Belakangan Ini: Fusi #1
Belakangan Ini: Fusi #1
Humbolt Universitat du Berlin |
Kalau waktu terus berdetik, jelas menandakan waktu itu
bergerak kan? Waktu berdetik, namun manusia tak selalu begitu sepertinya. Ada
yang diam. Namun yang alami tetap bergerak, ya, jantung dan paru-parunya. Yang
satu berdetak, yang satu lagi kembang-kempis memompa udara. Itu gerak tubuh.
Tak demikian gerak sosialnya.
Tepat pada titik itulah seseorang rentan menjadi melankolis.
Ada gap yang tak tertanggulangi
antara rasa, asa dan realita. Realita jelas hidup, bergerak seperti roda berputar.
Asa tetap hinggap di otak, kadang muncul tiba-tiba. Kadang menjengkelkan,
kadang benar-benar menyenangkan. Asa yang lebih sering mencipta khayal. Bila
dipadukan dengan rasa, maka khayal akan menjadi harapan.
Harapan dalam bentuk kata benda itu bermula di otak dan
bermuara hampir ke semua bagian tubuh. Lucunya, tanpa sadar harapan yang
menggema dalam jiwa itu berpotensi terartikulasi pada raga. Menuju sesuatu yang
terkhayalkan. Dalam bentuk apapun. Sampai tiba dimana harapan itu bertemu
dengan realita, kita akan menjadi tahu dan paham betul bahwa harapan itu
teramat abstrak.
Kita mulai meragu, dalam khayal, mungkin kita bisa tersenyum
karena harapan dalam kendali otak yang luar biasa dan tiada lain apa yang kita harapkan
berada di satu sisi positifnya yang paling absolut. Tapi, lagi-lagi gerak tubuh
kan alami. Kita dipaksa bangun dengan cara yang sangat halus, bisa juga dengan
cara yang kasar sekalipun. Untuk kembali tersadar.
***
Sekarang, minimal kita sudah punya dua hal penting di kedua
tangan. Harapan di tangan kiri dan realita di tangan kanan. Keduanya tak ingin
berbenturan, (bahkan kalau bisa tak usah bertemu) tapi apalah daya, mereka
seperti magnet yang memiliki dua kutub yang bersebrangan, berbeda, tapi saling
tarik menarik, kan? Pertanyaannya, kenapa?
Perlu diingat, sekali lagi, keduanya sama-sama keras loh.
Keduanya, bertemu pun akan berbenturan dengan keras juga,
Harapan yang punya kutub positif terkadang sering mengada-ada. Realita
bersikeras bahwa dirinya nyata dan memang benar-benar keras. Tapi kalau
dipikir-pikir lagi, keduanya memang sering saling mengingatkan satu sama lain.
Mereka berdua senang bercengkrama.
Yang satu mengingatkan agar lebih meng-‘ada’-kan kesenangan
abstraknya. Yang satu mengingatkan bahwa teruslah ber-abstrak-ria dengan
pikiran yang sebaik-baiknya pikiran dapat berpikir tentang yang baik.
Ditengah-tengah keduanya, dan yang sebenarnya mereka jaga
keseimbangannya adalah harapan. Bukankah kedua-duanya sedang menatap ke depan?
Baik yang nyata, maupun yang asbtrak sekalipun? Dan mereka, dengan seluruh
perangkat raga manusia selalu menuju ke arah itu? Harapan.
Bukankah itu visi?
Jiwa yang bertemu raga pada akhirnya berjalan, meski tak
tahu pasti bagaimana ke depan… Menyusur harapan.
***
Saya ingin ke Jerman…. Belajar Sosiologi disana….
Komentar
Posting Komentar