MATEMATIKA BUKAN HANTU MENYERAMKAN!
MATEMATIKA
BUKAN HANTU MENYERAMKAN!
Sabtu lalu, di sudut Epikurean Kafe, Lenteng Agung..
Seorang Matematikawan ITB, Prof. Hendra Gunawan memperkenalkan “Hantu” Matematika, ya,
memperkenalkan…
“Hantu”
Konsep
metaforis yang digunakan oleh Prof Hendra kiranya pas untuk memberikan gambaran
umum tentang Matematika sebagai sebuah ilmu yang dipelajari di Indonesia. Ia
mengemukakan dua sudut penjelasan yang berbeda tentang “hantu”. Entitas “Hantu”
sebagai kondisi riil dan “hantu” sebagai sebuah abstraksi yang substantif.
Keduanya
adalah hal mendasar, yang mungkin akan ditemui di ragam ilmu pengetahuan lain.
Pertama, “Hantu” sebagai kondisi riil, Prof
Hendra ingin memberi tahu bahwa “Matematika sering dianggap sebagai
Hantu”, artinya, sebagai sesuatu yang menyeramkan. Mengapa? Ada dua argumentasi
utama yang dikemukakan.
Tidak banyak
orang yang memiliki kemampuan untuk melihat, menyadari dan memiliki kepekaan
“hantu” di dalam Matematika itu sendiri. Kemarin, ia memberikan satu buah
gambar yang cukup abstrak sekali untuk ditemukan gambar apa sebetulnya yang ada
di dalam gambar abstrak tersebut. Hasilnya? Tidak ada yang bisa menjawab,
bahkan setelah diberi tahu jawabannya sekalipun. Itu yang pertama.
Kemarin,
dalam salah satu slidenya, ia juga memberikan tantangan sederhana. Ada dua
gambar: lingkaran dan bintang. Seandainya, Anda sebagai pembaca diberikan
gambar sederhana seperti itu (Lingkarang dan Bintang), apa yang Anda jelaskan?
Kalau Anda
menjawab “Yang saya lihat, ya, hanya Lingkaran dan Bintang”, maka, Prof Hendra
akan mengucapkan, “Anda belum mengenal “hantu” matematika sesungguhnya”.
Kira-kira seperti itu.
Artinya,
anggapan bahwa Matematika adalah sebuah subyek mengerikan yang kemudian
diterjemahkan sebagai “Hantu” tercipta karena kita sebetulnya tidak benar-benar
bisa melihat sosok “Hantu” tersebut.
Akan beda
ceritanya seandainya, kalau Anda bersikap seperti Archimedes dan ilmuwan
matematika dari Yunani Kuno lainnya yang selalu bertanya, “Loooh kok bisa sih?”, ‘Nah, ini misterius ini, kok bisa sampai
begini?”, “Ini luas lingkarannya berapa ini? Bagaimana cara menghitungnya?
Kelilingnya berapa ini? Dst...dst”.
Dok. Pribadi, 2016 |
Kedua, ini
hal yang lebih praktikal sifatnya, bahwa ada satu proses belajar Matematika
yang direduksi maknanya hanya sebagai alat. Alat untuk berhitung. Sialnya,
secara laten, ada makna lain: alat untuk lulus Ujian Nasional, alat untuk lulus
ujian SNMPTN, bahkan alat untuk menindas seperti layaknya di sekolah, “yang
tidak bisa Matematika berarti tidak termasuk dan tidak bisa masuk kelompok anak
yang pandai”. Kesemuanya nantinya akan memberikan konsekuensi sosiologis
tersendiri. Salah satu hal yang sudah terbukti adalah ya itu, “Matematika
adalah hantu”. Sudah kadung.
Setelah
menjelaskan Matematika sebagai Hantu, setelahnya, Prof Hendra mencoba menggeser
kalimatnya dengan “Hantu” Matematika yang tak lain dan tak bukan adalah a substantial thing in Math. Lebih
khususnya lagi subject matter
Matematika itu sendiri yang didefinisikan oleh para ahli dan terus berkembang.
Saya tidak
akan mencoba membahas hal yang lebih mendalam meskipun Prof Hendra kemarin
menceritakan dengan seru tentang perdebatan di kalangan ilmuwan Matematika
hanya untuk sekedar menjelaskan Ketakterhinggaan dan Keterhinggaan yang
nantinya akan berkaitan dengan ragam bilangan-bilangan (asli, riil, rasional)
karena saya mungkin tetep tidak bisa melihat “hantu” itu, ga mudheng kali yah, he he he..
Tapi yang
pasti, saya menangkap hal penting di sini. Bahwa setiap ilmu pengetahuan ada
“hantu”nya dan masing-masing berpotensi menjadi “Hantu”, menjadi sesuatu yang
menakutkan bagi yang tidak bisa melihatnya.
Contoh
selain Matematika, salah satunya, ilmu yang saya dalami, Sosiologi. Sosiologi
pun juga tergolong “Hantu”. Sosiologi dianggap sebagai ilmu hafalan. Bukan ilmu
sosial.
Paradoks Kenikmatan: Berhitung vs
Bermatematika
Setelah
masuk sesi pertanyaan, Prof Hendra baru sedikit bergeser ke ranah “kenikmatan”.
Betapapun, kita sering terjerembab dalam problem kenikmatan dalam mempelajari
disiplin ilmu apapun.
Kemarin saya
bertanya tentang tipologi murid “mana yang benar-benar menikmati matematika”?.
Di sekolah, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa banyak sekali murid-murid pintar
mengerjakan soal, mengerjakan rumus Phytagoras, menggunakan rumus 22/7 untuk
menghitung luas lingkaran. Selalu mendapatkan nilai tinggi di Matematika. Tapi,
apakah itu? Apakah anak itu benar-benar menemukan “hantu” Matematika?
Jawabannya, tidak.
Anak itu
hanya berhitung. Tak bermatematika.
Bermatematika
artinya menemukan kenikmatan untuk masuk ke alam Matematika itu sendiri. Apa
buktinya? BERTANYA.
Ya,
bertanya, mempertanyakan sesuatu itu penting untuk masuk menelusur ke lebih
dalam. Mungkin saya tambahkan, “tanpa embel-embel”, nanti kalau saya ini dapat
ini, kalau itu dapat itu, bukan pembicaraan fungsional seperti itu, tetapi
memang ada satu dorongan dalam diri untuk mempertanyakan segala yang kita ingin
ketahui di satu bidang tertentu.
Getting a Little Nerdy is not bad
at all.
Kenikmatan
itu akan membantu kita tidak hanya menemukan jalan yang lebih mendalam tetapi
juga membantu kita untuk memecahkan masalah. Yaps, Problem Solving. Bayangkan, berapa banyak murid yang mendapatkan
nilai 8-9-10 di kelas tanpa akhirnya mampu memiliki sense of accounting. Kemarin dicontohkan soal pengukuran, bisa
tidak anak SD mengukur atau mengira-ngira tinggi badan ayahnya. Bisa tidak anak
SMA menghitung panjang pagar rumahnya sendiri.
Bila juga
memberikan satu penjelasan penting, yakni posisi guru bidang studi. Guru
sebagai tenaga pengajar haruslah menjadi jembatan, menjadi penjodoh atau
menjadi ‘Mak Comblang’ antara Murid dengan Disiplin ilmu itu sendiri. Jelas
tidak semua murid akan mampu, akan suka terhadap bidang studi yang diajar,
tetapi bila bertemu satu anak, cukuplah satu anak yang memang terlihat
‘berbakat’, maka ia harus mampu menjembataninya dengan baik.
***
Akhirnya,
sekali lagi, seluruh disiplin ilmu apapun akan mudah terjebak dan terkonstruksi
sebagai “Hantu” baik itu diciptakan oleh diri sendiri yang tak mampu melihat,
menemukan, mendeskripsikan wujud “Hantu” itu dan diciptakan oleh siapapun significant others kita.
Yang pasti,
senja kemarin, di tengah gelas-gelas kopi, Prof Hendra sudah mengupayakan untuk
mengajak kami berkenalan bahwa...
“Hantu” Matematika
tak seseram itu.
Salam,
Luthfi
16 Januari
2016
Epikurean
Kafe
@ersabossa
Tulisan yang mengugah bagi seorang awam yang tak kenal "hantu" matematika selama ini.
BalasHapusekisaputraberbagiilmu.blogspot.com
Gud pisan..👌
BalasHapus