We are Still Finding Our Citizenship
We are Still Finding Our Citizenship
“Self
is a Project”
–Anthonny
Giddens-
Beberapa
waktu lalu saya datang ke diskusi politik kewarganegaraan dengan tema “Kaum
Muda dan Masa Depan Politik Indonesia” yang diadakan oleh HMS Sosiologi UI.
Acara ini menarik karena kita berdiskusi dalam satu tema dan sekaligus membedah
buku “Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx Sampai Agamben” yang
ditulis oleh Robertus Robet dan Hendrik Boli Tobi. Diskusi dengan pembicara
utama Ganda Upaya dan Robertus Robet membuat diskusi cukup asyik mengawal
pemahaman peserta tentang apa itu kewarganegaraan.
![]() |
Sumber Cover: HMS Sosio UI |
Sepanjang
diskusi saya merefleksikan isi buku yang sudah saya baca melalui pemaparan dari
Bung Robert dan Bung Ganda. Kebetulan sebelum diskusi ini saya memang sudah
membaca terlebih dahulu beberapa bab dan jujur memang belum selesai semua. Pada
awalnya saya kurang tertarik dengan isu kewarganegaraan, dan sejujurnya saya
tidak paham apa-apa mengenai kewarganegaraan karena bagi saya hal ini merupakan
hal yang taken for granted semata.
Sampai pada akhirnya saya sadar bahwa sifat taken
for granted itu menjadi masalah tatkala berhadapan dengan realitas yang
menimpa kelompok-kelompok minoritas pada era kekinian.
![]() | |||
Cover Buku |
Buku
setebal 219 halaman ini akan mengantarkan kita untuk memahami perihal
Kewarganegaraan yang lebih tepat dilihat secara teoritis karena buku ini
menyajikan pemikiran-pemikiran tokoh seperti Marx, Weber, T.H Marshall,
Foucoult serta Agamben yang difokuskan dalam koridor pandangannya mengenai
Kewarganegaraan. Juga mengupas bagaimana pandangan kaum Liberal, Republikan dan
Multikulturalisme memandang Kewarganegaraan. Bagi saya yang teramat awam, bab 1
memegang peranan penting yang akan menjadi pegangan kita untuk memahami bab-bab
selanjutnya.
Sebagai
Pendahuluan, bab 1 mengupas dengan pas dan tidak bertele-tele mengenai
pertanyaan, mengapa penting untuk membahas kewarganegaraan di era ini.
Setidak-tidaknya bab 1 ini memberikan gambaran tentang tiga arena
kewarganegaraan dan tipologi kewarganegaraan. Pembaca akan sama-sama menyadari
bahwa Kewarganegaraan itu bisa berangkat dari bawah (berpijak dari masyarakat)
seperti Perancis, Amerika dan juga atas (berpijak dari Negara) seperti Inggris,
Jerman
Bung
Robert memaparkan bahwa kajian tentang Kewarganegaraan mulai bangkit pada tahun-tahun
90-an awal yang ditandai oleh pecahnya Uni Soviet ke dalam beberapa Negara
bagian yang mana keterpecahan itulah yang kemudian membuat warga-warga Negara
bagian seperti Uzbekistan, Kazakshtan, dll mulai berfikir “siapa saya?”,
“dimana posisi ‘kekitaan’ kita sebagai warga Negara?”. Itu baru sepanjang tahun
90an yang memang bisa dimaklumi pertanyaan mengenai ‘posisi identitas
kewaganegaraan’ itu masih kuat. Bila dikontekskan di Indonesia, mengingat
kasus-kasus tentang Ahmadiyah, LGBT dan para kaum Minoritas lainnya, muncul
pertanyaan lain, “Siapa warga Negara yang baik dan yang buruk?”. Pertanyaan
sepele ini menunjukan bahwa ada intervensi kuat atau ada upaya objektivikasi
(meminjam istilah Foucoult) menyoal identitas Kewarganegaraan oleh Negara
kepada warga. Peliknya, kondisi yang demikian kiranya ‘memaksa’ individu untuk
memikirkan ulang seperti apa yang dipertanyakan oleh warga Uzbekistan pada
tahun 90an.
Setelah
bab 1, bisa dibilang pembacaan akan lebih luwes karena setelahnya adalah
pemaparan-pemaparan para tokoh. Setiap tokoh memiliki gagasan-gagasannya
tersendiri mengenai Kewarganegaraan. Seperti misalnya Foucoult yang juga diakui
oleh penulis didalam buku sebenarnya tidak membicarakan tentang Kewarganegaraan
tetapi dari ragam teorinya mengenai Objektivasi-Subjektivasi kita bisa
menganalisis dalam sudut yang paling mikro tentang identitas kewarganegaraan
Individu (dan juga bagi diri kita sendiri)
“…Foucoult
memang tidak secara khusus dan spesifik bicara soal kewarganegaraan atau
mengenai siapa itu warganegara. Namun demikian, melalui konsep-konsep yang
disediakannya, ia telah membantu kita untuk memahami berbagai mekanisme,
prosedur, dan relasi yang membentuk dan mengkonstitusi subjek.” (hal. 163-164)
Di
dalam buku ini, yang juga disampaikan oleh Bung Robert dalam diskusi,
menawarkan cara pandang baru mengenai Kewarganegaraan dari sudut pandang
Republikan. Sejauh dari yang berhasil saya tangkap, politik republikan mengenai
kewarganegaraan menolak gagasan-gagasan metafisik/abstrak seperti yang digagas
oleh para kaum Liberal bahwa warga Negara adalah ini dan itu, juga untuk
menjadi warga Negara yang baik harus begini dan begitu. Politik kewarganegaraan
oleh kaum Republikan lebih menekankan kepada aksi, kepada tindakan untuk
merumuskan “bagaimana dan apa itu Indonesia?, ”siapa itu warga negara
Indonesia?”.
Tentu
pada awalnya saya berfikir berbahaya dan kontradiktif sekali kalau mengadopsi
gagasan kaum Republikan di Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang membuat saya
khawatir (dan kebetulan pada sesi tanya-jawab saya tanyakan kepada para
pembicara), pertama, memang ada tiang identitas kewarganegaraan yang memang
sudah ditancapkan oleh para founding
father kita melalui Pancasila pada tahun 1945. Selain juga karena
sepertinya gagasan ini akan mendistorsikan hubungan State (Negara) dengan
Citizen (warga). Selain itu, rasa-rasanya kok untuk mencapai kewarganegaraan
ideal di Indonesia dengan cara ini akan lama sekali dan rentan sekali konflik
mengingat kita terdiri dari beragam suku, ras, agama. Terlebih pada orang-orang
yang lebih senang bekerja di luar negeri dan memiliki kasus-kasus hukum yang
terkait dengan Negara. Namun, baik Bung Robert maupun Bung Ganda sama-sama
memiliki jawaban yang dapat memberi harapan atas kekhawatiran ini.
Bung
Ganda melihat dari sisi patriotisme yang sulit lepas, bahkan hilang dalam diri
Individu terhadap Negara. Kalaupun kita melihat ada tindakan yang “menyeleweng”
terhadap Negara, tidak lebih itu adalah Civic
Obedience saja, dan memang ada kalanya harus dilakukan untuk mengkritisi Negara!
Sedangkan kalau menyoal profesi keahlian, itu urusan lain, memang itu pilihan
profesi bukan sekedar persoalan kewarganegaraan. Setidaknya hal itu menunjukkan
bahwa Negara tidak mampu untuk memenuhi perangkat kerja professional terhadap
para pekerja ahli. Tapi sekali lagi, unsur patriotisme individu tidak akan
menghilangkan rasa cintanya terhadap Negara. Pun, Negara juga tidak akan
‘hilang’ begitu saja alih-alih individu merumuskan tentang gagasan apa itu
Indonesia dan siapa manusia Indonesia itu.
“(Machiavelli
dalam Discorsi-Ed) mengatakan bahwa
rasa cinta tanah air adalah sebuah kekuatan moral yang mendorong setiap warga
mengejar pencapaian kebaikan bersama. Dengan demikian, sebagaimana kebanyakan
republikan, Machiavelli senantiasa menganggap bahwa cinta tanah air atau
patriotisme adalah hasrat untuk mendahulukan kebaikan bersama ketimbang
kepentingan privat. Ia juga sering menempatkan cinta tanah air sebagai lawan
bagi tirani. Pikiran inilah yang mendasari salah satu kualitas terpenting dari
ideal kewargaan republikanisme.” (hal. 144-145)
Bung
Robert pun juga melengkapi jawaban dengan mengungkapkan bahwa sesungguhnya
tidak kontradiktif bila mempertanyakan hubungan Negara dengan Warga. Karena
keduanya saling membutuhkan, suka tidak suka. Contohnya adalah silahkan bayangkan
banyak orang butuh KTP untuk tidak hanya diakui sebagai warga Negara, tetapi
juga untuk mendapat kartu kesehatan untuk melegitimasi bahwa dirinya ‘miskin’
agar murah membayar biaya pengobatan Rumah Sakit (padahal bisa jadi ia tidak
benar-benar miskin). Lagi, menyoal pembentukan identitas ia mengutip Giddens
dalam era saat ini bahwa self is project.
Memang sekarang adalah saat dimana para kaum minoritas lainnya harus dan juga
kita harus susah payah untuk terus menerus mencari, mencari, mencari posisi dan
terus menerus membentuk kedirian mereka dalam posisi ‘kekitaan’ sebagai warga
Negara, khususnya Indonesia.
Dari
kedua jawaban yang bernalar sosiologis ini, saya menangkap memang pada dasarnya
kita tidak bisa memilih sekedar agen atau struktur. Keduanya saling berhubungan
dan saling mempengaruhi. Juga unsur patriotik individu juga sulit mengkhianati
jati diri dan nurani nya sebagai warga Negara atas suatu Negara. Pun ketika
saya berfikir ulang mengenai gagasan Republikan yang ditawarkan oleh Bung
Robert dalam buku ini, saya merasa ada tantangan yang memang sudah seyogiyanya
dilalui karena diantara konstetasi gagasan yang dirumuskan mengenai Indonesia,
kita akan belajar. Belajar bagaimana caranya menerima pendapat orang lain,
keyakinan orang lain, gagasan orang lain.
Pada
akhirnya, buku ini memang layak untuk dibaca, diperbincangkan, direfleksikan
dan juga dipraktikkan dalam kehidupan kita sebagai warga Negara. Terlepas dari
‘porsi’nya yang bisa dibilang tidak terlalu banyak dalam setiap penjelasan para
tokohnya yang menyebabkan pembaca awam seperti saya ini butuh banyak penjelasan
dari ‘otak’ masing-masing tokoh. Tapi saya rasa itu bukan kendala penting
karena buku ini sukses melaksanakan tugasnya sesuai dengan judulnya, yakni
“Pengantar” yang memang bertugas untuk mengenalkan, mengantarkan pemahaman kita
kepada materi yang dibahas dalam buku.
- Judul Buku : Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan Dari Marx sampai Agamben
- Penulis : Robertus Robert dan Hendrik Boli Tobi
- Penerbit : Marjin Kiri
- Tebal Hal : 219 Halaman
- Tahun : 2014
- ISBN : 978-979-1260-32-9
Komentar
Posting Komentar