RESENSI "PERNIKAHAN DARAH" TEATER PANDORA
KONSISTENSI
KELAM “PERNIKAHAN DARAH”
Oleh
M. Luthfi E.
F
Poster "Pernikahan Darah" |
Abai
terhadap masa lalu, merancukan masa kini. Terjebak pada masa lalu, mematikan
masa depan. Helena adalah kunci. Kunci yang pada akhirnya gagal membuka gerbang
segala pembebasan. Ia telat. Sangat telat. Akan terlalu banyak kata “Seandainya
bila...” dan “Seandainya bila...” tentangnya.
Pernikahan berdarah,
eskalasi dendam yang semakin mendalam dan meluas, kekayaan yang tidak sampai,
hingga cinta yang luluh lantah. Ooh, Helena... Seandainya bila...
Cerita kelam
yang konsisten untuk kelam. Merah dan pekat.
***
Terkisahlah
Inang, seorang Ibu melankolis meratapi kematian anak lelakinya yang mati karena
sebilah pisau belati dari salah seorang keluarga yang kini dengan sumpah
serapahnya akan dibencinya sampai kembali ke liang bumi. Ia meratapi tiga hal
sekaligus: pisau belati yang membunuh anaknya,
keluarga Felix yang kini dibencinya dan sekaligus romantisme kelabunya
tentang sosok anaknya yang sudah mati. Pelik.
Antonio,
“Ayam Jantan” nya Inang yang terakhir. Objek segala curahan hatinya, objek
penghilang sepi dan pelipur laranya. Baik anaknya. Hanya satu harapnya pada
Inang, tak ingin Inangnya yang sebatang kara meratapi segala takdir pedih yang
sudah lewat. Ia ingin Inang bahagia. Selain itu, ia ingin agar Inangnya
memberikan izin untuk menikahi seorang gadis pujaannya. Eiits, Inang ragu
rupanya.
Tapi,
namanya pun cinta, namanya sudah niatan baik, Inang pun mengiyakan. Apa yang
paling mengesankan dari keputusan seorang lelaki yang berani membuat keputusan
untuk menikahi seorang wanita? Terlebih, perempuan ini adalah cinta pertamanya.
Helena namanya.
Barangkali
naluri seorang Ibu, selain mendukung, Inang juga berfirasat tentang sang calon
menantu. Kata seorang tetangga, Helena baik anaknya seperti layaknya gadis pada
umumnya. Hanya saja, ada satu hal yang membuat firasat itu menjadi lebih tajam.
Helena pernah punya kekasih tiga tahun lalu. Lantas, apa hubungannya mantan
kekasih calon menantunya dengan pernikahannya anaknya?
Masalah
benar rupanya, calon menantunya pernah menjalin asmara dengan anak dari
keturunan keluarga yang paling dibencinya sampai ke liang lahat. Keluarga
Felix! Anak itu Leonardo namanya. Meski, Leonardo telah menikahi sepupu Helena
dan telah memiliki anak pula. Tentu kita sama-sama tahu bahwa seketika itu
juga, Inang menjadi melankolis kembali dengan segala dendamnya.
Kembali
tentang Helena, ada satu kutipan dari pemeran tetangga yang paling saya senang,
kalau tidak salah, kira-kira maksudnya begini, “sebaik-baiknya seseorang, tidak
akan ada yang pernah tahu masa lalunya”. Agaknya, firasat Inang benar adanya.
Firasat seorang Ibu kadang memang jitu. Dan soal tetangga?... Ahh, tetangga
memang tahu segala-galanya.
Singkat
cerita, datanglah Antonio beserta Ibunya melamar ke keluarga Helena. Segala
persiapannya terlihat indah. Kado-kado yang berisi kain, Imaji tentang derap
kereta kuda dan pesta meriah. Sebelum nantinya akan memerah.
Tak lama
menuju pesta pernikahan, Leonardo, yang belakangan diketahui perangainya yang
kasar, datang duluan tanpa istrinya ke rumah sang pengantin wanita. Leonardo
rupanya masih menyimpan, entah cinta atau sekedar asa dengan Helena. Satu hal
yang pasti: rasa menggebu-gebu yang teramat.
Pertemuan Pertama Leonardo dan Helena |
Helena jelas
menjaga etikanya sebagai “calon istri”. Ia tak ingin merusak segala horizon
keindahan yang sudah diimpikannya secara teknis bersama Antonio. Hanya saja...
Barangkali rasanya itu tak benar-benar hilang kepada Leonardo.
Pernikahan
dan Pesta pun digelar. Berlangsung riuh meriah..
Meski tak
lama setelahnya... Sang pengantin wanita menghilang. Terculik oleh Leonardo.
Dua keluarga
itu panik dan saling menyalahkan, seketika itu juga dua keluarga yang riuh oleh
rona bahagia, saling berhadapan. Satu cahaya terang tergantikan oleh kepekatan
merahnya darah. Perang kolosal keluarga itu terjadi. Saling menikam dan
semuanya mati. Hanya tersisa Inang dan Amang.
Keluarga Antonio vs Keluarga Helena |
Sedang
Antonio? Ia jelas pergi mengejar sang pengantin.
Lalu,
mengejar kemana? Kemana perginya Leonardo dan Helena?
Ke hutan di
bawah terangnya sinar rembulan dan intaian sang kematian.
Ya, sembari
menunggu peristiwa pelarian dan pengejaran yang meletihkan itu, Rembulan
bercakap-cakap guyon, indah dan bermakna dengan kematian. Satu percakapan
eksistensial yang paling menyenangkan untuk disimak.
Leonardo vs Antonio |
Hingga
sampailah pada akhir yang kembali pekat oleh hitam dan merah. Antonio menemukan
Leonardo dan Helena di hutan. Kematian sedang menunggu saja di pojokan dan
rembulan yang mau tak mau menyaksikan Leonardo dan Antonio saling menikam.
Dalam satu
helaan gerak tikam, selesai lah semuanya.
Mayat Leonardo dan Antonio |
Antonio dan
Leonardo terkapar.
Helena
berada di tengah keduanya.
Pertaruhan Inang
benar: tragedi keluarganya tak kan pernah benar-benar berakhir. Untuk terakhir
kalinya ia kehilangan ayam jantannya di ujung pisau belati.
***
Oh,
Helena....
Seandainya
bila engkau berani mengambil satu keputusan yang benar-benar memutus masa
lalumu dengan Leonardo.
Tidak hanya
dua nyawa yang bisa kau selamatkan. Kau bisa membebaskan orang lain dari dendam
berkepanjangan. Hingga, kau juga bisa mewujudkan mimpi memiliki keluarga indah,
seindah-indahnya. Sayang sekali ya....
Menyenangkan!
Poster di depan TIM |
Satu kata
untuk pementasan “Pernikahan Darah”: menyenangkan! Satu naskah yang diadaptasi
dan disutradarai dengan baik oleh Yoga Muhammad, sang sutradara selaku berperan
sebagai Leonardo. Gabungan nuansa Eropa dengan Batak merupakan tubrukan yang
mengesankan. Antropologi dua budaya yang menyimpan sisi tragisnya
masing-masing.
Satu
penilaian yang membuat saya terkagum dengan pementasan Teater Pandora kali ini
adalah kerapiannya dalam setiap adegan scene.
Artikulasi
Dialog. Ini hal pertama yang harus saya soroti. Saya baru tersadar dalam
durasi waktu kurang lebih 2 jam, saya sama sekali tidak merasakan bosan
mendengar setiap dialog yang diucapkan oleh masing-masing tokoh. Tidak satupun.
Ini melegakan sekali karena biasanya dalam pementasan teater lain, ada saja
part yang membuat saya ngantuk atau lelah mendengarnya. Hanya saja, harus diakui ada beberapa percakapan yang
suaranya kecil sekali, hampir kurang jelas terdengar. Salah satu yang paling
kentara adalah ketika percakapan antara Leonardo dengan Helena di awal bertemu.
Selain itu,
favorit saya jelas percakapan bernas antara Rembulan dengan Kematian. Dan, yang
paling menggugah adalah setiap bait kalimat yang diucap oleh tokoh Inang. Inang
lah yang menurut saya menyajikan gambaran-gambaran terkelam dari rangkaian
keseluruhan cerita Pernikahan Darah ini.
Stage
Setting. Ini juga yang tak luput dari pandangan saya. Efisien! Pintu,
tangga masuk dan tambahan dasar ubin yang bertingkat menggambarkan rumah-rumah
panggung sebagai ciri khas dari daerah Sumatera, tervisualisasi dengan apik di
pikiran saya.
Pemindahan
ornamen-ornamen itu di setiap akhir pembabakan yang berjeda tak lama pun bisa
diselesaikan dengan tak grasak-grusuk. Sekali lagi, rapi dan efisien.
Permainan
Efek. Ada pula hal yang menarik mengapa saya senang sekali mengatakan
“rapi” dan “efisien” adalah karena saya rasa penata panggung meminimalisir
segala ornamen fisik itu lewat imaji “seakan-akan” dengan memaksimalkan
permainan akting para tokohnya. Salah satunya tentang Jendela. Ya, memang tak
disediakan jendela. Maka dari itu, permainan efeknya adalah campuran antara
dialog dan permainan lampu cahaya.
Ini terjadi
ketika Inang dan Tetangga melakukan akting “buka-tutup” jendela. Seakan-akan
ada jendela yang ditandai oleh sinar matahari yang masuk ke dalam rumah,
padahal itu hanya permainan lightning semata. Ketika dibuka, lampu menyala,
ketika ditutup, lampu mati. Apik betul.
Cara
menggambarkan rumah panggung pun detail. Setiap tokoh yang berada di luar
rumah, harus beradegan agak mendongak ke arah atas rumah untuk menggambarkan
bahwa rumah itu adalah rumah panggung. Cara membuka atau menutup pintu pun juga
mengesankan.
Oh iya,
ketika percakapan antara Rembulan dengan Kematian pun ada efek yang bagus.
Awalnya, kematian itu berwujud sebagai pengemis, namun ketika ia berubah wujud
menjadi sang kematian dan ketika menuju Rembulan, melewati semak-semak dan
pohon, seketika itu juga layu semak tumbuhan-tumbuhan itu layu.
Akhir Pementasan |
Yaah, pada
akhirnya, melihat totalitas pementasan oleh Teater Pandora saya hanya ingin
mengucap...
Magnifico!
Horas!
Saya akan
datang ke pementasan selanjutnya.
Semoga
tulisan ini menginspirasi dan bermanfaat
Depok, 21
Januari 2016
@ersabossa
Acaranya kayaknya seru tuh, sayang banget gak bisa liat.
BalasHapus