Review Kuliah Umum "Manusia dan Modernitas"
“Manusia dan
Modernitas”
Halo
pembaca yang arif…
Apa
kabar? Semoga yang baik-baik menyertai kita hari ini ya..
Kali
ini, saya mau mencoba mereview salah satu kuliah umum yang diadakan oleh LKM
(Lembaga Kajian Mahasiswa) UNJ yang diberi nama LKM EXPO kemarin. Acara ini
dibagi dalam dua sesi, yakni Kuliah umum dengan tema “Manusia dan Modernitas”
dan lalu disambung dengan peluncuran enam buah buku yang merupakan buah tangan
dari anak-anak LKM itu sendiri. Hasilnya? Sangat Menarik!
Pagi-pagi
sebelumnya jujur saya agak malas untuk datang karena cuaca pagi kemarin memang
agak dingin di Depok. Tapi mengingat tidak hanya pembicara namun juga tema yang
diangkat menggelitik untuk ditelisik lebih lanjut, alhasil meluncurlah saya ke
Gd.Sergur UNJ pagi kemarin.
Yang
jadi pembicara untuk kuliah umum ini adalah Prof. Dr. Mudji Sutrisno dan Irsyad
Ridho, M.Hum. Tiada dari keduanya yang membosankan ketika membawakan materi.
Keduanya memiliki perspektifnya sendiri untuk menelaah lebih jauh tentang apa
dan bagaimana Modernitas itu.
Secara
sederhana, Prof. Mudji –yang kita semua pasti sudah paham beliau akan
memberikan pandangannya lewat perspektif ilmu filsafat- memberikan hakikat
modernitas dan awareness tentang
kaitan antara modernitas dalam arus globalisasi. Lain halnya dengan pak Irsyad
yang tidak kalah menariknya, melihat masalah modernitas dengan menggunakan
konsep Modernitas dari seorang tokoh bernama Walter Benjamin dan dari sudut
pandang humaniora.
Hakikat Modernitas
Pertama-tama
saya akan mulai dari pemaparan pak Mudji tentang hakikat modernitas. Dalam
kepala kita, ketika kita membicarakan kata Modern,
hasil interpretasinya kita akan gali dalam ingatan kita tentang kata-kata yang
sering terdengar di telinga: Modernitas,
Modernisme dan Modernisasi. Tanpa sebetulnya kita benar-benar mengetahui makna
didalamnya. Tanpa kita sadari.
Modern
berasal dari kata Modis yang berarti
‘Baru’ atau jauh lebih tepat dikatakan ‘Diperbaharui/Sesuatu yang dibuat baru
dari yang sebetulnya sudah ada’. Mungkin kita juga mengenal kata Invention dalam konsep ilmu Sosiologi.
Bila
kita sekarang menggantinya dengan kata Modernitas, maka yang terjadi adalah
kita memaknainya sebagai suatu kata benda. Dalam Modernitas, terjadi sebuah
Modernisasi, yang pada imbuhan –isasi nya tersebut dimaknai sebagai suatu
proses. Berarti ada proses memodernkan sesuatu. Lebih konkretnya, ada suatu
tatanan sosial yang dirubah, diperbaharui dalam masyarakat.
Kemudian
dari suatu proses yang terus-menerus dijalankan dalam satu arus waktu tertentu lalu berkembanglah ide Modernisme. Kali ini titik tekannya adalah –isme,
suatu paham. Paham apa? Paham dalam konteks ini tidak lain adalah sesuatu yang
harus diperjuangkan dan tidak pernah berhenti untuk diperjuangkan.
Tata Sosial yang Berubah
Dalam
hal ini, sebetulnya arus modernisasi tidak benar-benar membuat sesuatu yang
baru. Secara fisik melalui perkembangan teknologi, mungkin ya, terjadi Discovery. Tetapi, dalam hal ini,
modernisasi hanya membantu mendorong sedemikian rupa berubahnya suatu sistem
sosial maupun kultural di masyarakat. Sesuatu yang memang sudah mapan menjadi order dan disepakati oleh masyarakat
dalam suatu wilayah.
Kita akan memahami maksud paragraf diatas apabila kita menelaah penjelasan Auguste Comte tentang tiga
fase pemikiran manusia. Dari tahap Teologis, Metafisik dan Positivis. Pada
tahap Teologis, manusia selalu mengkaitkan segala hal yang terjadi di dunia
dikaitkan kepada kekuatan Adikodrati, yakni hal-hal diluar diri manusia. Yang
kemudian pemikiran tersebut bergerak ke arah Metafisik dimana pemikiran manusia
sudah mulai percaya kepada hukum-hukum alam, tidak lagi terpaku pada
sebab-sebab kuasa dewa-dewa seperti sebelumnya. Terakhir, perkembangan
pemikiran manusia sampai pada tahap yang paling rasional. Dimana segala sesuatu
–dalam pandangannya- bisa dijelaskan melalui deskripsi-deskripsi ilmiah.
Nah,
itulah kiranya mengapa terjadi invention
dalam suatu tatanan sosial masyarakat. Ada sisi menarik dari proses Modernisasi
dimana rasionalitas menjadi semacam Goal Attaintment yang dijadikan sandaran dalam segala
tindakan praksis kita sehari-hari. Namun, dari pemaparan Pak Mudji, kiranya
perlu dikritisi, Rasionalitas seperti apa yang muncul dari proses Modernisasi
ini.
Rasionalitas
dicirikan pada suatu kebenaran yang bisa terukur. Ada dua tipe Rasionalitas,
yang diungkap Pak Mudji yakni Rasionalitas Instrumentalis dan Rasionalitas
Teleologis (mudah-mudahan tulisannya benar, mohon dikoreksi bila ada yang
salah). Ada perbedaan yang cukup signifikan diantara keduanya.
Rasionalitas
Instrumentalis dipandang sangat sempit dan sangat pragmatis sebagai sebuah
‘Sarana’. Hal ini bisa kita lihat dari kecenderungan Partai Politik dan Para
Politisi menuju pemilu tahun ini. Sebaliknya, Rasionalitas Teleologis,
berorientasi pada Tujuan yang bersifat Emasipatoris. Rasionalitas ini
mengarahkan kita kepada satu tujuan yang sangat humanis, bermartabat, dan
berorientasi pada kesejahteraan bersama. Inilah kiranya proses Modernisasi yang
diidam-idamkan dan sedang dituju oleh kita semua. Tentunya.
Modernisasi dalam Arus Globalisasi
Pak
Mudji dengan cermat mengkontekskan paham Modernisme di tengah-tengah arus
globalisasi. Globalisasi, sebagaimana yang dipaparkan oleh Pak Mudji adalah
proses secara ekonomi, politik, sosial dan budaya dunia semakin terhubungkan
satu sama lain.
Dari
situ, Pak Mudji menekankan bahwa modernisasi yang terjadi menyebabkan segala
sesuatunya diuangkan. Menciptakan tradisi yang bersifat ekonomis yang jauh dari
pandangan emansipatoris. Segala sesuatunya diuangkan. Maklumlah karena tradisi
yang demikian, Pak Mudji menulis tentang Bingkai Konsumeristis dan Bingkai
Nilai. Dalam hal ini, Proses modernisasi tidak hanya mengubah sistem ekonomi
makro, tetapi menyerang nilai-nilai kultural yang bahkan sudah mengakar kuat
dalam diri kita. Sampai sejauh itu ya…
Masalah filter
Nah,
inilah yang kemudian membuat saya berfikir ketika diskusi berlangsung, menyoal
filter. Saya jujur saja agak gemetar ketika memahami bahwa globalisasi pun
menjadikan modernitas seperti meteor yang jatuh menimpa tanpa adanya proteksi
yang cukup memadai. Maka hasilnya sangat destruktif atau minimal kita bisa
berkaca dari bagaimana seseorang melakukan suatu tindakan sosial yang
berorientasi pada rasionalitas instrumental.
Hal
tersebut pada akhirnya mendorong saya untuk bertanya kepada Pak Mudji pada sesi
tanya jawab. Pertanyaan saya kurang lebih begini,
“Bila semua bernilai ekonomis maka pada akhirnya daya kreativitas
manusia akan semakin tumpul, perkembangannya hanya akan maju apabila ada
‘fulus' dan itu membahayakan, kita akan ‘miskin’ orang-orang seperti pelukis
Affandi, dsb. Nah, kira-kira apa dan bagaimana kita merumuskan filter terbaik
untuk minimal menahan arus Globalisasi yang terkesan kejam ini?” .
Lantas,
bagaimana beliau menjawab pertanyaan tersebut?
Saya
masih ingat bagaimana ia mengawalinya jawabannya,
”Pertanyaan Luthfi, juga merupakan pertanyaan saya dan saya kira
pertanyaan kita semua..”.
Lalu
ia menjawab pentingnya mengaktifkan kesadaran kritis. Infiltrasi yang harus
dibangun adalah secara terus-menerus mengaktifkan kesadaran kritis dalam diri
kita. Kesadaran kritis tersebut, akan sangat membantu kita menafsir sebuah
bahasa agar tetap pada tempatnya. Untuk itulah ia kita butuh apa yang disebut Rasionalisasi Ordering. Rasionalisasi
itu lah yang akan membantu kita menafsir, mengkritisi dan menjaga bahasa agar
tetap pada tempatnya.
Hanya
dengan menjaga kekritisan dalam diri kita, kita akan menuju ke rasionalitas
emansipatoris tadi, melihat&merasakan secara langsung kondisi masyarakat, mikro dan juga ‘menapak
bumi’. Intinya, kesadaran kritis bisa dibagi menjadi dua. Untuk mengkritisi
diri sendiri dan juga untuk mengkritisi suatu proses yang sedang berjalan.
Untuk meng-humanisasi, bukan meng-Dehumanisasi.
Modernitas Melankolis
Ini
cara pandang lain yang diberikan oleh Pak Irsyad, dosen FBS UNJ. Melihat
Modernitas dari sudut pandang Humaniora dengan Perspektif Walter Benjamin yaitu
Modernitas Melankolis. Ketika mendengar kata melankolis, pastinya kita akan
mengingat dan teringat sesuatu yang sedih-sendu ya. Padahal kiranya tidak
seperti itu. Pak Irsyad dengan uniknya menggambarkan Modernitas sebagai suatu
jenis kesadaran tertentu.
Ia
menggunakan metafor cara pandang arsitek dalam membentuk suatu bangunan. Ada Sense of Topography yang harus dimiliki
oleh seorang Arsitek agar bisa merancang sebuah bangunan dengan sebaik-baiknya.
Saya
kutip saja bagaimana ia menjelaskan Modernitas,
“Modernitas
itu sebagai jenis kesadaran tertentu, yaitu kesadaran yang dihasilkan oleh
posisi tatapan vertikal terhadap kehidupan. Kesadaran ini membentuk Subyek yang
dapat melepaskan diri dari keterikatannya kepada kehidupan… Dengan demikian,
kehidupan yang tadinya semrawut dan sulit dilihat kini seolah ditatap dari
kejauhan untuk dipahami, dikuasai, diarahkan dan dikendalikan.”
Ada
suatu hal yang begitu menarik perhatian saya, lagi-lagi tentang kata
Melankolis. Mendengar kata ini, saya teringat beberapa waktu yang lalu membaca
tulisan Caping (baca: Catatan Pinggir) Goenawan Mohammad yang berjudul
Melankolia. Dengan logika Siput, bahwa "ada kemandegan ditengah kemajuan". Ada
korelasi antara Utopia dengan Melankolia. Gambaran ini dijelaskan oleh
Gunter Grass (GM; 2014), dimana kombinasi utopia-melankolia
mengisyaratkan bahwa “Mahluk itu perkasa
namun murung”.
Dan
saya menangkap kesan ini dari paparan Pak Irsyad dalam upayanya mendefinisikan
Modernitas Melankolis dalam kutipannya sebagai berikut,
“Modernitas
melankolis tidak meninggalkannya melainkan tetap mengenangnya dengan sikap yang
sendu karena betapapun sejarah patahan kultural yang dialami Indonesia masih
menghantui kehidupan kebudayaan kita.”
Tentu
Pak Irsyad ingin menunjukan gejala diatas dengan merumuskan fenomena terjadinya
patahan-patahan tajam kebudayaan kita yang disebabkan oleh dua hal. Pertama,
memang terjadi Diskontinuitas kebudayaan oleh rezim-rezim yang pernah berdiri
di Indonesia. Kedua, ada kesenjangan antara Modernitas dan Modernisasi. Seperti
halnya kesenjangan Das Sein dan Das Sollen.
Maka
untuk itulah Modernitas Melankolis dengan Eros nya adalah aktivisme kenangan
atau kegiatan untuk merajut kembali patahan-patahan kultural dahulu. Meski pada
titik ini, saya ingin mencoba mengkritisi, Ada kemungkinan Modernitas
Melankolis hanya akan sampai dan terhenti pada satu titik, merajut. Lalu
setelah itu?
Pada
titik ini, saya ingin sekedar berargumentasi bahwa suatu Modernitas yang
seyogianya mengarah kepada Move On
membutuhkan Eros yang lain, yakni pandangan Visioner. Setelah kita menapak bumi
dan berhasil merajut, maka kiranya kita tidak bisa berhenti disitu. Merumuskan
pandangan kedepan adalah instrument terpenting juga yang harus diberi concern. Hal ini pernah dilakukan oleh Bung Karno dalam periode waktu itu. Kini, kita pun bisa sama-sama merumuskannya dalam periode waktu yang kita jalani saat ini.
Terima Kasih.
Salam
Sukses bagi teman-teman LKM UNJ dan Para Pembaca
Semoga
Bermanfaat..
Komentar
Posting Komentar