Menunduk
Menunduk
“Sampai
anda tahu alasan kapan dan mengapa kembali membutuhkan yang dekat”
Ya,
saya lebih suka menggunakan frasa menunduk ketimbang tertunduk. Saya bukan ahli
sastra atau linguistik yang paham betul akan perbedaan-perbedaan makna setiap
kata, tapi dari ceminan realitas sosial yang saya lihat, saya belajar bahwa
kata menunduk itu merupakan kata kerja yang memang “sengaja” dilakukan oleh
subjek terlepas ia terpengaruh oleh hal diluar dirinya atau tidak. Bila
tertunduk, tentu ia melakukan itu karena ada hal di luar dirinya yang
memaksanya “harus” melakukan hal tersebut. Tapi ini tidak, ini sesuai dengan kehendaknya
sendiri. Ia tak punya pilihan.
Mengapa
tiba-tiba saya menulis ini? Saya hanya ingin merefleksikan dari apa yang saya
lihat beberapa waktu belakangan ini. Tidak hanya saya, para pembaca juga pasti
sering mengalaminya ketika sedang berada di tempat umum. Apa? Melihat kebiasaan
orang memandang gadget. Menunduk
memandang gadget telah menjadi kultur saat ini. Daripada menegakkan kepala dan
melihat hal-hal di sekeliling atau saling bertatapan, melempar senyum atau
bertegur sapa dengan orang di sekitar, ia justru lebih senang untuk berkutat
dengan dirinya sendiri dengan ponsel
pintar-nya.
Entah
sejak kapan kebiasaan ini menjadi kultur masyarakat kita. Ada yang sedang
jalan, menunduk. Ada yang sedang duduk, menunduk. Bahkan ketika berbicara pun
sambil menunduk memandangi gadget-nya.
Tentu sepertinya tidak ada yang salah dengan hal ini, tetapi rasa-rasanya baik
secara teknis maupun etika dalam bersikap, hal ini kerap memunculkan masalah.
Secara
teknis, berbahaya sekali apabila aktivitas menunduk
ini dilakukan saat berjalan di tempat umum. Resikonya bisa bermacam-macam dan
bisa mengancam keselamatan, menabrak orang di depannya, jatuh atau terpeleset
akibat tidak melihat bahwa ada lantai licin/berlubang, bahkan apabila saat
menyebrang tanpa memperhatikan lampu penyebrangan. Sepertinya banyak sekali
contoh kelalaian ini hanya karena ingin membalas tweet, membalas komen,
membalas email, membalas chat atau apapun itu yang bahkan bisa
dilakukan nanti saat urusan sudah selesai.
Belum
lagi efek ketika menunduk pada saat
berbicara dengan orang. Jangan jauh-jauh, kita bisa mempertanyakan pada diri
kita sendiri, apakah lebih sering ngobrol via maya bersama orang di luar rumah
atau dengan orang-orang terdekat kita sendiri? Ayah, Ibu, Kakak atau Adik atau
bahkan pembantu bila ada. Tidak jarang banyak sekali sekarang anak yang saat
makan bersama, main gadget sepanjang makan, masuk kamar main gadget lagi,
keluar kamar memandang gadget lagi. Kalau merasa bosan, mendengarkan lagu,
menutup telinga. Astaga, mengerikan sekali siklus hidup seperti itu!
Saya
juga sering melihat para siswa/i, para pegawai-pegawai yang baru pulang kantor
ketika masuk angkutan umum sepanjang perjalanan hanya memandangi gadget nya
saja, apalagi yang memilikinya lebih dari satu. Ketika membayar supir pun ada
saja yang hanya tangannya yang dijulurkan untuk membayar tanpa mengucap sekedar
terima kasih. Padahal, mudah sekali kan sekedar mengucapkan “Te-ri-ma Ka-sih”.
Apakah perlakuan itu pantas karena merasa sudah bisa mendapat gaji sendiri dan
merasa semua bisa terbeli lalu bersikap semena-mena terhadap orang lain?
Saya
hanya berfikir, tidak kah sebenarnya ada waktu yang pas untuk menunduk
memandangi gadget, ketika sedang santai di rumah atau pada jam istirahat?
Apakah selalu harus setiap menit (bahkan detik) untuk melihat, bahkan mengecek
akun-akun media sosial dan chatting nya?
Jangan
lupa bahwa ada orang, ada manusia, bahkan ada binatang, ada tumbuhan yang
jaraknya dekat, bahkan sangat dekat sekali yang membutuhkan perhatian dari kita
atau justru sebaliknya…
Komentar
Posting Komentar