Melawan Arus Toga
MELAWAN ARUS, TOGA
Apa
kabar?
Semoga
kabar baik menyertai kita semua, ya… Saya hanya ingin sedikit bercerita.
Toga
Saya
sedang merenungkan dan berpikir tentang sesuatu hal. Satu bulan terakhir ini,
Agustus tepatnya, musim-musimnya wisuda. Toga melayang-layang terlempar di
udara, menuju awan diiringi dengan senyuman gembira. Ter-captured oleh berbagai kamera dan bertebaran di sosial media.
Senang rasanya, bahagia rasanya. Saya? Belum.
Siapa
yang tidak ikut senang untuk berbagi kebahagiaan menjadi seorang Sarjana.
Sekali lagi, SAR-JA-NA! Selama kurang lebih tiga setengah hingga empat tahun
para mahasiswa susah payah kuliah pagi-sore, kadang-kadang letih karena
deadline tugas dari Dosen yang terkadang sulit untuk dilakukan, penelitian sana-sini,
dan terakhir bertemu dengan SKRIPSI (yang bagi sebagian mahasiswa disebut
sebagai Tugas Akhir (TA)).
Skripsi
boleh jadi hal terberat yang harus dan mau tak mau dilalui oleh mahasiswa
selama kuliah, mungkin ada juga yang tidak membuat Skripsi tetapi membuat tugas
lain. Tetapi, ujung-ujungnya satu, TOGA dan Gelar. Skripsi itu harus selesai!
Itu intinya…
Siapa
yang tak senang menggandeng Orang Tua ke gedung peresmian gelar, melihat
anaknya dipanggil ke podium kemudian dipakaikan toga oleh Rektor (yang mungkin
hanya ditemui atau bahkan bertatap muka mahasiswa dalam hitungan jari selama
masa kehidupan perkuliahan di Universitas). Setelah itu berkumpul bersama
teman-teman yang katanya “seperjuangan” dan se-Gank-an. Indah rasanya… Saya? Belum.
Disini, Saya…
Ya..
(beberapa) rekan seangkatan sudah memakai toga. Membanggakan kedua orang
tuanya, atau salah satu orang tuanya. Temannya, Pacarnya (dan mungkin
Selingkuhannya) karena sudah melampaui “tugas akhir” yang berat itu. Memang
waktunya untuk merasakan kesenangan itu. Meski kita dan mereka sama-sama tahu
bahwa kesenangan ini hanya akan terpuaskan dan berhenti tepat disaat sama-sama
sadar bahwa setelah ini akan bertemu dunia yang lebih luas lagi, lebih keras
DU-NI-A KER-JA.
Sekarang
saya baru sadar bahwa sekarang sudah semester 9. Berarti sebetulnya melewati
batas waktu normal perkuliahan yang 4 Tahun, saya; 4,5 Tahun. Dan di kampus
saya, Universitas Negeri Jakarta, untuk menikmati acara Wisuda digelar sekitar
enam bulan lagi, atau itu berarti sekitar bulan Maret. Yang itu berarti saya
akan menikmati “kesenangan” dan “senyuman” itu di tahun 2015 (yang juga berarti
saya menambah satu semester lagi dan lengkap perjalanan perkuliahan saya
memakan waktu 5 Tahun).
Apakah
itu mengganggu saya? Sama sekali tidak. Sesekali gusar? Ya. Saya hanya merasa
tidak enak secara etis kepada kedua orang tua saya, pertanyaan “Si dia
(teman-teman lainnya) sudah lulus, kamu jadinya kapan?”. Seperti yang sudah
panjang lebar dijelaskan di paragraf atas, begitulah kenyataannya. Sekalipun
Skripsi saya dikerjakan dan selesai di semester ini, maka tetap wisudanya tahun
2015. Sedih juga rasanya, saya merasa agak bodoh jadinya.
Tapi…
Tidak
lah. Tidak. Saya memang telat mengerjakan bab per bab nya. Tapi, bukan karena
saya bodoh. Malas? Sesekali, harus diakui, Ya. Tapi diluar alasan teknis itu,
saya terlalu banyak revisi dan memikirkan kedalaman substansi isi Skripsi ini.
Beruntung, saya justru menikmatinya, kebetulan Dosen Pembimbing saya cukup
mendukung dan mendorong untuk membuat Skripsi yang berkualitas, minimal
‘berisi’. Tak hanya asal cepat selesai.
Saya
harus menghadapi dua kondisi dan dua pemikiran. Kondisi pertama, Skripsi saya
sedang membahas tentang Pendidikan Populer (Popular
Education) dalam kaitannya dengan pengembangan Literasi Kritis dalam TBM
(Taman Baca Masyarakat) yang ditinjau dari pemikiran Paulo Freire. Saya, baru
kali pertama membahas tiga unsur ini: Pendidikan Populer, Literasi Kritis, dan
Paulo Freire itu sendiri. Disini saya berpikir bahwa saya merasa masokis karena
mengambil tema seperti itu. Tapi, dosen pembimbing saya selalu menguatkan dan
meyakinkan saya bahwa,”Bukankah Skripsi itu untuk menguji dan menemukan cara
pandang baru untuk melihat suatu
realitas dan permasalahan sosial?”. Kita bukan sedang bikin Skripsi “ecek-ecek”
hanya demi alasan cepat lulus aja kan?
Disitu
saya tahu bahwa saya sedang dalam perjalanan menuju Skripsi yang bermakna dan
moga-moga bermanfaat ke depannya. Saya juga menjadi tahu konsekuensinya bahwa
apa yang saya lakukan akan berdampak pada “keterlambatan” untuk suatu
“kedalaman”. Saya sedih memang, secara teknis memang terasa menyedihkan. Tapi,
saya jadi merasa lebih percaya diri terhadap kedalaman kualitas disiplin ilmu
yang saya cintai ini, Sosiologi.
Dari
skripsi saya, saya malah bisa jadi lebih paham tentang Pedagogik Kritis,
bertemu dengan beberapa ilmuwan pendidikan dan sosiologi, juga Guru Besar ilmu
perpustakaan, saya juga bisa membaca lebih banyak buku yang itu berarti
bertambahlah kesadaran saya bahwa sebetulnya masih banyak hal yang saya tak
pahami dengan baik, mengikuti seminar
dan berbagai kegiatan akademis lainnya. Yang mungkin tak semua mahasiswa yang
telah menyelesaikan Skripsi itu menghadapi “kesenangan” yang saya rasakan ini.
Membuat Jalan dengan Berjalan
Orang
Tua saya menyesali dan saya rasakan kesedihan itu. Kondisi ini menyebalkan
memang. Tapi, pada satu sesi, malah kami salig menguatkan. Saya, dengan
berbesar hati dengan hati yang berat, selalu mengatakan, terkhusus kepada Ibu
saya ketika ditanya kapan lulus, saya selalu mengatakan kepada beliau,”Gapapa,
Bu. Mereka memang cepat menyelesaikan Skripsi. Tapi, apakah isi pikiran dalam
Skripsi jadi mereka bisa berguna bagi orang banyak/ada manfaatnya kah? Kalau
iya, Upi baru iri. Tapi kalau hanya sekedar menyelesaikan tugas akhir, Upi sama
sekali ga iri”.
Tapi,
dalam kondisi paling Naif, ada kalanya memang saya merasa dan
bertanya-tanya,”kenapa gue harus ambil tema Skripsi yang susah begini sih?
Kenapa gue Masokis? Kenapa ga ambil yang mudah aja biar cepat kelar? Wisuda
jadi lama!”. Ibu saya mengambil posisi,”Gapapa, Pi. Yang namanya Rezeki orang
kan beda-beda, Ga usah khawatir. Kalo sudah Rezeki, ga ada yang bisa menahannya
. Kan, Semua sudah diatur sama Allah SWT”. Sesaat, saya berpikir. Oh iya ya,
benar juga!! Kenapa harus iri sama yang sudah wisuda? Belum tentu disiplin ilmu
mereka juga bisa dipertanggungjawabkan. Sekelebat, kata-kata dosen pembimbing
saya di paragraf atas juga menguatkan saya. Saya menganggap Dosen Pembimbing
saya seperti Partner in Crime di kala
mahasiswa lainnya menganggap DP mereka itu menyebalkan. Disini, saya merasa
beruntung..
Saya
sudah dua bulan ini sejak puasa belum bertemu DP lagi sih, dan mungkin saya
akan kena tegur. Tapi, biarlah. Toh, saya bukan berniat menunda, saya justru
mencari data-data lagi serta mencoba menajamkan analisis di Bab 4 ini. Belum
lagi, cukup menyenangkan ternyata memiliki pengalaman ikut berbagai seminar.
Saya merasa on fire, dan saya justru
merasa bersemangat belakangan ini untuk menyelesaikan Sidang-sidang Skripsi
ini.
***
Belakangan,
selain karena hal di atas, saya juga merasa beruntung ya mendapat dua semester
ke depan. Dengan ini saya masih menyandang status mahasiswa, kesempatan untuk
menulis di media, ikut lomba essay atau seminar-seminar dan acara-acara lain
juga ikut besar selama satu tahun ke depan. Belum lagi, kesempatan untuk
mengembangkan diri untuk menambah kemampuan basic
skill lain selain Sosiologi juga semakin terlebar, saya sangat tertarik
untuk mempelajari Bahasa Inggris dan Jerman.
Insyaallah
kalau urusan Skripsi ini selesai di semester ini, maka saya juga akan punya
banyak waktu untuk belajar hal-hal lain yang menarik dan fungsional tentunya
sambil menuju Wisuda kala ada beberapa mahasiswa lain justru terburu-buru
mencari kerja saat urusan Skripsinya saja belum selesai. Tapi biarlah.. Mereka ya
urusan mereka gitu ya, he he he…
So,
Semangat… Saya!
Komentar
Posting Komentar