SGRC adalah RUANG BELAJAR!
SGRC adalah RUANG BELAJAR!
SGRC logo. From their Twitter |
Saya tidak
tahu apakah tulisan sederhana ini akan berpengaruh atau tidak, baik kepada SGRC
maupun rekan-rekan punggawa SGRC itu sendiri. Satu hal yang saya tahu: SGRC
adalah sekolah. Sekolah bisa berbentuk apapun, dari mulai taman hingga satu
perkumpulan. Bahkan warung kopi, pun. Saya dan kita bisa belajar dari apapun, siapapun,
dimanapun dan kapanpun. Bila Anda tak setuju, maka saya akan memperhalusnya,
SGRC adalah ruang belajar.
Ruang
Belajar
Saya bukan
mahasiswa UI maupun alumni. Saya hanya alumni dari salah satu perguruan tinggi
negeri yang sederhana di bilangan Jakarta. Saya tak berafiliasi dalam bentuk
apapun. Saya juga tidak memiliki satu hubungan yang teramat dekat dengan para
anggotanya. Hanya sebatas kenal. Tak mendalam.
Tapi bukan
berarti saya tak paham idealisme yang mendorong mereka untuk membuat satu
kelompok ilmiah tertentu. Entah ini benar atau tidak, hanya sekedar dugaan
bahwa ada semacam bentuk kejengahan dari masing-masing pendiri maupun
anggotanya atas satu fenomena tertentu. Dalam hal ini, isu-isu gender dan
seksualitas yang masih sangat dianggap tabu. Bahkan, mungkin, di kampus mereka
sendiri. Padahal, barangkali, sudah banyak “kasus” yang tak terungkap.
Saya sedikit
meragukan mereka main-main, bercanda atau sekedar guyon dalam menentukan topical theme hingga sampai pada satu
kesimpulan untuk membuat suatu perkumpulan. Dari yang saya pahami, mereka ingin
membuka ruang untuk: berdiskusi terbuka secara ilmiah terkait isu seksualitas
dan gender, membuka ruang bagi para rekan mereka di kampus yang memiliki
masalah terkait tindak pelecehan atau kekerasan seksual dan gender hingga fokus
terhadap segala tindak pencegahan kekerasan seksual, minimal di lingkungan
kampus.
Itu artinya,
mereka sudah memiliki beberapa (atau mungkin sudah banyak) studi kasus yang
terjadi di lingkungan kampus mereka namun tak terselesaikan dan mungkin “tak
terlihat” oleh pihak kampus secara sadar atau tidak sadar sama sekali. Bukankah
seharusnya kita berpikir bahwa sekumpulan civitas akademika ini sebetulnya
berada selangkah di depan birokrasi kampus mereka sendiri? Sekedar pertanyaan.
Dua kali
saya datang ke acara yang mereka selenggarakan. Pertama, soal diskusi publik
tentang “Who owns your body?”. Isinya bagus sekali, tak hanya dilihat dari multi
perspektif (seksologi dan filsafat) tetapi juga memberikan ruang pribadi untuk
mempertanyakan, “apakah selama ini saya bersikap otonom dan memiliki kebebasan
terkait tubuh saya?”.
Poster Acara "Who Owns Your Body" |
Kedua, saya
datang ke acara Pelatihan Pelecehan dan Kekerasan Seksual. Diskusi publik juga dan
hasilnya cukup mencerahkan. Segala aktor sosial turun tangan dari mulai pegiat
LSM, Komnas Perempuan hingga dosen yang kompeten di bidangnya dalam memberikan
pemahaman tentang definisi tubuh, seksualitas dan gender yang sering disalahartikan
hingga menciptakan circle protection from sexual abuse. Modulnya pun dibuat
komprehensif.
Poster acara Pelatihan Pencegahan Sex Abuse |
Ini salah satu hasil kontemplasi saya setelah menghadiri acara kedua. Saya membuat tulisan berjudul (untuk membaca, klik di judul), "Tubuhmu adalah Milikmu".
Hasilnya? Sederhana
saja, ada hal-hal yang saya sudah paham dan ada hal-hal yang memang belum saya
pahami. Yang pasti, saya menemukan ruang belajar dimana saya bisa menambah
pengetahuan tentang isu seksualitas dan gender. Anggaplah saya masih newbie dan
masih hijau soal ini. Lagipula, isu gender dan seksualitas bukan merupakan
bidang kajian sosiologi yang saya dalami. Ditambah saya adalah pembelajar yang
masih berkekurangan, jadi tak ada salahnya bila saya banyak belajar dari SGRC.
Setidaknya
ada satu hal menarik, bahwa baik pendiri maupun anggotanya bukan merupakan
civitas akademika yang tak berkompeten. Mereka, dalam kerendah-hatian saya,
sangatlah berkompeten, memiliki semacam keugaharian untuk ukuran anak muda yang
masih peduli soal hal yang tidak terpedulikan oleh khalayak: seksualitas dan
gender.
Narsis sama rekan-rekan SGRC. How cool they are? :) |
Ada semacam
penguatan laten yang menunjukkan bahwa SGRC adalah ruang belajar. Ia bisa
menjadi ruang dimana individu bisa mengungkap segala –meminjam konsep Paulo
Freire- “ketertindasan” oleh sistem patriarki di lingkungan sekitar mereka. (Saya sengaja tidak menyebutkan secara
spesifik untuk menutup segala justifikasi negatif pembaca moralis yang sering
salah mengartikan “berkeluh kesah tentang orientasi seksual saya” atau
“bercerita bahwa saya pernah mengalami pelecehan seksual oleh orang terdekat
saya sendiri”, misalnya)
Tak lupa,
medium sosial media yang mereka gunakan, Ask.fm di sini untuk berinteraksi melakukan
tanya jawab dengan khayalak umum perihal isu seksualitas dan gender membuat
saya belajar: Bagaimana melakukan percakapan ilmiah secara argumentatif dan
logis dengan dalil perspektif yang kuat dan tak terjebak pada muatan moril.
Purely, di
mata saya, SGRC adalah ruang belajar, ruang studi untuk mendalami isu
seksualitas dan gender.
Salah Lawan
Sungguh,
ketika saya mendengar kabar bahwa SGRC (dan mengikuti perkembangannya hingga
saat tulisan ini dibuat) dideru oleh masalah pemberitaan online yang tak sedap
hingga tekanan dari kampusnya sendiri serta ucapan-ucapan Kemenrisdikti yang
lebih bermuatan moral itu membuat saya agak kecewa.
Saya kira,
ada satu debat kritis antara sesama kelompok studi yang juga bergerak di bidang
yang sama mempersoalkan satu masalah yang sama. Nyatanya, isu yang digiring
hanya dua soal: nama institusi pendidikan tinggi (yang tak lain adalah kampus
mereka sendiri) hingga soal moral. Astaga!
Ini
menyebalkan sekali.
SGRC dilawan
oleh pihak yang tak sepadan. Mereka hanya membicarakan hal yang tak ada isinya
sama sekali. Merugikan pula bagi SGRC.
Padahal, SGRC
memberikan ruang bagi mereka yang merasa ingin “curhat” atau berkisah orientasi
seksual mereka. Tidak ada yang salah dengan itu.
Kalau mau
dibuat guyonan, “Kalo mau cerita monggo, engga ya gapapa toh”. Sesimpel itu.
Tapi
pemberitaan media (you-know-who) yang
mengatasnamakan agama dan moral “yang benar” menggiring isu yang dangkal: “LGBT
Masuk Kampus”, “LGBT merusak moral”, “SGRC adalah tempat berkumpul LGBT”
isu-isu dangkal dan tak masuk akal lainnya.
Sangat
disayangkan sebagai kelompok studi, SGRC “masih belum” menemukan lawan debat
sepadan yang dapat diajak adu perspektif, falsifikasi-falsifikasi jitu tentang the roots of idea yang mereka
perjuangkan.
Saya hanya
menganggap mereka sedang “sial” meladeni lawan-lawan yang tak berisi seperti
itu.
Kekurangan
para moralis-agamis seperti media you-know-who
itu adalah mereka hanya bisa berspekulasi tetapi ingin membenarkan spekulasinya
dengan kekuatan dalil keyakinan mereka sendiri.
SGRC datang
dengan dokumen ilmiah yang layak diperdebatkan, moralis datang dengan dokumen
final yang tak dapat dilawan oleh akal pikiran manusia. Curang sekali ya…
Saya hanya
sedikit bertanya-tanya pada “lawan-lawan” ini,
Tidak kah
dengan adanya SGRC di kampus, pihak kampus tidak mulai merefleksikan diri untuk
berpikir sokratik dan lebih sensible,
“mengapa di saat kami memiliki pusat penelitian yang kajiannya sama, tetap
muncul satu kelompok studi dengan fokus yang sama?”, “Mengapa dalam kasus ini,
mereka membuka ruang bagi rekannya untuk berani menyuarakan orientasi seksual?
Apakah selama ini kampus tidak menjadi satu ruang publik yang sedemokratis itu
sehingga memicu munculnya ruang publik yang dibuat oleh mahasiswa?” dan banyak
pertanyaan lain yang perlu dilakukan.
Sedangkan,
bagi media you-know-who itu, rasanya
mereka harus banyak belajar dari kaum Stoik (yang itu artinya mereka juga harus
mau mempelajari studi literature kajian Yunani Kuno) tentang bagaimana menjaga
nalar akal agar bisa berpikir lebih objektif dalam memandang suatu fenomena.
Kesalahan terbesar dalam gaya jurnalistik mereka adalah melibatkan justifikasi
yang berasal dari emosi-emosi “yang salah”.
Prinsip
stoisisme sangatlah sederhana dan sangat ‘dingin’: Katakan sesuatu sesuai
penangkapan panca indera. Contoh Benar: Saya melihat boyband
berjumlah lima orang laki-laki bernyanyi dengan bahasa Korea. Contoh Salah:
Saya melihat boyband berjumlah lima orang laki-laki yang bernyanyi dengan agak ngondeg dengan bahasa Korea.
Maka, katakan
saja, minimal melihat poster atau liputan aktualnya di lapangan, “SGRC Memberi
Ruang Konseling Personal tentang Orientasi Seksual Kepada Kelompok Mahasiswa”,
misalnya.
Contoh
kesalahan fatal media itu adalah menerjemahkan bahwa LGBT adalah suatu
kesalahan, suatu “yang tidak baik” sebelum menyusun berita. Alhasil, judul dan
isi beritanya bisa mudah ditebak.
***
Well,,
Pada
akhirnya, badai pasti berlalu kok…
Doa, Ucapan
dan Harapan baik selalu untuk SGRC
Salah satu
ruang belajar saya…
Sincerely,
Luthfi
Komentar
Posting Komentar