Edisi Halloween #1: Hingar Bingar Halloween

Hingar Bingar Halloween

Ragam Interpretasi Halloween

Saya tidak akan membahas mengenai awal mula atau sejarah tentang Halloween, saya kira kita semua bisa searching di google ya. Itu pun saya yakin para pembaca akan mendapatkan penjelasan umum mengenai Halloween sebagai sebuah even. Yang menarik dikaji disini bukanlah bukanlah apa itu Halloween, tetapi bagaimana interpretasi makna atas sebuah even yang bernama Halloween tersebut.

Kalau saja kita melakukan pembacaan sederhana di Wikipedia, kita akan diantarkan pada pemahaman bahwa Halloween berawal dari festival Samhain yang dilakukan oleh suku Kelt yang menganut paganism. Lantas, mengapa 31 oktober? Bangsa dari suku Gael meyakini bahwa pada tanggal tersebut merupakan batas dunia orang mati dan dunia orang hidup menjadi terbuka. Itu gambaran ter-umum yang bisa dibaca di Wikipedia. (sungguh saya tidak berniat mencari referensi lebih jauh mengenai hal ini)

Namun, lambat laun, interpretasi ini menjadi berkembang pesat dan menjadi multi interpretasi. Rasa-rasanya, ketika kita mendengar kata Halloween maka yang terbersit di pikiran kita adalah kostum yang menyeramkan, sesuatu yang menyeramkan bukan? Terkhusus pada perayaan Halloween yang rutin dilakukan di Amerika, Halloween malah dimaknai oleh anak-anak misalnya, sebagai kesempatan untuk mendapatkan permen dengan cara mengetuk pintu rumah-rumah tetangga dengan tagline “Trick or Treat”.

Ilustrasi Trick or Treat by kids

Anak-anak memainkan Trick or Treat

Memproduksi Ketakutan, Menikmati Rasa Takut

Bila kita melakukan analisis dari kaca mata Raymond Williams dalam melihat Halloween sebagai sebuah kebudayaan, maka itu berarti Halloween dapat dilihat secara kritis (sekaligus sinis) tak lebih dari sebuah ‘produk’ yang dikemas dalam beragam bentuk untuk kemudian dijual. Aha! Halloween menjadi ladang subur untuk diproduksi dalam beragam bentuk, film bergenre thriller-horror. Halloween selalu menjadi tema dan modal kultural yang memuluskan suatu alur produksi.

Apakah ketika menonton film horror, kamu suka menutup mata? :)

Ya, Raymond Williams memandang kebudayaan tidak lebih dari sebuah alur produksi suatu barang. Ambil saja contoh yang paling mudah, Barbie. Barbie merupakan lambang kecantikan dan kehidupan barat yang eksotik dan terkesan “sempurna”. Padahal, ia tak lebih dari sebuah boneka, ya, benar-benar boneka yang dibuat, dikemas kemudian dijual ke pasaran. Begitu pula film horror bisa mulai mencuat. Hingga saat ini, apakah kita pernah memikirkan mengapa pembuat film horror tidak takut pada proses pengerjaannya dan mengapa kita  sebagai penonton yang tugasnya hanya menonton saja bisa begitu ketakutannya? Karena memang ketakutan kita lah yang diekspos dan diproduksi secara terus-menerus. (Kalau pembuat filmnya juga takut ya ga bakal jadi dong yah filmnya, hehe)

Tapi, meski demikian, begitu lah realitasnya: pembuat film memproduksi ketakutan, penonton merasakan sensasi dari “ketakutan” nya sendiri. Kita bisa menangis ketika menonton film Titanic atau membaca novel romantik karena? Karena kita tidak tahu atau bahkan tidak menduga sama sekali jalan akhir ceritanya. Begitu pula dengan film horror, kita bisa merasakan ketakutan ketika menonton karena kita sama sekali tidak bisa menerka akan seperti apa akhir ceritanya. Terkecuali jika pembaca sudah terbiasa melihat pola dari film-film horror, setidaknya akan bisa meminimalisir rasa takut ini.

Ketakutan yang merupakan inti cerita yang akan dikemas dalam wadah film. Sebagai salah satu syarat keberhasilan dan ciri khas dalam membuat film horror adalah membuat penonton dapat merasakan ketakutan. Meski demikian, kita sebagai penonton pun juga tanpa disadari bersikap sadistik terhadap diri kita sendiri karena kita menikmati rasa ketakutan itu. Halloween akan menjadi setting yang pas untuk membantu kita semakin merasakan sensasi kenikmatan atas rasa takut temporal itu. Uniknya, sifat temporal nya ini terkadang malah memunculkan suatu pemaknaan baru terhadap realitas kehidupan sehari-hari.

Simbol-Simbol Menakutkan

Halloween setidaknya memberikan gambaran bagaimana sesuatu itu bisa menjadi simbol yang dimaknai dengan yang seram-seram. Buah Labu misalnya, bagaimana mungkin buah yang benar-benar secara definitif kebahasaan adalah sebagai buah pada umumnya dapat menjadi sebuah simbol yang mengerikan? Karena memang ada tendensi historis yang menyebabkan buah Labu itu menjadi menakutkan. Buah Labu diinterpretasi sebagai “representing the souls of the dead”, dan, yah.. pembaca sekarang bisa membayangkan kan mengapa buah Labu menjadi sangat menyeramkan, sedangkan buah Semangka atau Melon tidak menakutkan…


Selain itu, banyak orang yang takut akan ruang gelap. It’s clearly and simply, karena banyak sekali adegan-adegan dalam film horror yang berlatar ruangan gelap. Begitu pula benda tajam bernama pisau. Bagi anda yang pernah menonton film “Scream” atau film “Halloween”, mungkin benda tajam ini bisa sangat menakutkan ya, lagi-lagi karena dramatisasi cerita dalam film. Dan… masih banyak lagi simbol-simbol yang menjadi menakutkan karena bias interpretasi masyarakat terhadap realitas semu film dengan realitas kehidupan nyata.

Ghostface dan Michael Myers

Akhir kata, Halloween tetap lah sebuah musim. Musim yang hanya lewat setahun sekali, hormati saja sebagai bentuk ekspresi kultural masyarakat, barat khususnya. Mau atau tidaknya kita merayakan silahkan tergantung pada keyakinan diri pembaca sekalian. Setidaknya, pada momen Halloween seperti ini, banyak sekali film horror yang diproduksi, dan sebagai salah satu penggemar film horror, itu merupakan suatu keuntungan tersendiri bagi saya, he he. Yang pasti, hindarkan justifikasi berlebih pada sebuah acara yang hanya-sambil-lalu ini. Trims…

Komentar

  1. Iya gan, Hallowen itu budaya, kita harus saling menghormati budaya lain.

    Main" gan ke tmpt ane yaa thx :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer