SIAPA ITU GURU ?

SIAPA ITU GURU ?
Oleh
M. Luthfi Ersa. F

Pertanyaanku
Apakah definisi Guru di Indonesia?
Apakah Guru merupakan sebuah profesi?
Guru itu tenaga pengajar atau tenaga pendidik?
Ataukah guru itu sekedar polisi moral?
Benarkah Guru itu sebuah nama profesi?
Hmm...
Apakah Guru hanya untuk level Playgroup-SMA saja?
Apakah Guru itu hanya ada di sekolah?
Apakah Guru sama dan setara dengan sebutan Dosen?
Apakah seorang Dosen merupakan seorang Guru?
Ibu dan Ayah, Guru bukan sih?
Tukang sapu jalanan, termasuk Guru juga kah?
Pelukis itu, juga Guru bukan yah?
Siapa saja kah subjek yang dapat dikategorikan sebagai guru di Indonesia?

Kontra Definisi
Saya Luthfi. Umur saya 23 tahun. Saya guru. Guru bidang studi Sosiologi di sebuah SMA. Saya lulusan kampus yang katanya pencetak “Guru”. Di kampus, saya dididik untuk terus berpikir, bernalar sosiologis dalam jangka waktu yang lumayan, 4,5 tahun keseluruhan.
Yang menarik, saya juga disosialisasikan untuk bermoral dan berdandan layaknya seorang guru juga. Berpakaian rapi, kalau bisa batik supaya “Indonesia banget”, diusahakan selalu memakai celana bahan dan sepatu pantofel hitam, dan tak lupa mengucapkan kata-kata yang santun dan baik (moralis betul lah). Saya juga diberikan kesempatan magang selama 1 semester di sebuah sekolah untuk semakin memantapkan sosialisasi diri seorang “Guru”. Maka, sampai di sini, dalam Front Stage saya, boleh lah saya juga dikatakan sebagai guru.
Nah, saya mulai ragu. Jadi ada dua identitas akademik yang kini melekat dalam subjektivitas kedirian saya: Sosiolog dan Guru. Di satu sisi, sebagai seorang Sosiolog, saya tidak terlalu banyak melakukan penelitian selayaknya “Sosiolog”. Sisi lain, sebagai seorang Guru, saya cukup sering membaca, menulis kajian teks akademis populer dan mengikuti diskusi akademik di kampus-kampus (bahkan suka cabut diam-diam dari sekolah supaya bisa ikut diskusi tersebut), suatu fenomena yang juga tak layak dan banyak dilakukan oleh seorang “Guru”. Ditambah, Saya sekarang juga mengajar di sekolah. Lengkap kan? Belum kalau ditambah ikut-ikutan latah mau sertifikasi lah, ikut UKG (Ujian Kompetensi Guru) lah, dsb.
Kenapa saya sulit mengkategorikan diri saya sendiri menjadi dalam pembicaraan ini? Karena, secara garis besar saya sedikit jengah dengan cara pendefinisian seorang guru antara dua pilihan ekstrem: Definisi TEKNIS yang tertera di dalam lembaran Sisdiknas dan Definisi MORALIS, bahwa guru adalah seorang pendidik moral, meneladani hakekat nilai-nilai ketimuran, menanamkan nilai-nilai agamis tapi sering lupa menanamkan nilai humanis dan sering lupa mengajak berpikir logis.

Terus Menjadi
Jujur saja, saya memiliki rumusan sendiri tentang kedua identitas yang terlalu dikotomis itu. Saya menganggap bahwa diri saya tak lebih dari sekedar,
“Anak muda yang menyukai, ingin berbagi pengetahuan, berpikir sekaligus belajar tentang sosiologi bersama teman-teman”.
Panjang ya, tidak simple ya? Biar lah.
Ruang sosial lah yang pada akhirnya memberikan banyak teman. Nah, definisi teman ini pun saya tidak ingin menjebak diri saya dalam definisi sempit dan dikotomis lagi. Saya punya banyak “teman”.
Saya akan khususkan pembicaraan ini di ruang sekolah sebagai public space.
Saya dan Sebuah Pertanyaan, "Bisa kah?"
Di sekolah, biarpun status sosial dibagi atas dasar definisi “Guru” dan “Murid”, tidak menghindarkan diri dan pikiran  saya bahwa “Murid” adalah identitas yang-“tidak Tahu-Menahu”. Karena, kalau begitu, saya pun identitas yang-“Tidak Tahu-Menahu” pula.
Jelas, bagi saya, Murid adalah teman berpikir saya. Sedangkan Saya adalah teman berpikir mereka. Hanya dengan cara itu lalu lintas pikiran di dalam kelas dapat hidup. Hanya dengan cara itu kelas menjadi ruang paling demokratis.
Ruang di mana Guru dan Murid sebagai seorang teman saling bertukar pikiran, wawasan, pikiran. Ruang di mana Guru dan Murid bisa saling berdiskusi dengan cara (kalau kata pak Rocky Gerung) Forcing With The Better Argument sehingga setiap kata yang diucapkan bisa dipertanggungjawabkan. Ruang di mana terjadi production of knowledge. Tidak ada rasa takut salah. Tidak ada rasa paling benar, paling pintar, paling hebat.
Yang pasti, Saya belumlah menjadi seorang guru.
Saya hanyalah subyek diri yang terus bertumbuh, berkembang, dan menjadi…
Seorang Guru. Seorang Teman.

"Pendidikan adalah Harapan", kata Paulo Freire

Salam,
Luthfi Ersa
Bumi Depok yang belakangan sering hujan
25 November 2015

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer