Pinter Ngomong
PINTER
NGOMONG
Halo
pembaca yang arif…
Salam
pagi..
Kali
ini saya akan mencoba mengungkapkan sedikit kerisauan saya tentang sebuah
anggapan yang dengung-dengungnya membuat saya (sangat) risih ketika
mendengarnya. Ya, sesuai dengan judulnya yakni Pintar Ngomong. Secara Sosiologis, itu merupakan bentuk labeling
diri yang diberikan orang lain ketika mereka melihat ada orang yang lihai
berbicara. Bahkan terkesan negatif.
Kita
sering mendengar orang berbicara panjang lebar, merangkai kata, menghanyutkan,
terkadang banyak orang sering merasa ‘tertipu’ oleh bagaimana orang tersebut
berbicara. Tentu memang ada orang-orang yang bermental ‘mulut besar’ dan
‘penipu’ ini. Seperti halnya orang-orang yang berkecenderungan ingin selingkuh,
tukang merayu, dan penggoda, ingin mendapat suatu keuntungan dari orang lain
dengan cara berbohong, orang yang memang banyak bicara seakan-akan ia adalah
penguasa kehidupan yang seyogianya harus menjelaskan kepada semua orang bahwa
ia tahu segalanya dan segala sesuatu yang dikatakannya adalah benar.
Tentu
orang-orang ‘menyimpang’ ini menjengkelkan betul. Karena apa yang diupayakan
oleh mereka itu adalah bagaimana orang percaya akan ucapannya. Menjengkelkan
juga karena banyak omongan mereka ada kalanya tidak berisi sama sekali.
Sayangnya
yang membuat saya lebih risau adalah soal posisi. Tidak semua orang berbicara
panjang lebar itu adalah kalangan yang tidak terdidik/minimal berperspektif.
Dalam masyarakat, semua orang hidup berdampingan. Namun jelas, dalam lingkungan
akademisi&intelektual, saya kira kata-kata Pintar Ngomong itu tetap tidak relevan. Mengapa? Ada perbedaan
mendasar orang yang berbicara dalam kelas dengan obrolan warung (meskipun ini
agaknya klise dan mengandung unsur stereotype
yang kental). Namun jelas ada perbedaan yang signifikan. Apa? Argumentasi.
Di
kelas, orang MENYUSUN argumentasi
yang dibangun melalui struktur logika sesuai disiplin ilmu yang didalaminya.
Sehingga mau tidak mau akan ada batasannya. Tugas setelah itu adalah MEMPERTAHANKAN argumennya. Sehingga
perdebatan menjadi lebih sehat. Jadi perdebatan itu penuh perspektif. Bukan
sekedar omong kosong belaka. Dan itu sulit, bukan hal yang mudah untuk menyusun
argumentasi.
Bayangkan,
bagaimana Mahasiswa yang mendalami ilmu-ilmu sosial&politik di FIS/FISIP,
lalu bayangkan Mahasiswa yang mendalami ilmu-ilmu sastra&filsafat di
Fakultas Ilmu Budaya&Fakultas Bahasa bila dikaitkan dengan termin Pintar Ngomong itu? Saya rasa jahat
betul (sangat jahat!) ya kalau menghakimi mereka yang memang secara bidang
keilmuan sarat dengan kemampuan berbicara&menyusun argumen di hadapan
publik. Meski pada dasarnya saya percaya, bisa saja mahasiswa terjebak dalam
ke-PintarNgomong-an apabila ia
menyajikan argumen kosong tanpa perspektif.
Maka
dari situ, saya menarik kesimpulan bahwa Pintar
Ngomong hanya benar-benar sah digunakan bagi mereka yang tidak punya
‘batas’ pembicaraan tentang sesuatu dan tanpa perspektif, kosong. Bukan untuk
menghakimi dan menjustifikasi orang yang sudah berupaya menyusun argumentasi
dengan perspektif.
Komentar
Posting Komentar