Sebatas Angka



Sebatas Angka

Wacana yang sering meliputi dunia pendidikan kita hari ini agaknya ada yang tidak berubah dari waktu ke waktu. Dari hal yang paling makro hingga paling mikro pun ada. Salah satunya adalah soal Nilai. Ya, Nilai sebagai hasil dan dalam bentuk angka tentunya. Terkadang, bisa jadi pembicaraan ringan hingga pembicaraan ‘serius’.

Kemarin, sewaktu saya menunggu kepulangan adik saya ketika jam pulang sekolah, saya mendengar obrolan-obrolan ringan di kalangan ibu-ibu yang juga menunggu anaknya pulang sekolah. Obrolannya menarik, mempersoalkan kesiapan menghadapi ujian saringan masuk SMP. Mau tidak mau, karena saya duduk agak dekat dengan mereka, maka saya ikut mendengar perbincangan mereka, kendati saya tengah membaca buku yang saya sengaja bawa dari rumah.

Mereka membandingkan SMP-SMP favorit di sekitar wilayah Depok. Ternyata, ada yang mereka khawatirkan, yakni Nilai UN (Ujian Nasional) yang menjadi nilai saringan masuk ke SMP yang dituju. Saya kira akan ada perbincangan lain. Tapi ternyata tidak. Perbincangan mereka tetap seputar Nilai hasil Ujian yang harus dicapai oleh anak-anak mereka.

Semisal, untuk nilai masuk, ada sekolah yang mematok nilai UN 26 koma sekian, alhasil nilai-nilai yang lebih rendah akan tersingkir dan mau tidak mau mencari sekolah lain yang mematok nilai agak rendah. Hal ini membuat sebagian ibu-ibu khawatir dengan hasil capaian anaknya kelak.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah persepsi anak-anak kelas SD tentang Nilai. Mereka tentu mengetahui informasi bahwa ada nilai yang harus dicapai untuk bisa masuk ke sekolah menengah favorit pilihan mereka. Tak heran apabila kelas terkadang bisa menjadi arena Gladiator, meski perumpamaan ini agak berlebihan.

Nilai adalah Segalanya

Anak-anak SD yang seharusnya menikmati masa ‘kanak-kanak’ dan kegembiraan mereka di sekolah, justru dituntut harus mendapatkan nilai setinggi-tingginya, di semua Mata Pelajaran kalau bisa, minimal selalu lulus Try Out UN –Dan UN pula-dengan hasil yang tinggi. Selain itu, dituntut mengerjakan soal-soal latihan ‘Sukses Mengerjakan Ujian Nasional’. Bayangkan itu! 

Setiap hari dituntut untuk bangun pagi-pagi untuk datang ke Jam ke-0 hanya untuk pendalaman materi. Pulang sekolah sampai sore. Kemudian harus mengikuti les bimbingan belajar hingga petang. Malamnya, mengerjakan tugas PR dan kembali latihan soal yang akan dibahas. Semata-mata yang dicari adalah ‘Sukses mengerjakan soal UN’ dan mendapatkan nilai setinggi-tingginya.

Tidakkah anda berfikir bahwa hal itu adalah seperti “Pabrikasi” anak sekolah? Saya jadi teringat lagu+video Pink Floyd yang dikenalkan oleh dosen saya yang berjudul Another Brick In The Wall. Lagu tersebut menggambarkan bagaimana sekolah sebagai bagian dari Institusi Pendidikan tak lebih dari menjadi semacam Industri yang memproduksi sebuah Produk semata.

Murid adalah (juga) Manusia

Saya menyadari bahwa Nilai adalah salah satu instrument penting untuk mengukur sejauh mana seorang Murid menguasai satu Mata Pelajaran tertentu. Ya, semacam Evaluasi Pendidikan paling Formal. Namun, kita tentu harus melihat dari sisi lain.

Tentu kalangan Akademisi dan aktor-aktor pendidikan tahu istilah Tabula Rasa yang diungkapkan oleh John Dewey. Bayangkan, apabila murid-murid di Indonesia terpaku dan terfokus pada suatu tujuan pendidikan yang disebut dengan ‘Nilai’. Bahkan sejak SD. Menyedihkannya, Nilai hanya dianggap sebatas Angka. Bukan suatu Upaya dan Karya atau ‘Proses’. 

Hal tersebut akan mendorong munculnya efek Sosiologis dalam tindakan sosial mereka di sekolah yang hanya akan berorientasi pada sebatas, “Bagaimana caranya mendapat nilai yang bagus dan setinggi-tingginya dibanding teman-teman lain?” tanpa tahu apa sebenarnya tujuan mendapatkan Nilai yang tinggi selain prestise sosial yang akan mereka rasakan. Persaingan dalam kelas akan menjadi hal biasa dilakukan.

Padahal, anak-anak kita, adik-adik kita, saudara-saudara kita yang menyandang status Murid adalah manusia juga yang membutuhkan Kenyamanan dan dukungan dalam menjalani proses kependidikannya. Karena, segala macam konsekuensi dari berbagai sudut akan mudah menghampiri yang kemudian akan mempengaruhi baik kondisi fisik maupun psikis Murid ketika mereka tidak atau belum mampu mencapai target penilaian.

Merubah Haluan

Dari obrolan diatas, saya jadi ingin merefleksikan sesuatu. Ketimbang membicarakan hasil akhir yang akan dicapai oleh anak-anak, adik, atau saudara mengapa orang tua tidak sesekali mengajak rekreasi sejenak untuk menyegarkan kembali pikiran mereka. Bukan menyuapi soal-soal terus-menerus.

Ketimbang membicarakan hasil akhir anak didik yang terkesan ‘harus’ dicapai, mengapa pendidik tidak mengadakan games-games ringan di ruang kelas agar suasana tidak ‘panas’ dan menegangkan. Sesekali meminta ‘cerita’ dari para muridnya dalam selembar kertas juga bukan hal yang buruk seperti di film Freedom Writers

Ketimbang membicarakan hasil akhir para siswa, mengapa kita sebagai orang-orang yang berada di sekitar mereka  berhenti menggunakan kalimat,”Kamu Harus Bisa…” tetapi “Kamu Pasti Bisa… Melakukannya dalam batasmu!”. Kalimat positif akan membangkitkan Motivasi Intrinsik mereka pula.

Tentu kita menyadari bahwa Murid bukanlah pegawai pabrik yang ‘Kejar Setoran’ kan?

Semoga Bermanfaat

Dan, Silahkan jika ada yang ingin berkomentar…
Terima Kasih

Komentar

  1. Murid tidak selamanya harus belajar saya namun harus ada hiburan juga biar gak stress menghadapi UAN nanti. Dan UAN itu masih menjadi sesuatu yang menakutkan bagi siswa/i

    BalasHapus
  2. Nah, Refreshing menjadi salah satu hal yang penting ya mbak Titis dalam proses pendidikan anak-anak.. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer