Wisata Sejarah Bersama Komunitas Bambu "Peristiwa Rengasdengklok"
16 Agustus 1945: Mempercepat atau
Memperlambat Kemerdekaan?
Menyimpul Tanggal dan Sejarah
16
Agustus 1945 dan 16 Agustus 2014, dua-duanya sama tanggalnya, namun berbeda
jauh kondisinya, ceritanya, penghayatannya. Siapa yang menyangka bahwa seharian
pada tanggal 16 Agustus 2014 akan menjadi pelontar kemerdekaan Indonesia? Tak
ada yang akan menyangka satu pun. Jelas ini cerita mengenai sejarah Indonesia.
Dalam waktu 1x24 Jam Indonesia menuju kemerdekaannya dari belenggu kolonial.
Cita-cita tak hanya segelintir orang, tetapi seluruh bangsa Indonesia. Lantas,
bagaimana dengan tanggal 16 Agustus 1945? Ini titik simpulnya.
Pada
tanggal 16 Agustus 2014 kemarin, Komunitas Bambu mengadakan acara Wisata
Sejarah dengan tema Peristiwa Rengasdengklok: Penculikan Soekarno-Hatta. Saya
termasuk salah seorang pesertanya. Sekitar pukul 7 pagi berkumpul di Tugu
Proklamasi. Sesungguhnya, Tim dari Komunitas Bambu, JJ Rizal&Giat Wahyudi
tak hanya memberi suguhan acara wisata sedangkal “jalan-jalan” atau “study
tour”, tetapi sebetulnya mempertanyakan hal yang cukup penting disini, “Peristiwa Rengasdengklok oleh para Golongan
Muda ini sebetulnya mempercepat/memperlambat kemerdekaan?”. Jelas bagi
orang awam maupun tak peduli akan sejarah bangsa, tidak akan mempersoalkan ini.
Komunitas Bambu mengadakan acara ini untuk mengajak peserta “hadir” kembali ke
tanggal 16 Agustus 1945 untuk kemudian menyimpulkan jawaban atas pertanyaan
kritis tersebut.
Menyenangkannya,
saya datang sendiri diantar ayah dan tak mengenal siapapun pagi itu namun
pulangnya justru mendapat banyak teman-teman baru. Luar biasanya, para
pesertanya bukan hanya orang yang biasa berkecimpung dalam dunia histori,
tetapi mereka-mereka yang berasal dari SMA (penjurusan IPA), Jurusan Kedokteran
Gigi dan Jurusan Arsitek, Fisika dan dari IKJ. Menarik!! Ada pula Guru,
Wartawan, dll. Berapa totalnya saya tak menghitung, mungkin belasan. Tapi yang
pasti mereka memang berhasil “hadir” di tanggal 16 Agustus 1945 di tahun 2014.
Story VS History
Nah,
awal pembukaan di Tugu Proklamasi bang JJ Rizal memberikan pengantar dan Giat
Wahyudi (selanjutnya disebut pak Giat) menjelaskan hal sepele namun penting. Perjalanan
Wisata Sejarah ini akan ditarik mundur ceritanya: dari Rumah Laksamana Maeda ke
Rengasdengklok. Setidaknya ada tiga tugu yang ada di kawasan Tugu Proklamasi.
Tugu
Soetta ini ternyata bukanlah tempat berdiri pembacaan naskah proklamasi pada
tahun ’45. Ini hanya sebagai tanda penghormatan simbolis saja. Namun, masih
banyak yang mengira bahwa memang disitulah Soekarno membacakan teks proklamasi.
Disini pak Giat memberikan pertanyaan, “dimana sesungguhnya Soetta berdiri?”
ini tak ada dokumentasi yang jelas karena memang terdokumentasikan pada tahun
45.
Saya
lupa ini apa namanya, yang pasti lambang listrik seperti lambang PLN itu pada
awalnya berwarna merah. Lalu di sekitar kawasan Tugu Proklamasi terdapat pohon
Bungur (entah penulisannya benar atau tidak, tolong dikoreksi) namun sekarang
sudah tak ada. Secara tidak langsung menghapuskan unsur Estetika dari situs
sejarah ini.
Nah,
kalau tugu ini merupakan tugu penghormatan proklamasi yang dibuat atas nama ibu-ibu. Mengapa kok
Ibu-ibu? Karena pada saat itu, banyak ibu-ibu hadir untuk mendengarkan
pembacaan teks proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno.
Dari
penuturan bang JJ Rizal dan pak Giat, sebetulnya banyak sekali
kejanggalan-kejanggalan penjelasan sejarah yang berkembang di masyarakat luas
dan sayangnya ditelan mentah-mentah juga oleh siswa yang belajar sejarah di
Sekolah. Selalu yang berkembang adalah ‘dongeng’ atau sekedar cerita, bukan
historisnya. Cilaka! (kalo kata bang JJ Rizal)
Teks Proklamasi
Berikutnya
perjalanan menuju ke Rumah Laksamana Maeda yang saat ini mejadi Museum
Perumusan Naskah Proklamasi.
Pak Giat en Bang JJ Rizal sibuk ngejelasin |
Rumah ini, jujur saja, bisa dikatakan besar dan
luas sekali bila dibandingkan perumnas-perumnas/rumah-rumah kekinian. Rumah ini
dulunya dibuat oleh arsitektur Belanda bernama J.F.L Blakenberg pada tahun
1920-an. Sejak masa pendudukan Jepang, rumah ini ditempati oleh Laksamana
Maeda. Disinilah naskah teks yang dirumuskan, disetujui dan kemudian diketik
oleh Sayuti Melik dan pada akhirnya ditandatangin oleh Soekarno-Hatta.
Ruang Pengetikan Naskah Teks Proklamasi |
Ada
yang menarik disini bahwa sebetulnya naskah proklamasi itu dibagi dua: Naskah
Konsep dan Naskah Teks. Ada keinginan bahwa naskah ini bukan hanya atas nama
wakil-wakil bangsa Indonesia tetapi atas nama seluruh bangsa Indonesia.
Naskah Konsep Proklamasi |
Konsep
naskah ini terdapat tiga perubahan kata. Pertama, “Tempoh” menjadi “Tempo”.
Kedua, ”Wakil-wakil bangsa Indonesia” menjadi “Atas nama bangsa Indonesia”.
Ketiga, penulisan hari, bulan dan tahun.
Naskah Teks Proklamasi |
Sisi-sisi
ruangan ini sangatlah menarik. Kesan klasiknya masih terasa hingga sekarang.
Stensilan-stensilan propaganda juga masih dipajang di beberapa sudut ruangan.
Juga tak kalah pentingnya adalah furniture-furniture masih diajaga keasliannya dari dulu hingga sekarang.
Meja Pengesahan dan Penandatangan Naskah Teks Proklamasi |
Ruang Pertama Laksamana Maeda menjamu Soetta |
Menuju Rengasdengklok
Disini,
bang JJ Rizal pamitan dulu karena ada acara lain yang harus dihadiri. Sehingga,
perjalanan selanjutnya ditemani oleh Tim Komunitas Bambu dan dinarasumberi oleh
pak Giat. Perjalanan dari Jakarta menuju Rengasdengklok hanya memakan waktu 2
jam, lebih cepat 1 jam dari estimasi awal. Sampai lah kami di Rengasdengklok
jam setengah 11 siang tepat di depan Tugu Kebulatan Tekad.
Cuacanya
sangat terik saat itu sehingga harus memakai payung sembari mendengarkan
penjelasan dari pak Giat di dalam Tugu. Tepat pada tanggal 16 Agustus 1945
pukul 04.00, golongan pemuda yang diwakili Sukarni dan Wikana dan Chaerul Saleh
membawa Soekarno-Hatta ke Garnisun PETA di Desa Rengasdengklok. Oh ya, waktu
saya bertanya berapa umur para golongan muda pada waktu itu adalah sekitar 25
tahun-an dan golongan tua berumur 40-an.
Setelah
di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta ditempatkan di rumah salah seorang petani
keturunan Tionghoa bernama Djiaw Kie Siong. Letak rumah ini sebenarnya ada di
pinggir kali namun telah digusur dan dibangun dengan ornament sama persis
seperti aslinya. Kurang lebih 300-500 meter dari Tugu Kebulatan Tekad.
Djiaw Kie Siong |
Sekarang
yang menempati rumah di Rengasdengklok itu adalah cucu dari Djiaw Kie Siong.
Kurang lebih kalau mengikuti bentuk aslinya, ada dua kamar di sisi kiri dan
kanan ruang. Soekarno waktu itu diculik tidak sendirian bersama Hatta saja
tetapi juga beserta keluarga. Masih ada dipan tempat tidur Soekarno disana.
Setelah
kurang lebih 1 jam mendengarkan penjelasan dari pak Giat menceritakan segala
menyoal Soekarno, kami diberi waktu untuk Sholat dan makan siang Sate khas
Karawang. Kata “khas” nya memang tidak bohong. 10 tusuk sate dengan bumbu
kacang encer yang cukup pedas ditambah kecap beserta nasi rasanya memang luar
biasa enak. Cuaca yang cukup terik ditambah sepiring nasi sate Karawang membuat
bulir-bulir keringat tak terasa menetes.
Kami
di Rengasdengklok hingga jam setengah dua kalau tidak salah. Banyak hal dan
cerita yang bisa diceritakan mengenai peristiwa penting ini dari mulai yang
serius hingga cerita-cerita selingan mengenai Soekarno-Hatta. Di tempat ini
cukup banyak pula sih pendatang-pendatang yang berkunjung ke dalam
melihat-lihat.
Kadang
saya berpikir tentang situs sejarah sangat penting ini. Pertama, mengapa situs
sejarah sepenting ini tak dicagarbudayakan, dibuat lebih bagus dan
disejahterahkan keluarga yang mengurus rumah di Rengasdengklok itu ya? Saya
lagi membayangkan kalau orang Eropa menjaga habis-habisan situs sejarahnya.
Kedua, saya berpikiran, kalau ada sekolah di semua tingkatan, baik SD hingga
SMA dan mempelajari sejarah, tidak kah mereka memiliki pengetahuan yang cukup
mendalam atau rasa yang menghayati lebih dari murid lainnya yang belajar jauh
dari Rengasdengklok? Hmm.. Sekedar menggumam.
Kuliner dan Kawan Baru
Setelah
beberapa jam disana, akhirnya kami serombongan menuju arah tempat kuliner khas
Karawang lainnya, yakni Soerabi Hijau kemudian dilanjutkan ke Bendungan
Walahar. Surabi hijau ini memang asli wangi pandan loh dan tersedia dua rasa:
biasa dan durian. Saya memesan 1 bungkus Surabi bumbu Durian. Ternyata rasanya
enak, wangi pandannya juga sangat harum. Bumbu kuahnya pun manis legit.
Surabi Hijau Khas Karawang; Google |
Selanjutnya
kami pergi ke Bendungan Walahar. Bangunan ini dibuat pada tahun 1918 dan
dioperasikan pada 30 November 1925. Bendungan ini dibuat oleh pemerintahan
kolonial untuk difungsikan sebagai sumber irigasi sawah. Belakangan dijadikan
lokasi wisata oleh masyarakat.
Tak
kalah pentingnya, setelah berserius ria di tiga situs sejarah penting. Sorenya
kami ber-selfie ria bersama para
peserta Wisata Sejarah ini meski sudah kelihatan capek tapi tetap pasang muka
semangat!! :D
Kobamers!! #1 |
Kobamers!! #2 |
(Calon) Sosiolog, (Calon) Arsitek, (Calon) Dokter Gigi |
Pembelajar Historis |
Saya
mengira bahwa para peserta itu orang-orang dari kalangan yang berkecimpung di
dunia sejarah, ternyata tidak. Saya sendiri dari Sosiologi UNJ, adapun Kamila
dari Kedokteran UI dan Yusti dari Arsitektur UP. Selain itu ada anak SMA pula
bernama Ufaira dan Selommita. Belum lagi yang lebih tua dengan semangat muda
belajar sejarah pun ada, bu Rini salah satunya. Belum lagi yang lainnya.
Peserta Wisata Sejarah ini memang asyik!
Jawaban?
Seharian
itu saya mengelilingi situs sejarah penting dalam satu hari untuk satu
peristiwa dan untuk menjawab satu pertanyaan penting, “Peristiwa Penculikan
Soekarno-Hatta apakah mempercepat atau memperlambat kemerdekaan?”
Yang
jelas, dari segi teknis urutan waktu, penculikan Soekarno-Hatta sebenarnya
memperlambat rencana proklamasi kemerdekaan. Bahkan, yang menarik adalah kala
itu sudah ada pikiran secara politis oleh para elit ada keinginan untuk menjadi
simbol sejarah penting Indonesia untuk berlomba-lomba memproklamirkan
kemerdekaan di masing-masing tempat, minimal yang terdeteksi melakukan hal ini
adalah Sjahrir. Selain karena memang masa vacuum kedudukan Jepang di Indonesia yang
dirasa sangat sayang bila disia-siakan. Namun memang pada akhirnya, takdir
memilih Soekarno-Hatta untuk maju sebagai proklamator Kemerdekaan Indonesia.
Dan meski proklamasi kemerdekaan ini dilakukan dengan cepat 1 hari 1 malam, tapi tak terlihat buru-buru: cara menyajikannya sangat sistematis, terencana dengan baik, dilakukan dengan tangkas dan cerdas oleh para Founding Father baik Golongan Muda maupun Golongan Tua.
Selain
itu, saya juga belajar bahwa kata-kata “penculikan” yang berkonotasi
Kriminal justru menjadi berkonotasi menjadi kata politis. Lalu yang juga
terpenting dari Wisata Sejarah ini adalah masih banyak sekali
peristiwa-peristiwa yang tak terungkap dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia, meski hanya satu hari. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya
penyimpangan sejarah di sana-sini dan memerlukan penjernihan/rekonstruksi ulang
alur sejarah Indonesia.
Meski
demikian, saya percaya masih banyak ilmuwan sejarah yang akan berjuang keras
untuk melakukan hal tersebut.
DIRGAHAYU
INDONESIA Ke-69!!
Jakarta-Depok, 16 Agustus 1945
Komentar
Posting Komentar