BEGAL: Kriminalitas Curang dan Latah
BEGAL: Kriminalitas Curang
dan Latah
Oleh
M. Luthfi Ersa. F
“Human Behaviour flows from three
main sources: desire, emotion, and knowledge”
Plato
Setiap
kejahatan pasti ada balasannya. Begitu pepatah universal yang dipercayai oleh
sebagian besar masyarakat dimana pun. Kita dapat berkaca dari berita beberapa
hari yang lalu tentang pelaku kejahatan begal yang dibakar oleh sekumpulan
warga di Pondok Aren, Tangerang. Agaknya, masyarakat sudah sampai pada titik
jenuh dan emosi melihat kriminalitas begal yang akhir-akhir ini semakin membabi
buta dan sangat meresahkan. Seharusnya, kejadian kemarin juga “meresahkan”
pikiran para pelaku begal agar lebih berpikir dua kali untuk melakukan aksi kejahatan.
Saya menulis
ini sebagai refleksi sosiologis atas kasus yang menyita perhatian media massa
dan meresahkan warga dalam kurun waktu dua bulan ini, bahwa, kejahatan apapun,
khususnya begal merupakan kejahatan yang curang. Kejahatan ini juga menimbulkan
efek sosiologis kepada masyarakat yang dampak kerugiannya dirasakan langsung
maupun tak langsung oleh masyarakat luas.
Ilustrasi begal. Sumber: Google |
Menjadi
Masalah Sosial
Kejahatan
atau tindak menyimpang yang terkecil saja yang dilakukan orang lain dapat
menyebabkan ketidaknyamanan bagi orang di sekitarnya. Apalagi suatu tindakan
menyimpang yang dilakukan berkali-kali? Motif
begal berbeda dengan tindak pencurian motor biasa. Bila pencurian motor biasa,
pelaku akan mengambil harta ketika tak ada pemiliknya dan di ruang yang dirasa
sepi. Begal berbeda, mereka berkomplot di jalan raya yang notabenenya banyak
dilalui oleh motor-motor juga. Tak tanggung-tanggung, mereka mengejar calon
korban, memepetnya dan bahkan tak jarang dalam kondisi berkendara mereka
mengancam dengan senjata. Jelas tindakan ababil dan sangat tidak efektif. Suatu
model perampokan yang tidak hanya membahayakan calon korban tetapi juga
dirinya sendiri sebagai pelaku.
Bila kita
meminjam kaca mata C Wright Mills untuk melihat kejadian ini, jelas urusan
begal bukan lagi merupakan Personal
Troubles, tetapi sudah berkembang menjadi Public Issue. Hal ini ditandai oleh beberapa hal: kasus ini
berkembang bukan hanya terjadi satu atau dua kali. Namun sudah lebih. Tercatat, 8 kasus (dari koran Tempo 25/02/2015) dalam
hitungan 2 bulan ini (bahkan ini belum habis bulan). Jelas jumlah tersebut jauh dari data statistik kepolisian yang mungkin berjumlah ratusan. Selain itu, begal juga memicu keresahan dan kerugian material bagi korbannya.
Kerugian langsung dalam hal ini yang menyangkut korban begal. Korban
terancam tidak hanya menyoal motornya tetapi juga nyawanya, bahkan mungkin
pengendara lain. Selain itu, dampak negatif yang lebih luas juga dirasakan
secara tak langsung seperti munculnya sikap waspada dan curiga yang berlebihan
bagi pengendara motor lainnya. Tidakkah terbesit dalam pikiran para pelaku
begal bahwa konsekuensi tindakan mereka dapat mengganggu konsentrasi berkendara
orang lain? Saya pikir tidak sih, karena yang mereka pedulikan hanya diri
mereka sendiri.
Rasa cemas masyarakat juga menjadi berlebih ketika banyak info maupun
berita simpang siur terkait berita begal ini. Terlebih, dapat dengan mudah
disebarkan dalam sekali klik dalam media sosial yang keakuratannya tidak bisa
dipertanggungjawabkan.
Kalau sudah begitu, tak jarang netizen juga menambah kisruh dengan
membuat “Meme Comic” yang mengatasnamakan identitas kewargaan suatu wilayah. Suatu
kerjaan yang kurang kerjaan sih…
Contoh meme begal depok. Sumber: Google |
Contoh meme begal depok. Sumber: Google |
Dilihat dari motif hingga cara mereka aksi pelaku, begal sangat
potensial menjadi kejahatan karir. Suatu kejahatan yang akan sampai pada
tingkat spesialis/residivis, bukan lagi kejahatan primer. Hal ini disebabkan
oleh perilaku sosiopatik yang sudah sampai pada stadium deviasi sekunder yang
tidak bisa ditolerir lagi.
Saya ragu bila terlalu menghamba pada alasan makro struktur
sosial-ekonomi sebagai hal utama dan paling utama yang menyebabkan mereka
(pelaku begal) melakukan aksinya. Benar memang apabila motif ekonomi mendasari
pikiran mereka untuk melakukan begal. Namun, argumentasi demikian akan mudah
rontok ketika kasus begal ini ternyata merupakan wujud ketidakmampuan diri
pelaku dalam menanggapi perubahan sosial yang cukup cepat.
Saya ragu, pun, seandainya Negara kita adalah Negara maju dengan sistem
ekonomi yang mapan, apakah kriminalitas rendahan seperti begal ini akan
terhapus begitu saja? Bila tidak, argumentasi saya, personalitas negatif sang
pelaku sangat berkontribusi dalam kasus begal. Sangat tidak fair (terkhusus
pada pikiran si pelaku) untuk menyalahkan hukum yang tak adil, kesenjangan
ekonomi secara absolut yang melegitimasi tindakan kejinya di jalan. Ketika ada
mahasiswa mendapatkan nilai C/D/E, Anda tidak bisa serta merta dan tak fair menyalahkan kurikulum nasional,
birokrasi kampus atau kinerja dosen kan? Mengapa? Karena ada mahasiswa lain
yang mendapat nilai A dan juga B. Tentu kita harus fair dengan melihat kinerja
pribadi mahasiswa tersebut.
Curang dan Latah
Aha, ini yang paling menyenangkan sekaligus menjengkelkan dari cara
berpikir pelaku begal. Setelah tadi saya
menjelaskan dampak sosiologis, kali ini saya ingin lebih spesifik mengkritisi
hal filosofis dan prinsipil dari diri pelaku begal. Saya selalu ingin tahu,
penasaran, apa sih yang ada di pikiran pelaku begal sampai tega merugikan
bahkan mencelakakan orang lain? Motif ekonomi sebagian besar. Uang berarti
menjadi muara pasti.
Tetapi, kalau begitu jalan pikiran pelaku begal aneh betul ya? Begini,
mereka mengincar motor, motor sebagai modal, modal yang kemudian dijual untuk
menghasilkan uang, benar demikian? Mereka memang sedari awal mengincar motor
yang berseliweran dikendarai orang di jalanan, bebas, tinggal pilih. Tapi
konsekuensinya, ada kemungkinan besar mereka akan mendapat “perlawanan” dari si
calon korban kan? Berarti, untuk “membungkam” si korban, jelas para pelaku
harus melakukan sesuatu untuk menggertak korban kan? Nah, tak jarang dalam
pertarungan jalanan apalagi sedang berkendara, tingkat bahayanya tinggi sekali,
tak jarang banyak korban yang pada akhirnya meninggal akibat ulah “gertakan”
mereka.
Kadang
motornya dapat, korban tewas. Kadang motornya tidak dapat, korban ikut tewas.
Nah, ini berarti suatu logika kecurangan yang sangat menyebalkan. Di satu sisi,
mereka ingin untung, seuntung-untungnya dan tak mau rugi serugi-ruginya. Kan,
tujuan awal mereka menginginkan motor, kenapa harus sampai tega ambil nyawa
orang yah? Curang betul. Mereka sendiri pada dasarnya “tidak mau dilawan” kan?
Lha, tambah curang dan busuk pikiran mereka.
Toh,
seandainya, ini ideal saja, mereka berhasil merampok, lalu mereka jual, dapat
lah beberapa juta. Uang itu buat apa sih? Memberi makan anak istri? Memberi
kepada Ibu mereka? atau bahkan pacar mereka? Lha, saya cuma bisa tepok jidat
aja. Kalau kata orang agamis, “memang uangnya halal? Memang uangnya berkah?”.
Ada satu hal
yang saya cecar dari kejahatan begal, ketika pelaku merasakan kebahagiaan dan
kenikmatan hasil “jerih payah” nya untuk keluarganya, bukankah secara tidak
langsung pelaku juga “menihilkan” keluarga lain (yang dibegal) untuk merasakan
kebahagiaan yang sama? Pelaku pasti tidak memperdulikannya. Jelas.
Selain
logika curang “mau untung tak mau rugi”, sikap latah juga menghinggapi pikiran
para pelaku. Ada untung dan rugi ketika media massa
mengangkat topik begal. Keuntungannya, warga jadi bisa lebih waspada di jalan.
Kerugiannya, para pelaku begal “tergiur” untuk ikut-ikutan membegal dan
diuntungkan dengan memanfaatkan keresahan psikologis warga.
Meski demikian, kelatahan para pelaku begal ini juga memiliki kelemahan…
Hal ini terbukti dari buruknya pola pengorganisasian para pelaku begal.
Terlalu banyak kelompok-kelompok kecil nan latah dan belum berpengalaman
melancarkan aksi, dapat dilihat dari pelaku yang ditangkap berusia belasan
tahun. Mereka tidak teroganisir layaknya white
collar crime. Seperti yang saya katakan, gejala ini baru “menuju” kejahatan
karir, tapi belum sempurna. Mulai banyak dan marak, memang. Tetapi juga banyak
ditangkap, dihajar warga juga. Sungguh payah, tidak rapi dan tak professional.
Mengingat kejadian beberapa hari lalu, memang saya juga tidak menyetujui
tindakan warga yang main hakim sendiri secara brutal, tetapi itu seharusnya
harus diperhatikan baik-baik sebagai tanda dan resiko oleh para pelaku. Saya
rasa pelaku begal seperti ini tak pernah memperhatikan konsekuensi seperti itu
dan tidak punya terobosan canggih untuk mengcover hal tersebut. Sungguh
menyedihkan. Mungkin mereka tidak pernah belajar sejarah Revolusi Perancis yah,
bahwa masyarakat dalam satu titik jenuh tertentu dapat mengutarakan “kekesalan”
nya dalam bentuk paling anarkis yang justru merugikan “keagungan” diri mereka
sebagai penjahat.
Ingat kata
Platon,
“We can easily forgive a child who is afraid of the dark; the real tragedy of life is when men are afraid of the light”.
“We can easily forgive a child who is afraid of the dark; the real tragedy of life is when men are afraid of the light”.
Salam,
Luthfi
Baru mampir udah suka sama tulisannya :)
BalasHapuswww.fikrimaulanaa.com
Trims.
Hapus