Narasi Tentang Yang Berharap
Narasi Tentang Yang Berharap
Ia
dorong barang dagangannya dari depan. Ia paksa kedua pundaknya menarik barang
yang tidak sejenis itu. Tidakpun satu, minimal 30 benda terbuat dari plastik
berbentuk alat-alat rumah tangga. Ia mulai entah dari pukul berapa. Ia berjalan
dengan sandal lusuh, selusuh-lusuhnya. Bukan karena sengaja namun memang karena
itu adanya. Diantara peluh-peluh keringat menetes yang kita tidak tidak pernah
tahu seberapa banyak. Berjalan menyusuri gang-gang sempit hingga berjalan,
berpacu dengan kecepatan kendaraan yang tak sebanding dengan derap langkah
kakinya di pelipir jalan.
Setidaknya
kita akan sama-sama tahu harapan terdekatnya, semoga banyak yang memanggilnya
untuk menepi, melihat-lihat dan membeli. Sebisa mungkin tanpa tawar-menawar.
Sedikit-dikitnya menjual sesuai harga yang dipatok dari awal. Tiada terbesit
untuk menjual lebih tinggi hanya untuk mendapat untung yang tak seberapa. Tapi
mau tak mau memang harus menyiapkan diri untuk saling berdebat, mempertahankan
harga, menunjukkan bahwa dagangannya tahan lama. Meski sedang menahan dahaga.
Namun
itu masih dipikiran kita. Pikiran tentang harapan terdekatnya. Realitanya, ia
tetap berjalan. Tidak hanya pundak yang ia gunakan tapi seluruhnya, seluruh
indra yang diberikan Tuhan kepadanya, ia manfaatkan sebaik-baiknya. Setidaknya
pundak yang menarik, leher kepala yang kerap menoleh ke kanan-kiri, kaki yang
terus menjejaki aspal menyajikan opera bertema kegigihan.
Umurnya
mungkin baru berkisar 19 hingga 20 tahun. Kulitnya tidak legam alami seperti
orang dari ras Negroid. Ia menghitam akibat sinar matahari yang tidak bisa ia
tutupi karena tiada jaket atau kaos lengan panjang yang menutupi sepanjang
tangannya. Bajunya yang berwarna kuning membuat ia selaras dengan kaos lusuhnya
itu, berdebu, dekil, tidak ada yang tahu kapan ia mencucinya dan berapa kali ia
cuci. Ia nampak kurus kering karena berapa lahap nasi yang ia santap tergantung
berapa barang yang ia jual, dalam pikiranku.
Tatapan
matanya, aku hanya bisa menafsir dari yang terlihat, menyiratkan dua makna.
Kekosongan dan harapan. Tidak perlu ku ulang tentang sinar harapan dalam
matanya. Sinar matanya berada diantara kekosongan dan harapan itu sendiri.
Kekosongan itu seperti ia sampaikan dengan hanya berjalan, melihat ke depan
tanpa menoleh. Kekosongan itu juga nampak ketika ia hanya berjalan tanpa
bersuara, mungkin ia sedang letih, mungkin sedang menahan dahaga. Namun juga mungkin
lapar karena belum makan sedari pagi.
Sesekali
melihat ada anak-anak kecil makan sepotong Red
Velvet Cake, sesekali melihat
remaja seumurannya membawa coke
ditangan kanannya dan gadget terbaru
yang sering ia lihat iklannya di tv 14” nya itu. Ia menjadi melankolis, ia
serba salah, tapi ingin sekali rasanya makan makanan enak itu. Ingin sekali
rasanya menekan tombol di layar kecil itu. Satu-dua menit ia meningkatkan harapannya.
Satu menit berikutnya, ia sadar akan realitasnya. Ia kembali berjalan, kembali
menyusur mengharap dagangannya ada yang membeli.
Tidak
mudah menjual barang-barang alat rumah tangga. Pertama, rata-rata setiap rumah
sudah memilikinya. Kedua, alat rumah tangga jarang rusak, perlu waktu lama
untuk menunggu barang plastik seharga kurang dari lima puluh ribu itu rusak.
Disini, kita bisa tarik lagi kesimpulan bahwa ia sedang menjual barang yang
hanya bisa dibeli dalam waktu temporal. Bukan seperti makanan yang memang
setiap hari, bahkan setiap jam bisa dibeli. Sedangkan ia harus berkelana
menembus ketidakpastian-ketidakpastian itu setiap hari.
Rasa
menjadi barang yang jadi yang terus diolah, digubah dalam nuraninya. Menjadi
penyangga atas emosi psikologisnya yang tak menentu. Minimal membuat kepalanya
tegak berdiri untuk melihat jalan, melihat pundi-pundi rezekinya dari
rumah-rumah sekitar.
Dalam
nalar otaknya, rasa malu, sedih, tersiksa, letih, haus dan lapar ia jadikan
ingatan agar ketika suatu saat ia berjalan memegang gadget di tangan kiri nya sambil memakan red velvet di tangan kanan nya, ia tidak lupa bahwa pundaknya
pernah menarik barang dagangan. Juga tak lupa bahwa leher dan kepalanya pernah
menoleh ke kanan dan ke kiri melihat kesempatan dimana ia dapat mendapat rezeki
agar hari itu ia tetap bisa menyuap nasi.
………….
Ia
tetap berjalan. Namun kali ini ia menepi ke sebuah rumah.
Ada
seorang wanita dikuncir rambutnya berjalan melihat-lihat dagangannya.
Entah,
mungkin kali ini hanya sebatas tawaran atau lembar uang ribuan, aku tak lagi
menoleh. Tidak ingin tahu kelanjutan akhirnya, semoga ia dapatkan yang terbaik.
Komentar
Posting Komentar