Dramaturgi Positif
Dramaturgi Positif
Dari
beberapa tokoh sosiologi yang pernah saya pelajari, baik dari berbagai
perspektif masing-masing, Saya harus jujur, saya terkesima dengan Sosiolog
bernama Erving Goffman. Baik itu pemikirannya tentang Teori Panggung Sandiwara
atau sering dikenal dengan istilah Dramaturgi. Siapapun mahasiswa, akademisi
lainnya yang pernah membicarakan tentang tokoh ini, akan mudah mengenali
beberapa konsep tentang Panggung Depan (Front
Stage), Panggung Belakang (Back Stage),
Diri (Self) dan Manajemen Kesan (Management
Impression).
![]() |
Erving Goffman |
Goffman
dan pemikirannya hadir tepat pada waktunya di saat wacana ilmu sosial terus
didominasi oleh Grand Theory/Grand
Narrative. Gaya berfikir Positivis yang diadopsi oleh para fungsionalis
seakan-akan membuat permasalahan di bidang masyarakat seakan-akan terus
bekelakar pada bidang yang sangat struktural, membuat cara pandang melihat masyarakat
menjadi agak ‘kaku’ dan terkesan ‘pukul rata’. Padahal masyarakat terus
berubah, mengalami dinamika.
Namun,
Goffman –dalam kedisiplinan keilmuannya- memberikan alternatif pandangan yang
betul-betul, Melegakan, Jujur dan sekaligus ‘Menohok’. Ya, Goffman memberikan
memberikan pandangan untuk melihat hal yang paling Mikro dalam kehidupan
sehari-hari, yakni Interaksi Sosial. Ketika beberapa tokoh sebelumnya, sebut
saja Talcott Parsons yang beraliran Fungsionalis atau Coser yang meski
pemikirannya sangat menarik namun menggunakan perspektif Konflik-Fungsionalis
membuat mereka tidak ‘benar-benar’ membantu dalam melihat masyarakat secara riil
dan fundamental.
Pada
kenyataannya, dari semua masalah mengenai masyarakat yang dibahas dalam wacana ilmu
sosial tidak selalu berkaitan dengan hubungan struktural semata, namun proses
sosial yang melibatkan relasi subjektif. Hubungan Person-to-Person. Bukankah relasi ini yang sangat mendasari dalam
terciptanya proses sosial yang nantinya juga akan membangun struktur sosial
yang lebih luas dan besar? Sedang Goffman, berani membongkar ‘sisi kelam’ proses
sosial tersebut dari apa yang sering diperlihatkan individu di hadapan publik
dalam rutinitasnya.
Kesadaran Bongkar-Pasang Identitas
Inilah
kiranya yang harus dijelaskan dan dipahami berkaitan dengan proses interaksi
sosial kita sehari-hari. Goffman memetaforkan Dunia ini sebagai Panggung
Teater. Dimana kita adalah Aktor yang memainkan sebuah peran. Terlebih dalam
ruang publik yang lebih umum. Nah, kata-kata ‘Peran’ menunjukan adanya Diri
yang lain di luar Diri yang Asli, atau Mead mengkategorikannya sebagai “I” dan
“Me”. Argumentasi saya, dalam memainkan peran di tengah-tengah interaksi
sosisal, individu tidak pernah benar-benar menanggalkan kedirian aslinya,
kendati sedang memainkan kedirian tokoh. Hanya saja disimpan untuk sementara
waktu.
Individu
sebagai bagian dari masyarakat tentu akan berperan “Sebaik-baiknya” demi
keberhasilannya membawakan peran. mencapai tujuannya pula. Sebagai contoh yang paling mudah, adalah
Bruce Wayne dalam film Batman. Ia
memainkan dua peran penting di film fiksi tersebut: Seorang pemimpin perusahaan
Wayne Enterprises kaya raya dan juga menjadi seorang ‘Batman’. Dalam hal ini, ia
bisa dikatakan sangat ‘sukses’ dalam memainkan perannya. Padahal diri Bruce
Wayne yang asli tiada lain adalah seorang Anak Yatim-Piatu yang memiliki trauma
dan kesedihan yang mendalam. Hanya Alfred, pelayan keluarganya yang paling
benar-benar mengetahui ‘diri asli’ dari seorang Bruce Wayne.
Yang
ingin saya sampaikan dalam contoh diatas adalah setiap hari kita memiliki
identitas yang berbeda-beda yang secara sadar, sesadar-sadarnya kita
bongkar-pasang sesuai dengan kebutuhan kita. Seperti hal nya kita berganti
pakaian. Akan terlihat aneh apabila seorang laki-laki gagah mengenakan Jas dan
Celana Pantoufel lalu bertingkah seperti orang gila di depan para partner
kerjanya? Tentu lelaki tersebut sangat sadar bagaimana ia harus bersikap di Front Stage-nya.
Memunculkan Penilaian
Problem
yang muncul justru dari bagaimana orang memberikan penilaian terhadap peran
yang kita jalankan dihadapan publik. Bisa dipastikan, penilaian tersebut akan
bersifat sangat subjektif-kendati seobjektif apapun seseorang merasa benar
dalam penilaiannya- karena yang mereka hanya melihat Diri sebagai ‘Tokoh’ bukan
sebagai diri Asli si Individu tersebut.
Lucunya,
seringkali Individu justru menikmati perannya sebagai ‘Tokoh’ ketimbang menjadi
Diri sendiri. Tidak jarang pula individu mengklaim bahwa dirinya sebagai
‘Tokoh’ adalah dirinya sendiri. Dirinya yang ‘Asli’. Para pemimpin atau bakal
calon pemimpin misalnya. Mengapa? Karena mungkin saja dalam dunia perpolitikan
tidak perlu ada Mistifikasi melalui Baliho dengan slogan demi mencapai suara
jikalau dirinya sendiri sadar bahwa ia memang benar-benar berjiwa ‘Pemimpin’.
Ketidaksempurnaan
Kita
akan kesulitan mencari kebenaran, ketulusan, kebaikan yang sebetulnya tersimpan
dalam diri masing-masing individu. Ketidakmampuan melihat hal tersebut menjadi
kekurangan mendasar tentang Dramaturgi yang diusung oleh Goffman. Dramaturgi
hanya cocok untuk sekedar mementaskan, bukan mencari Feedback dari proses Interaksi Sosial. Karena, sebenarnya yang
dicari oleh Individu dalam berdramaturgi adalah mencapai tujuan diri sendiri
(Manning:1992, Ritzer:2011).
Ini
juga merupakan efek samping dari Impression
Management (manajemen kesan) dari Individu yang sulit untuk meracik antara
konsepsi Diri yang Asli dengan Diri sebagai ‘Tokoh’ dalam Masyarakat. Namun,
partikel-partikel kebaikan yang mungkin sangat tidak ilmiah itulah yang kiranya
akan membantu kita keluar dari prasangka-prasangka kebohongan. Baik dari
masyarakat kepada individu maupun sebaliknya. Dan dalam sadar saya, setiap manusia pasti memilikinya. Bukankah kita disarankan
mengikuti pepatah,”Don’t judge by a
cover”?
Komentar
Posting Komentar