Intisari 2 Kelas Filsafat Salihara "Irasionalitas dan Kegilaan"
TETAP RASIO: MENERIMA DAN MENGKRITISI IRASIONALITAS
“Hidup
filosofis adalah hidup yang rasional”
(Platon)
Platon |
Pada
pertemuan kedua ini, saya akan mencoba menuliskan intisari kelas filsafat yang
membahas penerimaan irasionalitas dalam pandangan Platon, dengan tema yang
masih sama, yakni “Irasionalitas dan Kegilaan”. Pertemuan kedua ini menyajikan
perdebatan bagaimana Platon mentransformasikan dan memperluas pandangan
rasionya terhadap hal-hal yang irasional sebagai sesuatu yang memang ada,
memang terjadi dan tidak bisa dihindari. Diskusi pun juga berjalan menarik.
Seperti biasa, Romo Setyo memberikan pembahasan yang tertata, komprehensif dan
mendalam.
Lalu, misi
utama dalam pembahasan ini adalah kita sama-sama belajar bagaimana
irasionalitas dapat tetap kita terima tanpa kehilangan rasionalitas kita.
Sebuah Alasan
Selalu ada
pertanyaan yang mendasari mengapa Platon
yang jelas-jelas mengimani rasio pada akhirnya seakan-akan jatuh kepada
irasionalitas? Pun, ia tinggal di Athena, kota dimana rasionalitas adalah
segalanya? Mengapa? Platon punya alasan untuk itu. Dari pemaparan makalah yang
dituilis oleh Romo Setyo, sebenarnya Platon tidaklah kemudian menjadi orang
yang irasional. Ada konteks perubahan sosial yang mengharuskannya
“mengembangkan” rasio agar lebih terbuka. Mungkin jika dibandingkan dalam teori
ilmu sosial, teori tidak melulu berangkat dari penjelasan struktural tetapi ada
hal lain yang membuat teori itu dapat dikembangkan. Dalam hal Platon adalah
rasionalitas.
Kebimbangannya
ini disebabkan oleh adanya perubahan yang terjadi di abad ke-5 SM dan ke-4 SM
di kota Athena. Ketika Athena menjadi imperium raksasa dimana kekayaan,
keserakahan justru membawa ke kehancuran yang ditandai oleh beragam kejadian
penting, salah satunya adalah hukuman mati bagi Sokrates. Disinilah Platon
mulai meninjau ulang rasio.
Dalam
kondisi seperti itu, Platon menyadari sulitnya merealisir mimpi di Politeia
(mewujudkan kallipolis, dimana para filsuf raja dan ratu memerintah polis). Ia
percaya bahwa rasio manusia tidaklah cukup untuk mengatur perilaku manusia.
Dibutuhkan suatu hukum yang memerintah untuk ditaati tanpa perlu banyak
berdiskusi atau dipertanyakan. Platon juga percaya bahwa manusia tidak akan
begitu saja merengkuh hidup penuh pengetahuan, kebijaksanaan, pengertian dan
semacamnya bila tak ada “kenikmatan” disitu. Pada titik ini, Platon “membuka”
pintu terhadap irasionalitas. Ia percaya bahwa hidup manusia berakar dari feeling dan feeling ini berasal dari hati. Feeling ini digunakan untuk terus
mencari, mencari sebuah kenikmatan dan menghindari apa-apa yang tidak enak
sehingga dalam tataran Arete, keutamaannya hanya berkembang dalam tataran nafsu
saja.
Maka, tak
heran kalau ia mengkritik kotanya sendiri, Athena. Setidaknya saya menjadi
belajar bahwa orang-orang Athena pada kala itu tidak menjadikan rasio sebagai
penuntun kehidupan yang lebih baik, tetapi malah terjerumus kepada pencarian
akan “kenikmatan” yang malah membuat situasi Athena justru malah menjadi
hancur. Atau dengan kata lain, dorongan mencari kenikmatan itu menandakan
ketiadaan rasio.
Menghadapi Irasionalitas dan Kegilaan
Seperti yang
Platon akui tadi bahwa manusia tidak akan selalu hidup tinggal dengan rasionya.
Pasti ada, dan akan selalu ada, waktu ketika manusia menggunakan irasional
jiwanya. Namun, perlu dikritisi bahwa memang irasionalitas ini dapat berujung
pada kegilaan. Irasionalitas manusia menandakan sebuah gejala akan absennya
rasio. Platon menggambarkan ada dua bentuk absen rasio: 1. Ignorantia
(ketidaktahuan); 2. Mania (kegilaan).
Irasionalitas
(anoia) yang berujung pada kegilaan disebabkan oleh dua hal: inspirasi dari
yang Illahi dan ketidakseimbangan tubuh. Untuk yang ketidakseimbangan tubuh,
ini semua berkaitan dengan secara fisik seperti saat kelahiran (lihatlah bayi
yang baru lahir, perkembangan tubuh dan masuknya beragam nilai keduniawian yang
mempengaruhi dirinya kelak), saat sakit parah (banyak sekali contoh kasusnya)
dan saat sperma terlalu penuh (Sperma dianggap sebagai residu dari sebuah
sum-sum tulang, apabila terlalu penuh maka akan menyumbat otak, tersumbatnya
otak, maka akan terganggunya jalan pikiran).
Sedangkan,
irasionalitas yang menyebabkan kegilaan (mania) yang diciptakan Inspirasi yang
illahi dibedakan kedalam empat bentuk:
Pertama, Mania mantike (kegilaan mantis). Contoh
utamanya adalah penjelasan-penjelasan intuitif dan divine seperti
ramalan-ramalan tentang masa depan yang terinspirasi dari dewa Apollon.
Biasanya para peramal ini orang yang dipercaya menerima inspirasi keillahian.
Tekniknya bisa beragam, contoh kesurupan (memang dirasuki). Hal ini biasanya
digunakan oleh panglima perang untuk memastikan hasil perang yang akan berjalan
esok hari.
Kedua, Mania telestike (kegilaan telestik).
Yang ini penjelasannya seperti melakukan praktik “buang sial” atau sejenis praktik purifikasi.
Anda bisa lihat dalam film Jennifer’s
Body. Terinspirasi dari dewa Dyonisos.
Ketiga,
Mania Puitis. Berkaitan dengan puisi, dengan kata-kata yang dinyanyikan,
didendangkan. Saya kutip sedikit dari makalah Romo Setyo,”Inspirasi puitis bisa
menghinggapi jiwa-jiwa yang murni dan peka, sehingga si penyair kemudian
memuliakan tindakan-tindakan heorik para pendahulunya”. Platon terkenal
“nyinyir” terhadap para penyair, hingga saya paham mengapa bisa begitu (dan saya senang sekali mengetahui hal ini).
Ini menujukkan hanya sebagai drama, dan ini buruk karena seseorang hanya bisa
mengimitasi, semakin dalam penghayatannya meniru, semakin buruk lah dia.
Contoh, ada artis yang berperan sebagai Thor, mari kita kritisi dengan
menanyakan, apakah ia benar-benar tahu tentang siapa itu Thor dalam mitologi
Yunani secara fasih (bukan sekedar gambaran besar saja)? Intinya adalah orang
yang hanya bisa meniru-niru saja tanpa mengerti atau paham apa yang ditiru.
Inspirasi datang dari para Museos (yang pada akhirnya kita mengenal kata
‘Musik’).
Keempat,
kegilaan erotis, kegilaan yang datang dari sebuah kharisma (charis: berkat,
yang datang dari dewi Aphrodites). Mania ini tergolong dari mania erotic karena
menimbulkan cinta dan melalui perantara Eros. Romo Setyo menjelaskan hal sangat
menarik,”Orang yang terkena kegilaan jenis ini, orang yang terkena panah Eros
akan menjadikan dirinya orang yang paling kaya sedunia sekaligus menjadi orang
paling miskin sedunia”. Aha! Ini menarik, apalagi untuk anak muda, pasti akan
lebih cepat paham.
Begini, Eros
adalah dewa ‘blasteran’. Ia adalah hasil hubungan dewa yang Immortal yang
bernama Phoros (tulisannya betul tidak ya?!) dengan segala keberlimpahannnya
dan Phemia, seorang manusia yang tentu mortal dan memiliki segala kekurangan di
dunia. Dari hubungan itulah lahir, Eros. Menariknya, Eros ini menjadi setengah
dewa, setengah manusia. Setengah immortal dan setengah mortal. Siapa orang yang
terkena panahnya, maka akan menjadi orang paling kaya, bahagia sekaligus
menjadi orang paling miskin dan menyedihkan.
Nah, ini
selalu terjadi ketika kita merasakan “Jatuh Cinta”, Aha! Ketika kita sedang
menyukai seseorang, kita akan merasa paling paling paling segalanya,
seakan-akan kita mampu untuk berbuat apapun demi sang pujaan hati, terlebih,
ketika ia sedang berada di dekat kita. Namun, kondisi langsung berubah 360
derajat ketika kita sedang “Patah Hati”. Seakan-akan segalanya, keduniaan,
kedirian kita menjadi hancur lebur berkeping-keping seperti kiamat akan tiba.
Padahal, orang-orang di luar diri kita menjalani kehidupan seperti biasa saja.
Betul? Kalau iya, maka kita mengalami kegilaan erotik.
Tetap Rasio: Mengkritisi Irasionalitas
Di
penghujung tulisan ini, seperti ada semacam penegasan dari Platon yang tetap pada
pandangan pentingnya sebuah rasio. Pengetahuan seperti teknik ramal-meramal itu
bisa saja dipelajari, tetapi ilmu teknis seperti itu hanya mencari kebaikan
particular, tanpa ia benar-benar tahu persis apakah yang ia kejar itu
benar-benar baik. Saya jadi belajar bagaimana rasio itu menjadi penting adalah
dengan mempercayai bahwa rasio adalah pembimbing ke kebaikan sejati, tidak
hanya untuk pretense ilmiah semata tetapi juga dalam keputusan kehidupan.
Seorang
dokter dan pihak keluarga akan diuji dalam mengambil keputusan terhadap seorang
nenek-nenek berumur 85 tahun yang terkena kanker. Apa yang akan dilakukannya?
Tetap diobati atau lebih baik di rumah untuk ditemani? Seorang hakim/jaksa yang
harus menangani seorang terdakwa yang dalam kitab UU dinyatakan hukuman mati,
apakah akan ada pertimbangan moral, atau pada akhirnya dia terjerembab pada urusan
teknis kitab UU tersebut. Apa yang akan dilakukan? Terdakwa tetap diambil hak
hidupnya hanya sebatas pertimbangan kitab-kitab UU seperti tidak ada celah
kebaikan yang lain atau ada tinjauan lain yang lebih memanusiakan si terdakwa.
Apakah dengan menghukum mati si terdakwa, maka akan membuat orang lain jera?
Apakah menyelesaikan masalah atau memastikan bahwa masalah yang sama tidak akan
terulang kembali?
Apapun
jawabannya, bahwa orang yang menggunakan rasionya, maka seluruh tindakannya
akan berorientasi pada kebaikan sejati. Jadi, salah tanggap seseorang, apabila
episteme itu digunakan untuk hal yang sangat-sangat teknis seperti itu.
Orientasinya adalah apakah memang benar bahwa sesuatu yang kita lakukan itu
adalah untuk kebaikan? Atau justru untuk hal yang tidak baik? Atau justru kita
tidak mengetahui bahwa apa yang kita lakukan itu baik atau buruk?
Mungkin kita
tak selamanya rasional, tetapi dari lubuk hati kita yang dasarnya pun kita
tidak tahu, kita menginginkan sebuah kebaikan sejati..
dan bukankah kita
memang sedang menuju ke tahap itu…
Komentar
Posting Komentar