oleh atasannya, seolah-olah mereka yang ditakuti memiliki kekuatan
super power yang maha dahsyat. Pada saat orang merasakan hal yang demikian,
jadilah ia seorang kaum tertindas.
Yang
mengerikan adalah saat kita menyadari bahwa adanya keinginan dari Kaum Penindas
untuk terus mempertahanan status quo nya yang apalagi kalau bukan untuk
menindas orang lain. Dan keinginan yang terpendam dalam diri Kaum Tertindas
untuk mendapatan kekuasaan seperti kaum penindas untuk kemudian merasakan
nikmatnya menindas orang lain. Membuat orang lain tunduk kepadanya.
Sadisme
yang diidap oleh kedua kelompok ini digolongkan oleh Freire sebagai Necrophilic
(ia meminjam konsep ini dari Erich Fromm). Sedangkan kebalikannya disebut
dengan Biophilic, dimana keinginan untuk menumbuhkan rasa kemanusiaan, saling
membantu sesama dan beragam kebaikan lainnya yang intinya adalah MEMANUSIAKAN
MANUSIA.
Terima
Kasih telah membaca tulisan sederhana ini
Depok, 21 Oktober 2014
Depok, 21 Oktober 2014
Komentar
Posting Komentar