[Review] PENTAS TEATER KOMA: OPERA ULAR PUTIH




TEATER KOMA

OPERA ULAR PUTIH

BUMI HARUS BERSIH, LANGIT HARUS SUCI

Poster
Terpana

Kira-kira jam 19.10 pada Kamis malam tanggal 16 April 2105, Saya bersama teman saya, Dwi sampai di depan lobi tiket Graha Bhakti Budaya, TIM (Taman Ismail Marzuki). Saya lihat posternya yang besar itu “OPERA ULAR PUTIH”. Baru saja sampai, saya dihadapkan pada sebuah kecanggungan, maklum ini kali pertama Saya menonton sebuah pentas teater. Pertama, canggung karena sudah ada yang yang bertanya, “mas-mas tiketnya sudah ada belum? Sama saya saja”, calo rupanya. Kedua, di lobi tiket, ketika teman saya menukarkan tiketnya, saya sambil menunggu kebingungan juga karena betul-betul ramai sekali orang mengantri tiket, berkumpul bersama, ada yang baru datang keluar dari mobil pribadinya. Sungguh, rasanya kala itu persis seperti orang yang sedang mengantri gala premiere sebuah film Hollywood di bioskop. Tapi pertanyaannya dalam hati saya, “kok bisa ya? Acara teater seperti apa ini sebetulnya yang bisa mengundang banyak penonton yang kelihatannya sangat antusias?”.

Sambil menunggu pertunjukkan, lumayan lah bisa selfie-selfie terlebih dahulu. Oke, Lupakan.


Rasa keheranan saya terbawa sampai jam 19.25 ketika kami berdua masuk ke dalam ruangan pentas teater. Sesampainya duduk di kursi, belum habis heran saya, saya terpongah-pongah melihat seisi ruangan itu. Layar masih tertutup. Dua kelompok musik sudah berada rapi di stagenya masing-masing: Satu, persis di bawah depan stage. Kedua, tepat di sebelah kiri depan stage. Beruntung saya berada dekat dari kelompok musik kedua.

Penonton sudah mulai duduk tenang di kursinya masing-masing. Gong dibuka, layar digeser terbuka. Para lakon mulai masuk, Saya mulai terpana. “Oh.. Jadi ini Teater Koma?”. Takjub saya dibuatnya.

Menjadi Manusia

Dimulai dari sebuah dua percakapan penting di waktu yang berbeda yang dapat mengantarkan kita pada sebuah benang merah. Bergerak di antara cerita klasik sastra lisan khas Cina di Indonesia dan sebuah kritik sosial politik.


Kokiyong, Likonghu dan HanBun

Di Bumi, dimulai dari percakapan Kokiyong (Daisy Lantang) dan Suaminya Likonghu (Dorias Pribadi) mengenai ‘kegalauan’ nya terhadap nasib percintaan adiknya, Han Bun (Ade Firman Hakim) yang tak kunjung mendapat istri. Han Bun merupakan seorang bujang laki-laki yang memiliki sifat baik (juga lugu) dan bekerja di sebuah toko obat. Ia sebetulnya memiliki perenungan akan calon istrinya kelak. Bukan hanya galau tentang siapa, tetapi juga bagaimana cara menikahinya, sedangkan ia hidup tergolong sebagai manusia yang tak punya. Sebagai rakyat. Ya, hanya seorang karyawan toko obat yang penghasilannya tak seberapa. Tak patah arang, Ia tetap menenangkan hati kakaknya dan pamit untuk pergi ke sebuah sungai atau telaga. Setting kemudian berganti.

***

Di Langit, di antara awan-awan, Siluman Ular Putih dan Siluman Ular Hijau juga bercengkrama. Ular Hijau (Andhini Puteri) bingung kepada keinginan sang Kakak, Ular Putih (Tuti Hartati) yang sangat ingin menjadi seorang manusia. Padahal, manusia itu dalam pandangan Ular Hijau, tidak bebas, hidupnya bisa sangat complicated bahkan cenderung lebih sering susah daripada senang. 

Ular Putih memang tidak sepenuhnya tidak setuju dengan argumentasi Adiknya, tetapi Ular Putih tetap merasa bahwa meskipun agaknya akan rumit sekali menjadi seorang manusia, jauh lebih baik dari seorang siluman. Entah pertarungan psikologis semacam apa yang membuat Ular Putih gundah gulana tentang termin status “Siluman”, entah karena hanya sekedar kebosanan atas kehidupannya yang dirasa monoton atau memang ada yang salah dengan status “Siluman”, mungkin seperti label negatif tentang suatu sebagai suatu entitas diri. 

Yang pasti, yang saya tangkap, ada satu alasan kuat mengapa Ular Putih ingin menjadi manusia yaitu karena dirinya ingin melakukan balas budi kepada seorang manusia atas pertolongannya suatu waktu. Kebetulan, orang itu adalah Han Bun. Pada akhirnya, toh Ular Putih menjadi manusia, begitu pun Ular Hijau meski ia tidak pernah setuju dengannya, tapi memang harus mau tidak mau, ia merasa bahwa ini adalah “takdir ku” atau “karma ku”. Singkat cerita, sampailah mereka di bumi manusia.

Perjalanan: Masih siluman, manusia dan bertemu HanBun
Di bumi manusia, mereka berganti nama. Siluman Ular Putih bernama Petinio, panggilannya Tinio. Adiknya, Siluman Ular Hijau bernama Siocing.

Cerita kemudian berlanjut kepada pernikahan Tinio dengan HanBun sebagai rasa balas budinya. Siocing tetap tidak bisa menolak meski ia sekali lagi tak setuju. Tinio bersikeras tetap ingin menikah kepada HanBun. Beragam cara sampai akhirnya berhasil lah Tinio menjadi Istri dari HanBun. 

Konflik cerita justru mulai berkembang setelah pernikahan. HanBun dua kali ditipu, lebih tepatnya dibingungkan oleh seorang perawal Gowi (Andi Prasetyo) dan ketiga prajuritnya setianya Ameng (Perdana Hassan/Julung Zulfi), Aheng (Aris Abdullah) dan Aseng (Sir Ilham Jambak) yang mengatakan bahwa Istri nya adalah seorang siluman. 

Konflik semakin memuncak karena tak terima dihina sebagai pembohong, Peramal Gowi menceritakan kisahnya kepada Bahai (Rangga Riantiarno) dan kemudian berupaya keras untuk  menyingkirkan bumi dari siluman karena dianggap meresahkan. Jelas nyawa Tinio dan Siocing terancam. Berkali-kali keduanya menantang maut untuk mempertahankan identitasnya sebagai manusia. Berkali-kali pula Tinio berkorban tidak hanya untuk HanBun tetapi juga untuk keselamatan Siocing itu sendiri.

Bagaimana detail susahnya nasib Tinio dan Siocing ketika menjalani kehidupan sebagai manusia? Bagaimana cara Tinio menyelesaikan konflik yang semakin kompleks itu? Dan yang terpenting, bagaimana akhir kisah dari kisah Tinio itu sendiri? Silahkan nikmati suguhan yang sangat menarik ini di Graha Bhakti Budaya, TIM Jakarta.

Jatuh Hati

Ya, Saya jatuh hati terhadap Teater. Sungguh. Saya paham sekarang mengapa banyak penonton berdatangan malam-malam dengan sangat antusias malam itu. Bagaimana tidak? totalitas yang disuguhkan oleh bukan perkara satu atau dua orang, tetapi SELURUH para pelaku lakon di Opera Ular Putih ini. Yang membuat saya sangat takjub adalah konsistensi karakter yang dibawa oleh masing-masing tokoh. Konsistensi ini secara teknis yang saya paling takjub adalah MIMIK dan PELAFALAN kata.

Kiri bersama Siocing, Kanan bersama Tinio
Ular Putih atau Tinio yang bersuara sangat lembut, baik tutur katanya namun juga sakti. Saya jujur saja salut dengan mbak Tuti dengan suksesnya cocok memerankan peran ini. Ular Hijau, tokoh favorit saya yang bersuara menurut saya sangat KHAS dengan segala sifatnya yang boleh dibilang toh setia dengan kakaknya. Tindak tanduknya banyak mengundang gelak tawa.

Budi Ros sebagai Dalang
Ditambah lagi yang paling dan hampir selalu mengundang ketawa ngakak justru Budi Ros yang sangat keren untuk memerankan dua tokoh: Dewa Wufu dan Dalang. Tidak perlu ditanya, hampir seluruh ruangan tertawa sekencang-kencangnya di setiap adegan ketika ia menjadi Dalang. Malah kalau Saya ingat kembali, yang menarik justru karakter Dewa Wufu yang selalu dapat mencairkan suasana dalam setiap scene adegan yang cukup dramatis, seperti misalnya ketika posisi Tinio tersudutkan oleh Dewi Bangau (Monica Rosalina) dan dewi-dewi yang lain. Juga ketika Tinio tersudut ketika melawan Bahai. Lihatlah sendiri aksi kocaknya. Tak ayal apabila di akhir pementasan, ia mendapatkan tepuk tangan yang betul-betul meriah.

Tinio bercerita dengan Wufu dan Dewi Bangau
Yang paling unpredictable adalah soal waktu. Kalau dihitung-hitung, kurang lebih pementasan ini dilakukan selama 4 jam (19.30-23.30). Beruntung pentas diistirahatkan selama 15 menit, jadi baik para pemain lakon maupun penonton memiliki waktu untuk sedikit menghilangkan lelah.

Rakyat Melata
Oh ya, Kritik sosial dan politik secara tegas justru terlihat dari beragam sindiran lewat lagu yang beberapa kali dinyanyikan oleh kelompok lakon Rakyat berjudul “Nyanyian Kaum Melata”, salah satu liriknya;

Beri kami nasi
Jangan beri kami tai
Beri kami matahari
Jangan beri janji-janji
 ...
Kita tahu persis sejarah Indonesia berdiri di atas “komando-komando” perintah. Yang memipin yang memerintah, yang dipimpin yang diperintah. Segala bentuk kepatuhan harus dipatuhi, yang tak patuh harus diadili. Label-label negatif sosial bertebaran dimana-mana, asal jeplak, asal tuduh, asal klaim. Padahal hanya melihat permukaan realita. 

Hukum-hukum dan norma-norma di bawah kaki Dewa menihilkan kebaikan atas nama kesalahan. Indonesia hari ini mengandung pesimistis semacam itu. Opera Ular Putih ini, merefleksikan kompleksitas semacam itu.

Selamat untuk N. Riantiarno yang jeli dan tajam melihat hal itu, kritik sosial-politik ini jelas tersampaikan.

Manusia memang sebuah teka-teki yang mencari kata seorang Filsuf Indonesia kesukaan saya, Romo Setyo Wibowo. Manusia yang kompleks di Malam yang Spektakuler.

*** 

Saya pulang jam 12 malam dan sampai rumah jam 1 malam. Sedikit mengantuk. Tapi saya berjanji dalam diri, produksi setelah ini, saya akan datang menonton lagi.

Komentar

  1. Ular Putih ini ceritanya yang pernah di SCTV dulu ngga ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmm sepertinya iya deh. Pernah diputar di beberapa stasiun TV pula. Toh, meski begitu, cerita legenda klasik ini memang sudah berkembang dari sejak 1910an ke atas. Maklum kalau masyarakat Indonesia jadi sering mudah mengingat cerita ini ya :)

      Hapus
    2. Oh gitu.. Tapi aku uda banyak lupa ceritanya.. Hahah :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer