Resensi Buku Mari Berbincang Bersama PLATO: Persahabatan
PERSAHABATAN
oleh
M. Luthfi Ersa. F
“Kebenaran tertinggi itu adalah
kebaikan, memang harus menjadi landasan persahabatan sejati”
(Platon)
Cover Depan Buku |
Harus
diakui, agak telat bagi saya membaca buku ini. Buku ini lahir pada tahun 2009
dan saya baru saja membaca dan mulai meresensinya di tahun 2015. Tapi, tanpa
mengurangi esensi pembacaan, apalagi sekedar mencari bahan untuk
berkontemplasi, saya kira buku ini masih dan selalu layak untuk dibaca. Buku
yang diterjemahkan dan ditafsir oleh Romo A. Setyo Wibowo yang juga ahli tafsir
pemikiran Platon ini berisi tentang sebuah diskusi menarik antara
Sokrates-Lysis-Hippothales-Menexenos (yang sebetulnya ditulis oleh Platon
sendiri). Apa sih yang diperbincangkan? Hal yang mungkin lumrah kita dengar
sekaligus sering kita permasalahkan: Persahabatan.
Hingar-Bingar Buku
Buku
ini sebetulnya tidak terlalu tebal, hanya 136 halaman. Bisa dibaca dalam sekali
habis. Tema substansi yang diperbincangkan juga sederhana, hanya menyoal
“Persahabatan”, tapi percayalah, tidak semudah mengucapkannya. Mencerna kalimat
sedikit demi sedikit dengan menyodorkan segala fokus dan perhatian kita, adalah
cara yang terbaik menyelami isi buku ini. Buku ini dibuat dalam enam bagian
penulisan. Tiga bab petama berfokus memperkenalkan dan membahas mengenai Platon
dan seluk-beluknya. Kedua, teks Lysis yang berisi dialog antar empat orang:
Sokrates, Lysis, Hippothales, dan Menexenos. Ketiga, tafsir dari Romo Setyo
terkait teks “Lysis”.
Tidak
perlu khawatir apabila kita kebingungan mengenal siapa itu Plato, karena sang
penulis, Romo Setyo sudah menjelaskannya dengan cukup lengkap dan komprehensif
dengan segala catatan-catatan kaki yang tidak “ecek-ecek” dan dengan gaya
bahasa yang lugas. Sepak terjang kehidupan Platon, (perlu diketahui, penulis
memposisikan dirinya lebih nyaman menggunakan nama “Platon” dari bahasa Yunani,
ketimbang “Plato” dari Inggris; Hal.3-4) baik kehidupan hingga karya-karyanya
dijelaskan lengkap.
Tak
lupa, Romo Setyo juga memberikan pengantar sebelum kita “berpusing-pusing” ria
dalam liukan teks Lysis. Yang menyenangkan adalah pengantar tersebut
benar-benar menjembatani kita untuk memahami teks Lysis itu sendiri, terlebih
bagi seorang pemula penikmat filsafat.
Setelah
pintu-pintu pengantar kita masuki, sekarang tahap dimana Anda benar-benar akan
menikmati sebuah pembicaraan seseorang yang sepertinya sedang jatuh cinta,
Hippothales, yang meminta saran kepada Sokrates untuk bagaimana memikat
idamannya, Lysis. Ditambah, kedatangan Menexenos yang juga pada akhirnya ikut
‘nimbrung’ ke dalam arus diskusi untuk, sekali lagi, mendefinisikan arti sebuah
persahabatan. Seperti yang saya katakan, bersiaplah untuk menikmati
liukan-liukan pemikiran nan membingungkan namun menggugah yang terus menerus
didorong oleh Sokrates.
Sedikit
catatan, saran saya, jangan berhenti membaca dialog diskusi dalam bab itu,
maksudnya, jangan berhenti satu hari, lalu dibaca lagi lalu berhenti lagi. Anda
jelas akan kehilangan fokus dan tidak akan merasakan begitu menyenangkannya
bagaimana Sokrates membolak-balikan pikiran lawan diskusinya dalam sebuah
pembicaraan kendati halamannya tak tebal. Jauh lebih baik selesaikan dalam satu
kali pembacaan, habiskan. Lalu, diulang kembali apabila masih ada yang
tertinggal atau kurang paham.
Terakhir,
setelah selesai mengarungi liukan diskusi di atas, di tengah kebingungan yang
tak pasti mengenai “Apa itu persahabatan?” karena Sokrates menutup rangkaian
diskusi tersebut secara aporetik (diskusi yang buntu, tak berakhir pada satu
kesimpulan) pada akhirnya mengajak kita untuk berbincang secara imajiner dengan
tafsir yang ditulis oleh Romo Setyo. Tafsiran itu seraya mengisi dahaga
kebingungan kita untuk menelaah arti persahabatan yang diungkap Sokrates dalam
diskusi.
Apa itu Persahabatan?
Dear
pembaca, tidak kah kita sering kesal ketika memiliki orang yang “katanya”
sahabat tetapi hanya datang ketika ada maunya atau justru tidak ada saat kita
membutuhkannya? Kekesalan Anda jelas benar. Tetapi, kalaupun definisi itu yang
dipakai, maka, dengan segala kerendah-hatian, dari sudut pandang Platon,
definisi itu tidak cukup. Sedikit lebih konseptual, persahabatan itu hanya
sebatas persahabatan utilitaris.
Di
sini, kita dituntut untuk mengkritisi relasi persahabatan kita selama ini dan
bahkan berpikir ulang tentang definisi maupun subjek dalam persahabatan. Sokrates
dalam teks Lysis mencoba memberikan
argumen dan cara pandang baru dalam menjelaskan soal persahabatan.
Ada
satu pernyataan menarik di dalam buku ini, bahwa kesetiaan pada kebenaran harus
melebihi hubungan personal sedekat apapun. Bahkan, melebihi hubungan darah atau
dalam satu keturunan sekalipun (Hal.100). Maksudnya, persahabatan sebetulnya
bukanlah menyoal keterlekatan, kedekatan antara satu orang dengan orang lain.
Justru, para filsuf menyamakan kata-kata tersebut dengan “koncoisme”,
“nepotisme”. (Hal.28)
Romo A. Setyo Wibowo |
Lalu,
bagaimana sebetulnya persahabatan itu? Mereka (para filsuf) sepakat untuk tidak
terjebak pada hubungan saklek bahwa
sahabat itu harus berdua. Persahabatan itu sangat menuntut adanya pihak ketiga.
Nah? Siapa itu pihak ketiga? Bukan kah pihak ketiga itu adalah pengganggu suatu
hubungan? Pihak ketiga itu, adalah kebaikan. Ya, -dalam tafsir saya, kebaikan
disini adalah semacam horizon yang menjadi ‘sesuatu’ yang lebih dan berada di
luar diri Yang-“terkasih” dan Yang-“Dikasihi”- kebaikan lah yang sudah
sewajibnya menjadi Arete (keutamaan)
yang paling hakiki dari sebuah persahabatan.
Persahabatan
haruslah mengarah kepada kebaikan, dan sebetulnya kebaikan itu sendiri adalah
pengetahuan. Berpengetahuan, berarti berguna. Sahabat dan persahabatan hanya muncul
bila ada pengetahuan. Pengetahuan menjadi sumber bagi apapun yang “berguna” dan
“baik”. Jadi, minimal, kesimpulan awal yang dapat kita tarik bahwa setiap
persahabatan wajib ber-horizon kebaikan.
Nah,
persoalannya, di dunia ini, ada orang “baik” dan ada orang “jahat”. Sebagai
lanjutan pembicaraan mengenai subjek yang bersahabat, maka pertanyaannya,
apakah hanya orang “baik berteman dengan orang “baik”, orang “jahat” berteman
dengan orang “jahat”? atau justru bisa keduanya? Bagaimana posisi orang-orang yang
berupaya menjalin persahabatan ini?
Ini
menarik, sungguh, Sokrates membagi kedua posisi orang tersebut secara absolut.
Kebaikan, jelas akan mengarah kepada kemampuan untuk “berguna”, “kebergunaan”
diri berarti memampukan untuk memenuhi diri sendiri secara internal. Kemampuan
ini secara tidak langsung “menihilkan” peran orang lain sebagai pelengkap
“yang-kurang”. Jadi, mustahil orang “baik” akan bisa bersahabat dengan orang
“baik” lainnya. Karena “baik” adalah lengkap, total.
Sedangkan
orang “Jahat”, lebih sangat muskil untuk menjalin sebuah persahabatan. Prinsip
penjelasannya sangat jelas, relasi yang dibangun oleh orang “jahat” dengan orang “jahat” sama sekali tidak memiliki
horizon kebaikan. Relasi sosial yang terbangun juga berdasarkan keinginan ephitumea yang sangat rentan dihinggapi
gesekan-gesekan.
Menurut
Aristoteles, Persahabatan antar dua orang jahat hanya mungkin sejauh
persahabatan itu didasarkan pada pencarian keuntungan dan kesenangan bersama.
Juga, dipertajam dengan argumen Sokrates, persahabatan antar orang jahat cepat
atau lambat akan berujung pada pengkhianatan (Hal. 108)
Lantas….
Siapa sebetulnya yang bisa menjalin persahabatan bila orang “baik” sudah
terlalu lengkap dan orang “jahat” terlalu semu untuk menjalin persahabatan???
Berangkat dari Kekurangan
“Salah satu unsur cinta adalah kekurangan”
Bila
kita memang berniat untuk menjalin persahabatan atau philia dengan orang lain, kita tentu wajib memiliki kesadaran bahwa
sesuatu yang “kurang” dalam diri kita. “Kurang” disini tidak dapat disamakan
dengan “tidak punya” ya. “Kurang” berarti kita sebenarnya sudah memiliki
sesuatu, tetapi memang kurang. Jadi, pada dasarnya, dalam relasi persahabatan
atau percintaan, kita akan berupaya untuk mengisi kekurangan kita itu.
Argumentasi
tersebut akan membantu kita menemukan satu kepingan yang belum terjelaskan
mengenai subjek yang dimaksud “sahabat”. Sebenarnya orang yang mampu menjalin
persahabatan adalah “orang yang tidak baik juga tidak jahat”. Penjelasannya:
“kejahatan tidak bisa
menginginkan kebaikan karena apa yang benar-benar jahat tidak bisa menginginkan
kebaikan; hanya apa yang “tidak baik sekaligus tidak jahat” yang masih bisa
menginginkan kebaikan” (Hal.114)
Pada
titik ini, boleh lah kita menyebut bahwa persahabatan itu mewujud sebagai proses
untuk menjadi yang “baik”. Jadi posisi kita sebetulnya adalah orang yang “belum
baik”. Persahabatan mengindikasikan bahwa kita sedang menemukan sebagian diri
kita yang lain dalam diri orang lain. Itulah pentingnya bersahabat.
Selain
itu, ada hal yang cukup penting untuk disoroti, setelah kita memahami maksud
dari persahabatan di atas, kita harus menyadari, bahwa relasi persahabatan yang
demikian tidak bersifat resiprokal karena sekali lagi horizon dari sebuah
persahabatan adalah kebaikan. Kita tidak bisa bersikap utilitis atau
menggunakan prinsip “apa memberi apa
kepada siapa”. Karena arête yang dituju adalah bukan ephitumea (nafsu-nafsu rendah), thumos
(kebanggaan), tetapi rasio
(pengetahuan).
Terakhir,
dari “Pertarungan” diskusi antara Sokrates dan Menexenos, kita akan belajar
sebuah metode berdebat yang baik lho: “Elegkhos” dan “Eristik”. Apa itu?
Silahkan temukan sendiri ya..
Sampai
di sini, saya ingin bertanya, apakah Anda benar-benar memiliki seorang sahabat?
Salam,
Luthfi
Saya suka tema buku ini, jd pengen baca
BalasHapusPadahal temanya sederhana ya, persahabatan. Oia, silahkan baca aja bukunya, memang jarang dijual di pasaran tetapi online sepertinya banyak.
HapusTrims sudah berkunjung ke blog saya.. :)