KRITIK MOTIVASI DALAM FILM PENDIDIKAN
KRITIK MOTIVASI DALAM
FILM PENDIDIKAN
Oleh
M. Luthfi Ersa. F
Baru
saja tadi pagi saya menonton video motivasi pendidikan berlatar belakang di Negara
India. Videonya berdurasi 6-7 menit. Ceritanya begini:
Kelas
pertama yang menyebalkan. Murid-murid yang bandel, situasi pembelajaran yang
tak terkendali. Sang guru sedih sekali. Namun, pertemuan berikutnya, ia
memiliki cara bagaimana membuat kelas menjadi kondusif bahkan akan terjadi
perubahan. Pertemuan berikutnya, ia menyampaikan suatu kebijakan dalam kelas, “Saya akan memberikan tantangan. Selama satu
bulan penuh, bukan saya yang akan mengisi kelas melainkan kalian semua. Kalian,
setiap pertemuan akan memberikan passion kalian kepada teman-teman kalian. Peraturannya
sederhana: kalian hanya dituntut untuk menghargai setiap apa yang ditampilkan
oleh teman kalian yang tampil”.
Hasilnya?
Miracle! Terjadi perubahan signifikan di dalam kelas tersebut. Sang guru hanya
duduk memperhatikan keunikan masing-masing muridnya di dalam kelas. Happy
ending. Pesan moralnya: guru harus menciptakan ruang bebas di dalam kelas agar
tercipta perubahan sosial secara alami di dalam kelas lalu kelas akan menjadi
hidup. Tidak peduli mata pelajaran apa yang Anda ampu di dalam ruang kelas.
***
BIAS CERITA MOTIVASI
Biasanya,
saya selalu termotivasi ketika melihat video-video motivasi. Terlebih ini soal
pendidikan, di ruang kelas pula. Tapi kali ini berbeda. Saya justru merasa
dibuai oleh khayal. Sebetulnya sudah banyak sekali film-film pendidikan yang
menggugah dengan tema, plot dan twist yang mengandalkan “Miracle in Classroom”,
“Social Dynamics and Social Change in Classroom” yang super hero nya adalah great teacher yang nantinya akan
menghasilkan great student di akhir cerita.
Di
Indonesia, saya selalu berargumen secara pesimis jika UN adalah tujuan akhir
sekolah, Pilihan Ganda adalah cara evaluasi belajar yang menyeluruh (bahkan
essay definitif/non-analitik), maka bisa dipastikan, betapapun menyenangkannya,
betapapun kreatifnya, betapapun luar biasanya metode pembelajaran yang
diciptakan guru di dalam kelas, maka di atas kertas ujian, tidak akan ada
artinya. Sama sekali.
Saya
akan coba jelaskan argumentasi ini perlahan…
Ketika
kita menonton film-film bertemakan pendidikan dari luar, tidak kah kita
memperhatikan bahwa film itu terlalu menekankan proses dari kata kerja “learn”
sedangkan proses dari kata kerja “study” nya hampir tidak pernah tersentuh.
Silahkan Anda tonton film semacam Freedom
Writers, School of Rock dan beberapa film sejenis. Berikan kepada saya part
mana yang menjelaskan mata pelajaran yang diampu sang guru dan bagaimana sang
guru membahas dengan detail proses pembelajarannya? Part film yang
menggambarkan betapa antusiasnya study
membahas bab materi pembahasan ketika mereka sudah termotivasinya baik dari
dalam dirinya sendiri maupun di luar dirinya? Luar biasa dahsyat film itu kalau
Anda benar-benar dapat menemukannya.
Saya
rasa jawabannya akan sulit sekali menemukan hal semacam itu. Bagi saya, film
motivasi pendidikan menjadi sangat tidak berimbang karena seakan-akan hanya
menyajikan satu sisi perubahan situasi yang hasilnya bisa dilihat di bidang
yang paling etis saja.
Mari
kita tidak sekedar berpikir bahwa film itu hanya refleksi dari keberhasilan
pendidikan di luar, tetapi juga dapat mengkritisi proses paling teknikal dari
sebuah pembelajaran yang jarang dibahas di dalam film. Saya akan berikan contoh
nyatanya dari film Freedom Writers,
Erin seorang guru bahasa Inggris yang dalam film itu sama sekali tidak
diberikan gambaran sebagai “guru-bahasa-Inggris” namun konstruksi identitas
yang justru dimunculkan adalah “guru-yang-membebaskan”, sepanjang film. Tidak
pernah ada part ia memastikan atau minimal menguji apakah pembahasan pelajaran
“bahasa Inggris” dapat dipahami dengan baik secara teknis-linguistik oleh
peserta didiknya.
Jelas
di film Freedom Writers, kita
dipamerkan perubahan sosial di dalam kelas itu secara spektakuler, bagaimana
seorang guru bahasa Inggris dapat menerapkan kesadaran multikultural, kesadaran
kritis peserta didik tetapi bias dalam narasi penceritaan efektivitas
pembelajaran materi yang diajarkan di dalam kelas, siapa yang menangkap
pelajaran dengan baik, siapa yang tidak. Tidak pernah dimunculkan. Semuan
selalu digambarkan all is good.
Saya
mulai bertanya, apakah dengan termotivasinya secara psikologis di dalam kelas
itu juga sejalan dengan termotivasinya mereka mengembangkan nalar akademis mereka?
KEGAGALAN MOTIVASI
Tentu
saya percaya bahwa ada guru di Indonesia yang berpotensi menjadi bu Erin dalam
film Freedom Writers, memiliki metode pembelajaran yang kreatif, menyenangkan
sekaligus “membebaskan” (bila meminjam istilah Freire). Guru yang memang
memiliki perspektif pedagogik kritis pun juga tentunya ada. Hanya saja, yang
jadi persoalan, praxis tentang teknis mengajar dari yang paling having fun
hingga yang paling kritis sekalipun akan dihadapkan pada realitas lainnya:
aktivitas mengerjakan soal (dan sialnya, soal kebanyakan PG) dan berujung UN.
Realitas
dalam ruang kelas di Indonesia secara normal kan kira-kira begini: Jumlah murid
35-40 siswa ditambah satu guru. Guru mengampu satu mata pelajaran (belum guru
yang bisa mengampu dobel mata pelajaran). Guru dan Murid di dalam kelas hanya
diberikan waktu kisaran 2 Jam dan itu satu kali pertemuan dan itupun tidak
benar-benar 2 jam. Dalam satu kali pertemuan atau dalam susunan RPP (Rencana
Proses Pembelajaran) guru jelas seperti dikejar “Deadline” untuk mengejar
materi yang akan disampaikan pada hari itu. Hal tersebut juga membuat guru mau
tak mau “patuh” pada materi yang disediakan secara text book. Secara teknis manajerial, itu juga berarti antara guru
dan murid memiliki waktu yang sangat terbatas untuk menyelesaikan urusan pembelajaran
mereka dalam kurun waktu tertentu, 5-6 bulan waktu aktifnya.
Pertanyaan
selanjutnya bila dilihat dari realitas di atas, bisa kah guru masuk kelas, bersama-sama
dengan siswa dalam pertemuan hari itu mengadakan percakapan yang benar-benar
terlepas dari apa materi yang seharusnya diajarkan? Bisa kah guru-guru dengan
bebas menentukan atau berani mengatakan, “hari ini kita MAU belajar apa ya?”
atau “hari ini apa yang BISA kita DISKUSIKAN ya?”. (lihat&zoom gambar di bawah ini)
Meskipun
jawabannya sebetulnya bisa-bisa saja seperti di film-film itu yang kelihatannya
memiliki waktu ajar yang sangat cair di dalam kelas tanpa terikat hari ini
HARUS belajar tentang apa, tetapi di Indonesia tidak bisa dilepas begitu saja.
Karena lagi-lagi, guru dan murid sama-sama diikat oleh goal “mengerjakan soal”.
Atau
kalau mau penggambaran secara ekstrim, cobalah guru di Indonesia meniru persis
apa yang dilakukan dalam kedua guru dalam Freedom
Writers dan School of Rocks. Kita
coba meniru kelas menulisnya bu Erin di mana setiap anak bebas menuliskan kisah
hidupnya dan sejarah tentang diri nya sendiri di setiap pertemuan, membuat
project penggalangan dana secara mandiri untuk memanggil tokoh inspirasi dengan
mengambil beberapa pertemuan kelas. Cobalah meniru kelas pak Dewey yang selalu
mengisi pertemuannya dengan program kelas musik dan ia menamakan “Rock Band”,
padahal ia hanya sekedar guru pengganti di mana seharusnya mungkin anak-anak
mempelajari sejarah dunia atau ada kelas membacanya. Kira-kira apa yang akan
terjadi? Perubahan spektakuler/”miracle”? Mungkin saja.
Hanya,
bayangkan juga jika dalam 10X pertemuan guru-murid yang seharusnya belajar 4
bab kemudian 6X pertemuan dilakukan untuk program “innovating motivation” atau
“critical motivation”? Ketika ada tes standar, mereka tidak bisa jawab apa-apa.
Saya kira itu juga tidak bijak. Kemungkinan besar, ujungnya guru (tetap) akan menjadi sasaran
tembak atas kesalahan teknis itu.
Atau,
bila Anda guru Matematika atau Fisika coba lah memutar film The Imitation Game yang memperkenalkan
seorang Alan Turing seorang Matematikawan pencipta yang kita sebut dengan
komputer dan Theory of Everything
yang menceritakan Stephen Hawking seorang fisikawan. Saya yakin mereka akan
senang di kelas. Tapi bagaimana mengaitkannya dengan materi yang sedang
dipelajari, karena sepertinya dari film tersebut lebih banyak belajar tentang
nilai kehidupan dan percintaan ketimbang hitung-hitungan.
Terakhir,
saya hanya ingin mengatakannya sekali lagi bahwa bahkan niat dan upaya baik guru
(dalam bentuk apapun) menjadi gagal total hanya karena evaluasi pembelajarannya
dibatasi oleh secarik kertas pilihan ganda. Segala motivasi menjadi luntur
kecuali kita diingat sebagai “Guru yang asyik di kelas”
***
Kurang
lebih itulah kritik saya terhadap motivasi yang dihadirkan di dalam film-film
bertema pendidikan.
Jadi,
argumentasi saya, perubahan sikap seseorang yang didorong melalui ragam
motivasi di dalam kelas akan sangat sulit ekuivalen dengan perubahan
kognitifnya.
Tidak
semua yang menyenangkan itu membebaskan…
Saya kagum dengan ulasan yang penuh kecermatan dalam memaparkan bias (atau barangkali juga realitas semu) film-film motivasi pendidikan yang hampir mustahil relevan dengan pendidikan di Indonesia dengan UN sebagai tujuan akhir sekolah dan PG sebagai cara evaluasinya. Tidak ada kritik yang bisa saya ajukan untuk tulisan ini dan, karena sebatas komentar, barangkali seperti ini: bagaimana dengan semacam kegiatan tambahan di luar jam pelajaran yang mungkin bisa mengisi kekosongan aspek pembelajaran kreatif atau yang "membebaskan" itu? Atau jika itu dirasa akan semakin membebani siswa, bisakah kita pertanyakan mengapa "disusun keharusan" untuk menguasai materi yang begitu padat, yang untuk dapat sekedar mengerjakan soal-soal standar harus melalui proses "study" yang melelahkan dan yang membuat guru menuruti saja membahas soal-soal text book untuk dikerjakan karena dihantui "deadline". Saya rasa kita semua (orang-orang yang mempedulikan, atau minimal sekedar memikirkan tentang pendidikan di negeri kita) memiliki tujuan yang sama untuk menyelaraskan pendidikan yang "membebaskan" dan kreatif namun tetap tidak meninggalkan "study", karena sulit untuk mendorong perubahan kognitif siswa hanya dengan motivasi-motivasi yang bias seperti di film-film itu. Tulisan Anda menarik sekali.
BalasHapus